tirto.id - Yudistira Mustikaning Bawana (36 tahun) tidak pernah menyangka akan menghabiskan waktu lebih dari tiga jam dengan sia-sia di jalanan. Pada Jumat malam (26/4/2019), ia sedang berada dalam perjalanan pulang dari Bintaro sektor lima, Jakarta Selatan, menuju rumahnya yang terletak di Jl. Ciater Raya, Tangerang Selatan.
Perjalanan bersama dengan anaknya menuju rumah itu seharusnya hanya memakan waktu sekitar 30 menit berdasarkan pengalamannya selama ini. Hal yang sama juga terjadi pada Jumat malam sekalipun, waktu di mana jalanan kerap menjadi “neraka” bagi setiap pengemudi kendaraan yang tengah diuji kesabarannya.
Jakarta dan sekitarnya dalam beberapa hari terkahir sudah diguyur dengan hujan yang cukup lebat. Namun, hari itu memang berbeda. Hujan turun dengan derasnya selama beberapa jam, seolah rintik air sedang berlomba menghanyutkan pekatnya seluruh udara yang menyelimuti Jakarta dan daerah di sekitarnya.
Sayangnya, hujan kali ini tidak membawa berkat. Sejumlah titik terendam banjir, membuat “neraka” yang sudah menjadi rutinitas pada jumat malam menjadi kekacauan yang seolah tak dapat lagi disentuh nalar.
Yudi dan anaknya menjadi salah satu dari sekian banyak orang yang mencicipi betapa buruknya jalanan pada Jumat malam tersebut. Karyawan swasta itu mulai menjumpai anomali tersebut sekitar pukul 19.30 WIB, kurang lebih 300 meter selepas ia memasuki gerbang tol Pondok Ranji ke arah Bumi Serpong Damai (BSD).
“Mulai dari situ sampai ke rest area tol BSD butuh waktu tempuh 2,5 jam,” sebutnya kepada reporter Tirto.
Padahal, kata Yudi, waktu tempuh dari Bintaro sektor 5 hingga ke rumahnya biasanya hanya memerlukan waktu sekitar 30 menit.
Karena ia sedang bersama dengan anaknya, Yudi tidak bisa berhenti berpikir bagaimana caranya agar dapat cepat keluar dari jebakan lalu lintas yang tengah menghimpitnya itu. “Kemanapun itu pokoknya keluar dari kemacetan,” kata Yudi sembari tersenyum.
Beruntung, Yudi mendapatkan informasi dari istrinya bahwa ada separator tol yang dibuka agar para pengemudi dapat berbalik arah dan terlepas dari jebakan tersebut. Info itu didapatkan istrinya dari rekannya yang berada dalam kemacetan yang sama, kendati sudah berada jauh di depannya.
“Tapi, waktu tempuh sejak dari dapat info itu sampai nemu titik separator yang dibuka kurang lebih 30 menit. Padahal, jaraknya enggak sampai 1 kilometer,” sebut dia. “Saya kemudian putar balik ke arah Jakarta, dan masuk lagi ke Bintaro Jaya lewat exit Viaduct, karena exit Pondok Aren juga stuck.”
Yudis dan anaknya akhirnya urung berkumpul lagi bersama sang istri di rumah. Lelah yang menghantamnya memaksa ia dan sang anak untuk beristirahat di Hotel Citra Dream Bintaro. “Jadi saya menempuh tiga jam dari Bintaro untuk kembali ke Bintaro lagi,” kata Yudi.
Mereka yang tiba di titik tol tersebut setelah Yudi mungkin mengalami nasib yang serupa. Dalam perjalanan baliknya ke Bintaro, Yudi melihat bahwa petugas tol sudah mengalihkan kendaraan agar keluar dari tol ke Bintaro Jaya. Tol ke arah BSD, kata dia, sudah ditutup.
Hujan yang lebat memang membuat sejumlah titik di Jakarta dan daerah sekitarnya terendam banjir. Tol Bintaro-Serpong adalah salah satunya. Titik kilometer 8.400 hingga 8.700, menurut laporan PT Jasa Marga, terendam banjir setinggi 40 sentimeter. Jalur tol dari arah Bintaro sampai Serpong pada Jumat malam tersebut sempat ditutup dan lalu lintas dialihkan.
Polisi lalu lintas melalui akun Twiter resmi mereka juga mengimbau agar para pengguna kendaraan untuk tidak melintasi jalan tol itu. “20:54 #Banjir semakin meninggi di KM 8,400 s/d KM 8,700 Tol Bintaro-Serpong (dikedua arah), bagi kendaraan sejenis sedan dan minibus dihimbau tidak melintas,” twit akun resmi TMC Polda Metro Jaya, pada hari yang sama.
Situasi yang hampir sama berlaku pula untuk Bonaventura Pradipta (31 tahun). Rencananya untuk menonton film “The Avengers: End Game” bersama istrinya tepat waktu berantakan. Ia terpaksa membeli kembali tiket film tersebut pada waktu tayang yang lebih larut karena terjebak macet yang tidak biasa dalam perjalanannya menuju bioskop yang terletak di dekat rumahnya di BSD.
Ia dan istrinya sudah berusaha menghindari macet dan banjir dengan cara menghindari jalan tol. Sayangnya, rencananya tidak berjalan semulus yang diharapkan. Kemacetan nyatanya juga menghantam dirinya ketika melewati jalur yang dipilihkan oleh aplikasi Google Maps yang ia andalkan.
“Wah, tiga jam dari Lebak Bulus ke BSD ... [Rasanya] capek, pasrah dan lapar,” kata dia, sembari menambahkan bahwa perjalanan normal di Jumat malam hanya sekitar satu hingga satu setengah jam.
Sedikit berbeda, Ruth Verawaty (31 tahun), seorang karyawan swasta sebuah bank BUMN, mengatakan bahwa ia tidak merasakan secara langsung kemacetan akibat hujan deras semalam. Dari kantornya di bilangan SCBD, Jakarta Pusat, menuju rumahnya di Kampung Pabuaran, Bekasi. Kendati demkian, ia masih berhadapan dengan laknatnya kemacetan pada Jumat malam.
Tidak seperti hari biasanya, pada Jumat, waktu yang semakin larut justru tidak membebaskannya dari kemacetan. Kondisi rute jalan yang dilaluinya, utamanya ketika melintasi Jakarta Outer Ring Road (JORR), malah semakin memburuk selepas pukul 22.00 WIB.
Jika pada hari biasa waktu tempuh hanya mencapai sekitar 75 menit, maka pada Jumat malam waktu tempuhnya dapat mencapai hingga sekitar 2 jam. Namun, ia mengakui bahwa memasuki 2019, kondisi jalan sudah sedikit lebih baik.
Khusus untuk Jumat kemarin, ia sempat terjebak cukup lama sekitar 30 menit di terowongan yang terletak di Cawang, Jakarta Timur. Ia mengira, kemacetan yang terjadi di sana terdampak oleh adanya banjir di Kampung Melayu, yang daerahnya memang berdekatan.
Menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jakarta, untuk wilayah Jakarta Timur, RW 05 di Kelurahan Balekambang, RW 02, 05, dan 08 di Cawang, RW 04, 05, dan 08, di Kelurahan Kampung Melayu, serta RW 07 dan 11 di Bidara Cina memang menjadi titik banjir pada hari Jumat. Ketinggian banjir rata-rata sekitar 20 cm hingga 100 cm.
Ruth sendiri pernah terjebak dalam kemacetan yang parah hingga empat jam akibat adanya banjir pada rute yang dilaluinya pada Jumat malam. Stres jelas dialaminya dan untuk mengusir penatnya ia bahkan sempat menyelesaikan satu episode drama korea di dalam mobilnya karena lalu lintas yang tak kunjung lancar.
“Bayangin, aku bisa habis satu episode cuma buat mengatasi macet,” kata dia sambil tertawa.
Tidak banyak yang ia lakukan selepas tiba di rumah. Seperti lubang hitam, kemacetan seolah telah menghisap habis energi tubuhnya.
“Mau mati rasanya,” kata dia. “[Sudah] enggak ada keinginan buat ngobrol sama orang rumah. [Begitu] sampai, langsung masuk kamar. Tidur.”
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Abdul Aziz