tirto.id - Mundurnya Perdana Menteri Jepang, Ishiba Shigeru, menjadi perbincangan politik yang hangat. Tidak hanya di Negeri Sakura sendiri, tapi juga di seluruh dunia. Jepang memang memiliki pengaruh besar dalam percaturan politik dan ekonomi dunia sehingga peristiwa politik di dalam negerinya juga jadi menarik perhatian.
Mundurnya Ishiba pada Minggu (7/9/2025) sempat membuat nilai tukar yen turun hingga 0,8 persen terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Di sisi lain, mundurnya Ishiba malah membuat indeks bursa saham Jepang menguat signifikan. Indeks Nikkei 225 naik 1,45 persen dan ditutup pada posisi 43.643,81.
Sebagaimana diberitakan Kyodo News, kemunduran Ishiba berkaitan dengan akibat kebijakan Presiden AS, Donald Trump, yang mengenakan tarif 24 persen pada impor Jepang. Kebijakan Trump itu pun memberi pengaruh signifikan pada industri otomotif Jepang lantaran pengenaan tarif 27,5 persen.
Dalam pidato pengunduran dirinya, Ishiba mengatakan telah berupaya sekuat tenaga untuk menyelamatkan perekonomian negaranya dari imbas kebijakan tarif resiprokal Trump. Jepang dan AS sendiri telah berunding selama berbulan-bulan sejak kebijakan tarif resiprokal Trump diumumkan pada 1 Februari 2025.

Dalam perundingan tersebut, AS bersedia menurunkan tarif resiprokal tersebut menjadi 15 persen. Sebaliknya, AS membebani Jepang dengan komitmen meningkatkan pembelian beras dan pesawat dari AS.
Segera setelah Ishiba mengumumkan pengunduran dirinya, Presiden Donald Trump menyampaikan keterkejutannya. Dia amat menyayangkan hal itu dan mengaku merasa cocok bekerja sama dengan Ketua Umum Jiyu Minshuto (Liberal Democratic Party—LDP) itu.
"Saya terkejut karena saya mengetahuinya dan saya menyukainya. Dan dia baru saja mengundurkan diri. Dalam pengalaman saya berinteraksi dengan Shigeru, dia adalah sosok yang menyenangkan dan kesepakatan antara Jepang dan AS berhasil dicapai," kata Trump beberapa saat pascapengunduran diri Ishiba.
Bagaimana Nasib Jepang Usai Pengunduran Diri Ishiba Shigeru?
"Saya selalu mengatakan bahwa saya tidak akan berpegang teguh pada jabatan ini dan akan memutuskan untuk mengundurkan diri pada waktu yang tepat," demikian bunyi potongan pidato pengunduran diri PM Ishiba.
Dilansir Time, pengunduran diri PM Ishiba sebenarnya sudah diprediksi sejak lama oleh pejabat dan masyarakat Jepang. Indikasinya mulai muncul usai LDP menelan dua kali kekalahan berturut-turut dalam pemilu.
Kekalahan LDP itu menjadi pukulan telak bagi Ishiba. Pasalnya, LDP selalu menjadi pemenang pemilu sejak 1955. Kini, LDP kehilangan dukungan dari mayoritas anggota Majelis Rendah Parlemen Jepang. Terlebih, kekalahan itu terjadi saat Ishiba tengah disibukkan oleh masalah tarif Trump. Itu adalah salah satu isu terberat dalam setahun masa kerjanya.
Sebagai informasi, pemilihan dan rotasi Perdana Menteri dalam sistem politik Jepang dilaksanakan setiap dua tahun sekali. Ishiba hanya menjabat kurang dari setahun. Dia menjabat ketika Jepang dilanda banyak pukulan ekonomi, mulai dari inflasi, masalah keuangan internal, dan ketidakpastian hubungan bilateral dengan AS.
Pengamat sekaligus peneliti tamu Japan Institute for International Affairs, Stephen Nagy, menuturkan bahwa mundurnya Ishiba tidak mutlak hanya karena faktor ekonomi. Menurutnya, situasi politik Jepang saat ini mirip dengan situasi yang berlaku di pengujung abad ke-20.
"Saat ini, Jepang sedang memasuki periode kepemimpinan bergilir yang serupa dengan akhir tahun 1990-an, ketika terdapat enam Perdana Menteri selama tujuh tahun. Ini bukan periode yang tepat untuk pengambilan kebijakan besar di Jepang," jelas Nagy.

Bagaimana Indonesia Belajar dari Pengunduran Diri Shigeru?
Profesor Studi Asia di Temple University, Jeff Kingston, mengungkapkan bahwa kekalahan LDP dalam pemilu dan masalah situasi keuangan Jepang sebenarnya tidak sepenuhnya menjadi “dosa” Ishiba. Menurutnya, Perdana Menteri sebelumnya, Abe Shinzo,ikut menyumbang “dosa” karena meninggalkan LDP dalam kondisi terpecah.
Akibatnya, Ishiba menduduki kursi pimpinan baru yang amat rapuh. Oleh karena itu, setiap kebijakannya bisa jadi sorotan. Setiap kritik yang menimpanya juga membuat posisinya di pemerintahan kian lemah.
Terlebih, Ishiba juga tak berhasil membangun konsolidasi yang kuat antara parlemen dan Pemerintah Jepang.
"Abe meninggalkan LDP yang terpecah serta skandal unifikasi Gereja Ortodoks yang menyeret banyak anggota LDP," kata Kingston dikutip Time.
Meski demikian, pengunduran diri Ishiba tersebut menuai apresiasi dari masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia menilainya sebagai langkah yang positif, bahwa dia mengakui kesalahannya dalam pemerintahan dan mengundurkan diri.
Menurut pengamat politik Voxpol Center Research, Pangi Syarwi Chaniago, sikap Ishiba itu semestinya menjadi contoh bagi para pejabat di Indonesia. Bahwa, sebagai pengemban amanat publik, pejabat mestinya memiliki rasa malu dan berani mengakui kesalahan.
"Tradisi budaya malu enggak ada di Indonesia. Politisi wajah tembok model made in Indonesia per hari ini," kata Pangi saat dihubungi Tirto, Senin (8/9/2025).
Menurut Pangi, ada satu tradisi politik di Indonesia yang harus segera dibenahi dan dihapus, yaitu adagium “berjuang sampai titik darah penghabisan”. Dia menyebut adagium tersebut tidak relevan dengan dunia politik yang seharusnya tahu batasan dan rasa malu.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, mengingatkan kepada pemerintah Indonesia bahwa kondisi di Jepang serupa dengan Indonesia yang terkena dampak tarif resiprokal AS. Pukulan telak dari tarif resiprokal berdampak pada industri di Jepang yang bertumpu pada sektor otomotif.
“Efek dari [kebijakan] tarif Amerika Serikat itu cukup tinggi [bagi Jepang]. Efeknya adalah lapangan kerja di otomotif, elektronik, komoditas itu turun. Di satu sisi, Indonesia harus waspada karena efek dari importasi barang-barang dari Amerika itu melemahkan rupiah, kemudian menghantam produksi lokal-lokal," kata Bhima saat dihubungi Tirto, Senin (8/9/2025).
Masalah tarif resiprokal AS tidak hanya berdampak pada sisi ekonomi, tapi juga aspek sosial. Terlebih, Jepang juga mengalami masalah pengangguran usia muda dan ketimpangan penduduk usia produktif.
"Isunya memang adalah lapangan kerja. Kalau di Jepang itu, lapangan kerja memang sensitif karena memang dampak tarif resiprokal dengan Trump bisa mengancam lapangan kerja. Indonesia harus belajar dari kasus tersebut, apalagi di Indonesia saat ini masalah pengangguran sampai 13 persen," tegas Bhima.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi
Masuk tirto.id


































