Menuju konten utama

Banjir Era Anies dan Ahok BTP, Apa Bedanya?

Era Anies, Jakarta banjir. Pun saat Era Ahok BTP. Jakarta, faktanya, memang langganan banjir.

Banjir Era Anies dan Ahok BTP, Apa Bedanya?
Anak-anak bermain di jalanan inspeksi Kampung Pulo yang terendam banjir, Jakarta, Kamis (2/1/2020). tirto.d/Andrey Gromico

tirto.id - Banjir adalah 'nama tengah' DKI Jakarta. Banjir besar, misalnya, pernah tercatat pada 1621. Ia tak peduli siapa yang sedang jadi gubernur, atau apa kebijakan yang pemimpin daerah tersebut tawarkan.

Namun dalam banjir yang mulai terjadi pada awal tahun 2020, banyak yang menyoroti kinerja Gubernur DKI saat ini, Anies Baswedan. Khususnya, membandingkannya dengan apa yang terjadi di era Basuki Tjahaja Purnama. BTP dianggap lebih berhasil ketimbang Anies.

Salah satu yang viral di media sosial adalah gambar perbandingan sebaran titik banjir di Jakarta era Anies dan BTP. Pada era BTP tergambar peta Jakarta dengan beberapa titik merah tanda banjir. Pada era Anies titik hanya satu, tapi itu digambarkan sangat besar sampai-sampai menutupi seluruh Jakarta.

Selain oleh warganet, kritik juga disampaikan Ketua Fraksi PDIP di DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono. Ia meminta Anies meniru sistem penanganan banjir era BTP.

Faktanya, pada era BTP pun terjadi banjir. Saat BTP menjabat gubernur pada 2014, terdapat 688 Rukun Warga (RW) yang terendam, dengan jumlah pengungsi mencapai 167.727 orang. Sebanyak 23 korban meninggal dunia.

Pada 2015, berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana Daerah (BPDB), terdapat 702 RW yang terdampak banjir dengan jumlah pengungsi 45.813 orang. Korban meninggal sebanyak 18 orang, atau lima angka lebih sedikit ketimbang tahun sebelumnya.

"Pada tahun ini, ketinggian volume air mencapai 10 sampai 200 cm," tulis data rekapitulasi banjir Januari 2015.

Setahun kemudian, banjir berkurang. Tercatat ada 460 RW terdampak banjir dengan jumlah pengungsi berkurang enam kali lipat menjadi 7.760 orang. Banjir yang biasanya bisa bertahan hingga satu minggu pun menjadi cepat surut dengan maksimal waktu genangan dua hari.

Pada 1 Januari hingga 16 Oktober 2017 (sebelum BTP diganti wakilnya, Djarot Saiful Hidayat), banjir tercatat menggenangi 375 RW, sementara jumlah pengungsi sebanyak 9.100 orang yang tersebar di banyak posko.

BTP mengatakan titik rawan banjir hanya 80 pada Februari 2017. Ini adalah pencapaian karena menurutnya "ada sekitar 2.200 lokasi banjir waktu kami (BTP dan Joko Widodo) baru masuk (menjabat Gubernur-Wakil Gubernur DKI)." "Terus tahun lalu tinggal 400an titik banjir. Bulan ini, sebelum naik lagi, tinggal 80 titik saja."

Teguh Hendrawan, saat menjabat Kepala Dinas SDA DKI, mengatakan "titik rawan terjadi pada kawasan yang berdekatan dengan sungai atau saluran yang belum terkena proyek normalisasi." Misalnya Kampung Melayu.

Memasuki masa pemerintahan Gubernur Anies Baswedan pada 2018, BPBD DKI Jakarta mencatat ada 46 banjir yang memuat 15.627 warga terpaksa mengungsi.

Sepanjang 2018, banjir terjadi di 30 kecamatan, 63 kelurahan, dan 217 RW. Jakarta Barat terdampak paling banyak, jumlahnya 78 RW. Sementara Jakarta Selatan 64 RW, Jakarta Timur 58 RW, Jakarta Utara 11 RW, dan Jakarta Pusat 6 RW. Ketinggian air 5 hingga 300 sentimeter.

Banjir kembali terjadi pada April 2019. Banjir yang menggenangi sejumlah permukiman di Jakarta Timur dan Selatan karena meluapnya Sungai Ciliwung mengakibatkan 2.942 warga terpaksa mengungsi.

Berdasarkan data BPBD DKI, daerah terdampak banjir terdiri dari 18 titik, terdiri dari 4 titik di Jakarta Selatan dan 14 titik di Jakarta Timur.

"Dengan ketinggian banjir berkisar antara 5 cm hingga 175 cm," tulis laman dari BPBD DKI Jakarta.

Akibat banjir tersebut, pada 26 April 2019, ada satu orang meninggal dunia akibat terseret arus Kali Ciliwung di Kelurahan Kebon Baru Jakarta Selatan.

Perbedaan Solusi

Solusi paling kentara yang ditawarkan oleh BTP adalah normalisasi kali dan waduk.

"Kalau hujan deras terus-menerus, harus sediakan wadah atau tampungan air yang lebih besar. Sungai dan waduk harus diperlebar lagi," ujar dia suatu ketika.

BTP mengatakan sungai semakin menyempit karena banyaknya bangunan 'liar'. Karenanya normalisasi kerap 'satu paket' dengan penggusuran warga.

Setelah penggusuran, daerah aliran sungai itu lalu dilebarkan dan dibeton.

Salah satu yang terkena dampak normalisasi adalah Kampung Pulo. Tapi normalisasi gagal, terbukti pada awal 2020, lokasi ini tak terhindar dari banjir.

Sementara Anies, sejak kampanye, sudah getol mengkritik kebijakan normalisasi BTP. Anies menilai harusnya cara mencegah banjir adalah dengan membuat drainase vertikal--saluran yang membuat langsung masuk ke tanah.

"Jakarta bisa terbebas banjir karena drainase vertikal, bukan drainase horizontal," ucap Anies, 16 Februari 2017.

Upaya lain Anies menangani banjir adalah dengan program naturalisasi sungai. Gagasan utama program itu bukan membeton sungai seperti normalisasi, tapi menghidupkan ekosistem di sekitarnya.

Namun program tersebut tak kunjung terealisasi. Banjir akhirnya datang lagi.

Per Rabu (1/1/2020) malam, posko banjir Jakarta dipenuhi 31.232 pengungsi. Mereka tersebar di Jakarta Pusat sebanyak 310 orang, Jakarta Utara sebanyak 1.515 orang, Jakarta Barat 10.686 orang, Jakarta Timur 13.516 orang, dan Jakarta Selatan 5.305 orang.

Mungkin karena tidak berjalannya program itulah banjir era Anies, seperti yang disebut DW, adalah "banjir terburuk yang melanda ibu kota Indonesia sejak 2013."

Namun, yang perlu dicatat, kondisi cuaca era Anies dan BTP berbeda. BMKG mengatakan curah hujan awal tahun 2020 "sangat ekstrem." Bahkan curah hujan pada 1 Januari kemarin jadi yang tertinggi sejak 24 tahun terakhir.

Baca juga artikel terkait BANJIR JAKARTA atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino