Menuju konten utama

Polemik Abadi Anies & Jokowi: Naturalisasi vs Normalisasi Sungai

Presiden Jokowi memerintahkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melanjutkan program normalisasi sungai untuk mengatasi banjir yang terjadi di ibu kota.

Polemik Abadi Anies & Jokowi: Naturalisasi vs Normalisasi Sungai
Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Wakil Presiden Ma'ruf Amin (kedua kanan) dan Menteri Keuangan Sri Mulyani (kedua kiri) menyerahkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) serta Buku Daftar Alokasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa Tahun 2020 kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Istana Negara, Jakarta, Kamis (14/11/2019). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/pd.

tirto.id - Presiden Joko Widodo memerintahkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meneruskan proyek normalisasi sungai di ibu kota. Jokowi menyampaikan ini saat menerima sejumlah kepala daerah terdampak banjir, di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Rabu, 8 Januari 2020.

Sungai yang perlu dibenahi alirannya, kata Jokowi, tidak hanya Sungai Ciliwung, melainkan ada belasan sungai lain. Termasuk Sungai Cipinang, Sungai Buaran, dan Sungai Mookervart.

“Saya kira perlu dilakukan penormalan kembali sehingga aliran air di Jakarta bisa normal kembali,” kata Presiden Jokowi, seperti dikutip Antara.

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu juga meminta Anies Baswedan menyelesaikan pembebasan lahan di kawasan Bidara Cina untuk lanjutan pembangunan sodetan Sungai Ciliwung menuju Banjir Kanal Timur (BKT) tahun ini.

“Saya kira bisa secepatnya dengan gubernur untuk menyelesaikan masalah pembebasan lahannya,” kata Jokowi.

Normalisasi Sungai era Jokowi-Ahok

Permintaan Jokowi ke Anies untuk melanjutkan program normalisasi bukan tanpa alasan. Sebab, program tersebut merupakan gagasan Jokowi saat menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 2012-2017.

Normalisasi sungai juga sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.

Pada 2013, Jokowi melakukan normalisasi sungai dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) serta Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC).

Program ini kemudian dilanjutkan oleh Basuki Tjahaja Purnama (BTP) atau Ahok saat menggantikan Jokowi sebagai gubernur DKI Jakarta. Ahok menjadi orang nomor satu di DKI usai Jokowi terpilih sebagai Presiden ke-7 RI pada Pilpres 2014.

Saat menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, BTP optimistis permasalahan banjir yang kerap melanda wilayah ibu kota dapat diselesaikan dengan melakukan normalisasi terhadap seluruh sungai dan waduk.

“Normalisasi sekarang, kan, masih belum selesai, belum cukup. Sedangkan hujannya terus-menerus. Jadi tunggu sampai normalisasi selesai,” kata BTP saat masih menjabat gubernur DKI, 21 Februari 2017 seperti dilansir dari Antara.

Menurut BTP, air di sungai maupun waduk dapat meluap apabila hujan terus mengguyur ibu kota. Apalagi jika daya tampung air pada sungai dan waduk berkurang akibat bangunan yang berdiri di atas atau bantarannya.

“Kalau hujan deras terus-menerus, berarti harus sediakan wadah atau tampungan air yang lebih besar. Sungai-sungai dan waduk-waduk harus diperlebar lagi,” kata dia.

BTP menilai banyaknya bangunan liar yang berdiri di bantaran sungai mengakibatkan penyempitan. Sehingga daya tampungnya ikut berkurang.

Karena itu, dalam melanjutkan program normalisasi, Ahok menggusur pemukiman di bantaran sungai dan warga dipindahkan ke rumah susun. Setelah itu, daerah aliran sungai lalu dilebarkan dan dibeton demi menampung limpasan air dari daerah hulu saat musim hujan.

Berdasarkan catatan Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), pada 2014 terdapat 26 kasus penggusuran dengan korban sekitar 3.751 kepala keluaraga atau 13.852 jiwa.

Kemudian pada 2015, telah terjadi penggusuran 41 kasus di 5 wilayah kotamadya DKI Jakarta dengan korban 5.805 kepala keluarga atau 24.817 jiwa.

Lalu di 2016, terdapat 24 kasus panggusuran dengan korban sekitar 3.899 kepala keluarga atau 15.599 jiwa.

Ketua FAKTA Azas Tigor Nainggolan juga telah menggugat penggusuran yang dilakukan oleh BTP tersebut ke pengadilan. Sayangnya pada 28 September 2017, PN Jakpus tidak menerima gugatan tersebut.

Akan tetapi, program normalisasi sungai yang digagas di era Jokowi ini telah berhenti sejak dua tahun lalu. Hingga Januari 2019, normalisasi baru dikerjakan sepanjang 16 kilometer dari total 33 kilometer.

Meskipun Jokowi tidak lagi menjadi gubernur DKI, ia menginstruksikan Menteri PUPR Basuki Hadimoeljono untuk melanjutkan program normalisasi sungai hingga sodetan Ciliwung.

Menurut Basuki, sodetan Sungai Ciliwung dapat signifikan mengurangi debit aliran air sehingga membantu mengurangi banjir.

Sodetan Sungai Ciliwung juga diklaim dia, dapat mengalirkan air sebanyak 60 meter kubik per detik ke BKT untuk diteruskan langsung menuju laut di utara Jakarta. Sementara debit air banjir Sungai Ciliwung mencapai 570 meter kubik per detik.

Jika sodetan itu terwujud, maka debit air banjir dapat terkurangi menjadi 510 meter kubik. Dari rencana 1,2 kilometer sodetan yang di bawah tanah antara kawasan Bidara Cina, Otista, hingga ke Kali Cipinang, menuju KBT, baru terbangun 600 meter.

Sementara sisa pembangunan, termasuk pembangunan jalur masuk air atau "water inlet", terkendala karena faktor pembebasan lahan. Jika pembebasan lahan sudah dilakukan, Basuki menilai pembangunan lanjutan sodetan memakan waktu 6 bulan.

Naturalisasi Sungai era Anies Baswedan

Berbeda dengan kebijakan Anies. Sejak kampanye Pilgub 2017, Anies sudah gencar mengkritik kebijakan normalisasi era BTP yang juga digagas di era Jokowi. Alasannya, normalisasi sungai kerap menggusur warga yang tinggal di bantaran kali dan waduk.

Anies pun menawarkan opsi lain, yakni menangani banjir dengan program naturalisasi sungai dan menggunakan sistem drainase vertikal. Sebenarnya nama program itu agak mirip dengan program BTP, sehingga kesannya seperti upaya menandingi.

“Cara seperti itu harapannya mampu mengurangi volume air di sungai, sebab air sudah masuk ke dalam tanah. Ke depannya Jakarta bisa terbebas banjir karena vertical drainase bukan horizontal drainase,” kata Anies di DPP Partai Gerindra, Ragunan, Jakarta Selatan, Kamis (16/2/2017).

Setelah dua tahun, akhirnya pada 25 Maret 2019, Anies baru meneken Pergub Nomor 31 tahun 2019 tentang Pembangunan dan Revitalisasi Prasarana Sumber Daya Air (SDA) Secara Terpadu dengan Konsep Naturalisasi.

Dalam regulasi ini, Anies memandatkan secara khusus kepada Dinas SDA DKI Jakarta untuk menjalankan program naturalisasi sungai. Caranya dengan membangun ruang terbuka hijau (RTH) dan menentukan batas garis sempadan sungai.

Dalam beleid itu, naturalisasi sungai yang dimaksud Anies sebagai pengelolaan prasarana sumber daya air melalui konsep pengembangan RTH, serta tetap memperhatikan kapasitas tampung, fungsi pengendalian banjir, dan konservasi.

Namun, setelah sembilan bulan Pergub itu diberlakukan, kenyataannya banjir masih melanda ibu kota. Banjir pada awal tahun baru 2020 itu bahkan disebut-sebut termasuk yang terparah selama beberapa tahun terakhir.

Peneliti studi tata kota dari Pusat Studi Perkotaan, Nirwono Yoga menilai pendekatan normalisasi Jokowi-Ahok maupun naturalisasi yang dilakukan Anies sama saja akan menggusur pemukiman warga di bantaran sungai dan waduk.

Sebab, kata dia, Pemerintah DKI harus melebarkan badan sungai agar kapasitas air meningkat dan memiliki sempadan sungai yang optimal.

“Pendekatan apa pun yang akan dipilih, baik normalisasi, naturalisasi, maupun perpaduan keduanya, relokasi permukiman warga di bantaran sungai adalah keharusan," tulis dia melalui esai "Galau Normalisasi atau Naturalisasi” yang dirilis di Tempo.co, pada 17 April 2019.

Oleh karena itu, lkata dia, sosialisasi yang intensif dan masif penting untuk dilakukan dengan warga, diberikan wawasan risiko tinggal di daerah rawan banjir dan longsor.

Sejak awal, program naturalisasi alas Anies Baswedan ini juga dikritik oleh Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) DKI Jakarta karena tidak melibatkan warga sama sekali dalam pembentukan dan pelaksanannya. Apalagi program ini dinilai rentan menggusur paksa warga.

“Keterlibatan masyarakat masih terbatas. Peran masyarakat itu peluangnya tidak banyak. Di sini [Pergub naturalisasi], soal upaya bagaimana pembangunan atau upaya pembangunan dan revitalisasi, Pergub ini belum melibatkan masyarakat,” kata Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Tubagus Soleh Ahmadi.

Padahal, kata Tubagus, keterlibatan masyarakat sangat penting dalam implementasi Pergub itu, khususnya bagi mereka yang memang memiliki tempat tinggal bersentuhan dengan sungai.

Baca juga artikel terkait BANJIR JAKARTA atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz