tirto.id - Banjir menjadi masalah akut yang tak hanya terjadi dalam satu atau dua tahun belakangan. Banjir menjadi 'bencana tahunan' yang kerap datang dan pergi di kehidupan masyarakat Jakarta.
Banjir di Jakarta senantiasa menjadi problematika rutin yang selalu dihadapi oleh nyaris setiap pemimpin ibu kota dari masa ke masa, sejak zaman Maharaja Purnawarman hingga era Gubernur Anies Baswedan.
Bahkan, antropolog sosial asal Belanda, Roanne van Voorst pernah melakukan penelitian ekstensif di salah satu wilayah yang paling rawan banjir di Jakarta.
Dalam bukunya berjudul Tempat Terbaik di Dunia: Pengalaman Seorang Antropolog Tinggal di Kawasan Kumuh Jakarta (2018), ia menemukan fakta bahwa banjir menjadi semacam 'ritual' tahunan yang mesti dipersiapkan sedemikian rupa oleh warga yang lingkungannya kerap dihantam banjir. Persiapan itu dinilai penting untuk meminimalisir korban dan kerugian harta.
Tentu banjir tak bisa 'diromantisir' atau 'dinormalisasi'. Banjir mesti segera diselesaikan oleh pihak berwenang. Namun, hal ini selalu menjadi perdebatan lantaran cara atau konsep menangani banjir yang kerap berubah di setiap pergantian rezim.
Lihat saja perbedaan cara mantan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok dengan Gubernur Anies Baswedan dalam menangani banjir di Jakarta.
BTP: Normalisasi Sungai
Salah satu solusi yang ditawarkan BTP adalah normalisasi sungai guna mencegah potensi terjadinya banjir. BTP yakin masalah banjir yang kerap melanda wilayah ibu kota dapat diselesaikan dengan melakukan normalisasi terhadap seluruh sungai dan waduk.
"Normalisasi sekarang kan masih belum selesai, belum cukup. Sedangkan hujannya terus-menerus. Jadi, tunggu sampai normalisasi selesai," kata BTP saat masih menjabat Gubernur DKI Jakarta, Selasa(21/2/2017) seperti dilansir dari Antara.
Menurut BTP, air di sungai maupun waduk dapat meluap apabila hujan terus mengguyur. Terlebih, apabila daya tampung air pada sungai dan waduk berkurang akibat bangunan yang berdiri di atas atau bantarannya.
"Oleh karena itu, kalau hujan deras terus-menerus, berarti harus sediakan wadah atau tampungan air yang lebih besar. Sungai-sungai dan waduk-waduk harus diperlebar lagi," ujar dia.
BTP menuturkan banyaknya bangunan liar yang berdiri di bantaran sungai mengakibatkan penyempitan, sehingga daya tampungnya ikut berkurang.
Program normalisasi sendiri dikenal dengan penggusuran permukiman di bantaran sungai dan warga dipindahkan ke rumah susun. Daerah aliran sungai itu lalu dilebarkan dan dibeton demi menampung limpasan air dari daerah hulu saat musim hujan.
Anies: Naturalisasi Sungai dan Vertikal Drainese
Konsep BTP dalam menyelesaikan masalah banjir di Jakarta mulai goyang menjelang Pilkada 2017, terlebih masuknya Anies ke dalam gelanggang diskursus kebijakan publik Jakarta.
Sejak kampanye, Anies sudah getol mengkritik kebijakan BTP yang masih saja menggunakan sistem drainese berbasis hotizontal. Anies menilai harusnya cara mencegah banjir adalah dengan membuat sistem drainese berbasis vertikal.
"Kami menawarkan konsep vertikal drainase bukan horizontal drainase," ucap Anies di DPP Partai Gerindra, Ragunan, Jakarta Selatan, Kamis (16/2/2017).
Menurut Anies, banjir tidak cukup dialirkan ke laut seperti konsep horizontal drainase. "Yang tepat itu pengelolaan vertikal drainase yaitu banjir tetap dimasukan ke bumi, bukan horizontal drainase."
"Cara seperti itu harapannya mampu mengurangi volume air di sungai, sebab air sudah masuk ke dalam tanah. Kedepannya Jakarta bisa terbebas banjir karena vertical drainase bukan horizontal drainase," jelasnya.
Tak hanya itu, salah satu upaya Anies menangani banjir adalah dengan program 'naturalisasi sungai' -- nama yang agak mirip dengan program BTP, seperti upaya menandingi.
Naturalisasi merupakan program yang dibicarakan Gubernur Anies Baswedan sejak masa kampanye Pilkada DKI Jakarta. Anies menolak pendekatan normalisasi sungai yang diusung era pemerintahan Ahok.
Sementara program naturalisasi yang ditawarkan Anies adalah dengan menghidupkan ekosistem sungai dan waduk, salah satunya mengembangkan tanaman di tepi sungai. Dalam kampanye tahun lalu, Anies menolak pembetonan dan penggusuran pemukiman di bantaran sungai.
Namun, hingga April 2019--artinya sudah lebih dari setahun Anies menjabat--program tersebut tak kunjung terealisasi. Konsep riilnya pun masih tak jelas.
Hal itu dikritik habis-habisan oleh DPRD DKI Jakarta bahkan oleh WALHI Nasional, mengingat program tersebut membawa embel-embel "menghidupkan ekosistem sungai dan waduk."
Banjir pun kembali menerjang Jakarta akhir April ini. Namun, seperti kehabisan ide, Anies hanya melontarkan janji lama yakni menjalankan vertical drainese serta menunggu rampungnya pembangunan waduk dan bendungan.
Anies pun melempar tanggung jawab atas belum rampungnya pembangunan waduk dan bendungan kepada pemerintah pusat lantaran hal itu bukan program pemprov DKI.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Gilang Ramadhan