tirto.id - Koalisi Kemanusiaan untuk Papua menilai pertemuan Presiden Jokowi dengan sejumlah anggota MRP sebagai politik pecah belah pemerintah terhadap sikap rakyat Papua.
Kehadiran sejumlah anggota MRP itu mengaku mengatasnamakan rakyat Papua untuk mendukung revisi Undang-undang Otonomi Khusus (UU Otsus) serta pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua.
Padahal, MRP sendiri telah membantah dukungannya atas UU Otsus dan RUU DOB serta patuh terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Jakarta untuk kesekian kalinya melakukan pecah belah. Kami tidak mau terjebak apalagi memperuncing ketegangan internal anggota MRP karena itu yang diinginkan oleh pihak-pihak yang mengatur pertemuan itu," kata Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP), Anum Siregar melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (21/5/2022).
Koalisi mendesak Presiden Jokowi untuk menerapkan partisipasi orang asli Papua yang bermakna terutama terkait kebijakan perubahan kedua undang-undang otonomi khusus dan rencana tiga RUU DOB di Papua.
Koalisi menilai pertemuan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor pada 20 Mei 2022 justru menyiratkan partisipasi yang jauh dari bermakna, bahkan cenderung manipulatif.
"Kami menolak politik pecah belah elite-elite pusat atas Papua. Presiden justru jadi ingkar janji atas pertemuan sebelumnya, yaitu menghormati putusan MK,” tegasnya.
Koalisi kembali mendesak agar rencana DOB dikonsultasikan dengan orang asli Papua, dan MRP sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua.
Menurut Koalisi, konsultasi bermakna harus memenuhi enam syarat. Pertama, dimulai sejak dini pada tahap perencanaan dan persiapan proyek dan dilaksanakan secara berkesinambungan dalam seluruh siklus proyek.
Kedua, mengungkap informasi relevan dan memadai tepat pada waktunya yang dipahami dan mudah dijangkau penduduk yang terkena dampak.
Ketiga, dilaksanakan dalam suasana bebas intimidasi atau pemaksaan. Keempat, bersifat inklusif dan peka gender, dan sesuai kelompok-kelompok yang rentan.
Kelima, memungkinkan dimasukkannya semua sikap penduduk yang terdampak dan pemangku kepentingan lainnya dalam perancangan proyek, langkah mitigasi, pembagian hasil dan peluang pembangunan, serta masalah di tingkat pelaksanaan.
Sementara itu, Kepala Biro Papua Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) Ronald Tapilatu juga mempertanyakan pertemuan tersebut. Dia menyarankan agar Presiden sebaiknya bersikap bijak dalam mempertimbangkan dualisme tolak terima kebijakan DOB Papua.
"Sebaiknya perbedaan pendapat ini difasilitasi dalam dialog bersama, yang mendudukkan dua pihak untuk mendapatkan jalan tengah. Tidak sebaliknya membuka peluang konflik sesama Papua. Apalagi kita semua sedang menanti keputusan Mahkamah Konstitusi atas masalah revisi kedua UU Otsus yang diajukan oleh MRP dan MRPB," kata Ronald.
Kepala Divisi Hukum KontraS, Andi Muhammad Rezaldy menunjuk Pasal 25 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang menyatakan setiap warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi dalam urusan publik.
“Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Kovenan itu menjadi UU Nomor 12 Tahun 2005, jadi harus dipatuhi. Bahkan Komentar Umum ICCPR Nomor 25 Tahun 1996 lebih lanjut menjelaskan mengenai ketentuan ini dengan memperluas urusan publik ke ranah pembuatan kebijakan dan implementasi di tingkat internasional, nasional, dan daerah,” kata Andi.
Tanggapan KSP soal Pertemuan Jokowi dan MRP
Pemerintah akan menampung aspirasi dan partisipasi semua pihak terkait pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua. Deputi V Kepala Staf Kepresidenan RI Jaleswari Pramodhawardani mengatakan, proses pembahasan DOB Papua saat ini sedang berjalan. Warga Papua diajak memberi masukan untuk memperkuat muatan DOB Papua menjadi lebih baik.
“Pemerintah sangat terbuka dengan berbagai aspirasi dan partisipasi semua pihak. Pembentukan DOB Papua ini merupakan suatu sistem dan desain baru untuk membangun Papua yang sejahtera secara holistik dan keberlanjutan,” kata Jaleswari, di Jakarta, Sabtu (21/5).
Jaleswari menegaskan, pembentukan DOB Papua merupakan isu strategis pemerintah untuk menjawab persoalan kemiskinan, percepatan pembangunan kesejahteraan rakyat, dan pembangunan di daerah Papua. Yakni, dengan memperpendek jangkauan pelayanan publik, mempercepat pembangunan kesehatan dan pendidikan, memotong kemahalan, dan menyelesaikan kesulitan akses pelayanan publik baik internal maupun eksternal Papua.
Dalam situasi sekarang, menurut Jaleswari, Papua terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang besar. Situasi ini, kata dia, tidak bisa dirubah jika tidak melakukan strategi khusus, yakni refocusing pengembangan pusat pertumbuhan, termasuk mendekatkan pusat-pusat pelayanan publik.
Jaleswari mencontohkan kesulitan masyarakat wilayah pegunungan saat mengurus administrasi. Mereka harus melakukan perjalanan panjang dengan jalur transportasi udara yang sulit dan mahal karena pusat pelayanan publik berada di tingkat ibu kota provinsi. “Akibatnya terciptanya isolasi, apalagi dengan wilayah sangat luas dan penduduknya sedikit,” ucapnya.
Untuk itu, lanjut Jaleswari, perlu ada refocusing pengembangan pusat pertumbuhan termasuk mendekatkan pusat pelayanan publik dengan pusat permukiman, melalui penambahan pusat pelayanan.
“Dengan penambahan ibu kota Provinsi, maka akan ada penambahan rumah sakit, sekolah, dan unit pelayanan lain dengan level-level provinsi. Sehingga bisa mengurangi biaya, dan anggaran pembangunan tidak habis untuk transportasi yang mahal,” tegas Jaleswari.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Maya Saputri