tirto.id - Dekan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Ali Agus menyatakan kondisi peternakan ayam telur mengalami keterpurukan harga sejak hampir dua tahun belakangan ini.
Hal tersebut disampaikannya dalam Musyawarah Nasional Pemerintah, Pengusaha Ternak, Asosiasi Peternak Petelur dan Peternak Petelur, pada Kamis (23/2/2017) di Fakultas Peternakan UGM.
“Kami berupaya melakukan mediasi antara pihak-pihak yang terkait, karena kondisi peternakan ayam telur sudah tidak kondusif dalam 2 tahun ini. Kita harus bersama-sama memikirkan formula solusi apa yang ideal bagi kita semua,” ujarnya di sela-sela penyelenggaraan Musyawarah Nasional ini.
Ali Agus mengaku banyak mendengar keluhan dari para peternak terkait berbagai persoalan yang muncul, di antaranya terkait harga pakan dan Day Old Chick (DOC) yang tinggi sementara harga telur terbilang rendah.
Lebih lanjut Ali menjelaskan, harga pakan komplit untuk layer saat ini berkisar antara Rp4.800-5.000/kg dan harga DOC kini sebesar Rp 4.750, sementara harga jual telur hanya berkisar Rp 14.700 bahkan pernah mencapai Rp 13.500/kg. Angka tersebut, kata dia, masih jauh di bawah Break Even Point (BEP) yang berada pada angka Rp 16.000.
Harga pakan yang tinggi, menurut Ali, dipicu oleh tingginya harga jagung yang menjadi salah satu bahan penyusun pakan ternak layer akibat pembatasan impor jagung oleh Kementerian Pertanian. Pada akhir tahun 2015 lalu, harga jagung sempat mencapai Rp 7.000/kg, sedangkan harga saat ini berkisar antara 3.600-3.800/kg.
“Di antara pelaku usaha memang salah satu tantangan yang dihadapi berkaitan dengan bahan baku dari jagung. Menurut pemerintah, kita sudah swasembada jagung, maka kemudian impor ditutup. Tetapi ternyata kondisinya tidak demikian dan harga jagung jadi melambung,” jelasnya.
Ia juga menjelaskan, kondisi keterpurukan ini menimbulkan kecurigaan dari peternak yang menduga ada permainan harga yang dilakukan oleh pengusaha pakan ternak, yang juga merangkap menjadi peternak atau perusahaan yang dikenal dengan istilah perusahaan integrator.
Pakan ternak dan DOC yang beredar di kalangan peternak diproduksi oleh perusahaan besar seperti Charoen Pokphand, Japfa Comfeed, Wonokoyo dan Malindo.
Dalam kesempatan itu, para peternak juga mengkritik kebijakan pemerintah di hadapan Direktur Budi Daya dan Perbibitan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan, Dr. Ir Surahman Suwandi, MP serta beberapa pejabat dari dinas terkait, para peternak mengeluhkan kurangnya respon pemerintah untuk mengatasi berbagai persoalan yang ada.
“Kami mohon kepada pemerintah untuk bisa mengawasi dan mengatur dengan baik. Kalau kondisinya masih seperti sekarang ini ke depan bagi peternak akan lebih sulit,” ujar Mujali, salah satu peternak ayam petelur dari Blitar.
Terkait kondisi ini, Ali Agus berkomentar bahwa aksi pemerintah memang masih belum tampak dirasakan nyata dengan regulasinya, sehingga kepercayaan terhadap pemerintah juga semakin menurun.
Oleh karena itu, menurut Ali, Fakultas Peternakan UGM sebagai institusi pendidikan yang dianggap berada pada posisi netral berinisiatif untuk mempertemukan berbagai elemen tersebut demi mempertahankan kelangsungan peternakan ayam petelur berbasis kerakyatan.
“Harapannya akan di temukan jalan tengah yang dapat menurunkan ketegangan antara peternak rakyat dengan perusahaan integrator dan juga menguatkan kepercayaan rakyat kepada pemerintah dengan munculnya komitmen untuk win-win solution,” pungkas Ali.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto