tirto.id - Penyelenggara pemilu mengatakan pilkada dengan satu pasangan calon meningkatkan eskalasi politik uang. Taring pengawas pemilu akan diuji. Calon tunggal tentu akan melakukan segala cara, termasuk politik uang, demi mendulang suara, meskipun potensi kemenangan terbuka lebar.
Secara aturan, calon tunggal melawan kotak kosong diakomodasi UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016.
Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, mengatakan fenomena calon tunggal melawan kotak kosong menandakan publik memilih dua pilihan dalam menghadapi Pilkada 2024. Menurut Bagja, kotak kosong tidak boleh dikesampingkan.
Para pengawas harus menunjukkan kemampuan sebagai lembaga yang berwenang menangani pelanggaran pemilu. Pengawas harus berani menghadapi pihak yang melanggar aturan pemilu.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat sekitar 37 orang pasangan calon dalam pilkada akan melawan kotak kosong pada Pilkada 2024 yang digelar pada 27 November 2024.
Eksistensi kotak kosong dalam hajatan lima tahunan itu menjadi refleksi kritis terhadap daerah dan partai politik yang hanya mengusulkan kandidat tunggal. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 mengubah ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.
Lewat putusan ini, partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPRD bisa mencalonkan kandidat sendiri. Penghitungan syarat untuk mengusulkan pasangan calon melalui partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu hanya didasarkan pada hasil perolehan suara sah dalam pemilu di daerah yang bersangkutan.
KPU juga sempat memperpanjang pendaftaran bagi daerah yang terdapat calon tunggal. Nyatanya, hingga masa pendaftaran ditutup dari 44 daerah yang terdapat calon tunggal, angkanya hanya turun menjadi 37.
Kemunculan calon tunggal vs kotak kosong akan menguji nalar kritis pemilih. Apalagi, kampanye kotak kosong diperbolehkan selama tidak menggunakan fasilitas negara.
Calon Tunggal Tak Menjamin Minimalkan Politik Uang
Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantauan Pemilu, Kaka Suminta, mengatakan calon tunggal dalam pilkada tak menjamin meminimalkan potensi politik uang. Kaka menyitir riset Burhanuddin Muhtadi, yang menemukan politik uang cenderung mengalami kenaikan dari pemilu ke pemilu.
Berdasarkan riset tersebut, sekitar 33 persen atau 62 juta dari total 187 juta pemilih yang masuk dalam data pemilihan tetap pada 2014 terlibat dalam politik uang. Begitupun di tahun 2019, total responden survei yang menjawab “sangat sering”, “sering”, dan “jarang” mencapai 33,1 persen, sama persis dengan temuan di tahun 2014.
Pemilih yang menjadi simpatisan merupakan target utama politik uang dan jumlahnya mencapai 15 persen dari total pemilih, sedangkan 85 persen lainnya adalah swing voters. Survei juga menunjukkan bahwa operator politik uang berasal dari semua partai.
Riset bertajuk “Votes For Sale Klientelisme, Defisit Demokrasi, dan Institusi” itu menggarisbawahi politik uang adalah usaha terakhir dalam memengaruhi keputusan pemilih dalam memberikan suara di pemilu, yang dilakukan sebelum pemungutan suara, dengan cara memberikan uang tunai, barang, atau imbalan material lainnya kepada pemilih.
"Saya pikir tetap tinggi meski calon tunggal, riset dari Burhanuddin mengonfirmasi masyarakat makin permisif dengan politik uang. Dan dari pemilu ke pemilu makin besar," kata Kaka Suminta saat dihubungi Tirto, Rabu (2/10/2024).
Kaka menyebut bentuk pelanggaran pilkada yang hanya calon tunggal tidak hanya politik uang, tapi juga pengerahan aparatur sipil negara (ASN), bahkan melibatkan lembaga di luar ASN, seperti TNI dan Polri.
Ia mengatakan, sejak hadirnya calon tunggal, demokrasi makin mengalami kemunduran. Partai politik, kata dia, tidak menghendaki apa kemauan masyarakat untuk daerahnya. Padahal, partai politik mestinya menghadirkan pilkada yang demokratis dan rasional. Sebab, partai politik hanya memikirkan kalah dan menang dalam kontestasi.
"Parpol gagal melakukan pendidikan politik dan menjadi lembaga saluran politik demokrasi," tuturnya.
Menurut Kaka, lembaga pengawas pemilu harus memperkuat pengawasan, sedangkan KPU harus lebih gencar melakukan sosialisasi. Ia mengatakan, pengawasan tak cukup hanya sinyalemen ketika melihat pelanggaran, tetapi harus dibuktikan dengan penindakan, serta harus melakukan upaya mitigasi.
"Bagaimana memitigasinya sehingga bisa mencegahnya. Kalau tidak bisa dicegah, penindakannya seperti apa. Ini harus dijelaskan ke publik," ungkapnya.
Kinerja Pengawas Pemilu Buruk
Ketua The Constitutional Democracy Initiative, Kholil Pasaribu, pesimistis pengawas pemilu akan menunjukkan taringnya dalam menindak praktik politik uang yang melibatkan calon tunggal di Pilkada 2024. Pasalnya, pengawas pemilu belum melakukan pengawasan secara maksimal terhadap praktik politik uang dalam pemilu-pemilu Sebelumnya. Alhasil, praktik politik uang dianggap lazim dalam hajatan pemilu.
"Sebenarnya pengawas kita punya jejak yang tidak begitu maksimal kalau melawan politik uang," kata Kholil saat dihubungi Tirto, Rabu.
Kholil menyebut pengawasan yang dilakukan Bawaslu tak membawa perubahan positif terhadap politik uang. Justru, para pelaku banyak yang lolos dari jeratan sanksi. Menurutnya, tensi politik di daerah yang hanya satu pasangan calon harusnya berjalan aman, tetapi bukan berarti tak ada politik uang.
"Pengawas kita juga sering sekali tidak mengoptimalkan pengawasan melekatnya," ucap Kholil.
Pengawas pemilu cenderung tak melaksanakan pengawasan melekatnya dengan baik, tetapi kerap menunggu laporan masyarakat baru melakukan penindakan. Padahal, pengawas pemilu berwenang melaksanakan pengawasan melekat. Kholil merasa heran dengan tabiat para pengawas pemilu itu.
Ia menyadari jumlah pengawas pemilu dari kecamatan hingga kelurahan sangat terbatas. Namun, hal itu tidak menjadikan alasan untuk tak melaksanakan kewenangan mereka sebagai pengawas pemilu.
"Biasanya mereka ini kalau sudah menyangkut urusan politik uang selalu kualitas pengawasannya minimal. Jadi, gak benar-benar memanfaatkan kewenangan pengawasan melekatnya," tutur Kholil.
Kholil mengatakan kemenangan calon tunggal memang tinggi, tetapi tabiat partai politik atau kandidat bersama tim akan sulit menghindari politik uang demi mendulang suara.
"Jadi, sangat disayangkan kalau politik uang besar, apalagi menyadari peluang calon tunggal menang di wilayah yang calonnya tunggal lebih tinggi," kata Kholil.
Setali tiga uang, peneliti politik Populi Center, Usep Saepul Ahyar, pesimistis politik uang akan hilang dalam hajatan pemilu. Sebab menurutnya, politik di Indonesia amat pragmatis. Masyarakat menjadi malas, sehingga ikut terkontaminasi dalam praktik politik uang.
Di sisi lain, ia memandang peran Bawaslu dalam melakukan pengawasan sangat terbatas. Penindakan pelanggaran pemilu baru akan dilakukan baru tahap masa kampanye.
"Berarti di luar tahapan itu tidak bisa. Instrumen untuk melaksanakan itu juga sangat terbatas," kata Usep kepada Tirto, Rabu.
Menurutnya, kesadaran masyarakat sangat renda, sehingga muskil mencegah politik uang. Mencegah politik uang tidak bisa hanya dilakukan Bawaslu.
"UU harus diperketat, lalu ada kesadaran dari parpol dan kandidat," ucapnya.
Usep tak yakin calon tunggal tak mempraktikan politik uang meski potensi kemenangan tinggi, sebab politik penuh dinamika. Menurutnya, bisa saja kotak kosong menang, apalagi pernah terjadi di Makassar pada Pilkada 2018 saat pasangan Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu) kandas oleh kotak kosong. Saat itu, pasangan Appi-Cicu hanya mendapatkan 264.071 suara dan kotak kosong memperoleh 300.969 suara.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Irfan Teguh Pribadi