Menuju konten utama

Perjuangan Kho Seng Seng, Konsumen yang Dikriminalisasi

Suara protes yang diperkarakan seperti dialami Mukhadly Acho bukanlah yang pertama kali terjadi. Sebelumnya ada kasus Khoe Seng Seng.

Perjuangan Kho Seng Seng, Konsumen yang Dikriminalisasi
ITC Mangga Dua. FOTO/Istimewa

tirto.id - Penetapan status tersangka untuk komika Mukhadly Acho lantaran menulis keluhan soal apartemen miliknya mengingatkan publik pada kasus Kho Seng Seng, pada 2006 silam. Kasus tersebut berawal saat Khoe Seng Seng menulis keluhannya dalam surat pembaca yang dimuat Harian Kompas, pada 26 September 2006.

Surat pembaca tersebut ditulis Kho Seng Seng, setelah dirinya tidak mendapat kejelasan status dari ruko yang dibelinya di ITC Mangga Dua dari PT Duta Pertiwi. Ia menyatakan pihak pengelola telah berbohong dan tidak terbuka tentang status tanah tersebut. Belakangan, tanah dan bangunan itu dinyatakan milik pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Saat ditemui Tirto, pada Senin (7/8/2017) sore, Kho Seng Seng bercerita soal awal mula dirinya mulai berhadapan dengan PT Duta Pertiwi itu. Pada tahun 2003, Kho membeli ruko hasil lelangan pemerintah. Ruko yang terletak di Blok B ITC Mangga Dua itu dibeli dengan harga murah saat lelang BPPN di surat kabar. Ia pun mengeluarkan kocek sebesar Rp421 juta untuk menyelesaikan proses kepemilikan serta membayar denda-denda dari pemilik sebelumnya.

Tiga tahun berselang, tepatnya pada 31 Agustus 2006, penghuni dan pengelola menggelar rapat. Rapat tersebut menyatakan bahwa tanah ITC Mangga Dua bukan milik developer PT Duta Pertiwi, akan tetapi tanah milik negara. Seluruh penghuni Mangga Dua harus membayar tanah kepada Pemprov DKI Jakarta.

Saat rapat itu, Kho tidak bisa hadir karena tengah berbisnis ke Cina. Begitu ia tahu ada pengumuman dari pengelola, ia pun langsung menemui pengurus Perhimpunan Pemilik dan Pengurus Satuan Rumah Susun (P3SRS). Kho ingin mengklarifikasi kebenaran informasi tersebut. Dalam pertemuan itu, ia menunjukkan tiga dokumen yang diperoleh saat membeli ruko di ITC Mangga Dua, yakni: Izin Mendirikan Bangun (IMB), Akta Jual Beli (AJB), dan sertifikat.

Pria yang saat ini berusia 52 tahun itu menanyakan bukti bahwa tanah yang dibelinya milik Pemprov DKI Jakarta. “Saya minta penjelasan. Dia tidak bisa menjelaskan kepada saya karena akta jual beli jelas dicantumkan apa yang dijual adalah milik pengembang,” ujarnya saat berbincang dengan Tirto di Jalan Gajah Mada, Jakarta, Senin (7/8/2017).

Kho pun kesal karena sebelum membeli bangunan itu, dirinya sudah mengecek secara teliti. Salah satu alasan dirinya membeli ruko di ITC Mangga Dua itu karena ia meyakini bisa memiliki ruko sebesar 7,5 meter persegi secara utuh. Akibat kekisruhan tersebut, pihak pengembang kembali melakukan pertemuan dengan seluruh penghuni. Pihak pengembang pun mengundang Badan Pertanahan Negara (BPN) guna menjawab kekhawatiran Kho.

Usut punya usut, ternyata tanah Kho hanya berstatus hak pengelola lahan yang ditimpa dengan sertifikat hak guna bangunan. Tidak hanya tanah Kho, tetapi seluruh tanah milik Sinar Mas Grup di Mangga Dua seluas sekitar 30 hektar lebih merupakan tanah milik negara. Dengan kata lain, Pemprov DKI kerja sama dengan Sinar Mas Grup. “Tapi Sinar Mas Grup ini tidak pernah cerita kepada konsumen,” kata Kho mengisahkan.

Kho mengaku merugi akibat dugaan penipuan yang dilakukan PT Duta Pertiwi tersebut. Ia bercerita, rukonya sempat bisa menjadi jaminan bank. Bahkan sebuah bank swasta sempat membanderol ruko Kho hingga Rp800 juta pada tahun 2004. Namun, bank tersebut urung memberikan pinjaman setelah mengetahui tanah ITC Mangga Dua berstatus hak pengelola lahan pada tahun 2006. Bank tersebut tidak mau lagi menjaminkan karena sulit mengeksekusi.

Selain masalah penipuan lahan, Kho mengaku ada yang tidak transparan dalam pengelolaan dana. Salah satunya kenaikan biaya listrik. Setiap tahun, pihak PT Duta Pertiwi menyatukan biaya servis dengan bayaran listrik. Kenaikan harga listrik pun mulai terjadi pada tahun 2013. Pihak pengembang mematok biaya listrik cukup tinggi.

Kho mengaku hanya membayar biaya listrik saja, tetapi listrik unitnya tetap tidak menyala. Sepengetahuan Kho, listrik unitnya dimatikan karena tidak membayar semua, yakni listrik dan biaya sewa. Kho pun menggunakan aki untuk kebutuhan listrik.

Akibatnya, ia mengaku merugi hingga Rp10 miliar karena listriknya mati. Padahal, berdasarkan hitung-hitungan dirinya bersama teman-teman, pihak pengembang mendapat keuntungan hingga Rp10 miliar per bulan dari tiap kios.

Berawal dari Surat Pembaca

Tidak melihat inisiatif pengembang untuk menyelesaikan masalah, Kho pun membuat surat pembaca dan mengirimkan ke sejumlah media cetak. Keluhan Kho dipublikasikan Harian Kompas pada 26 September 2006.

Pihak pengembang pun merespons pernyataan Kho pada 4 Oktober 2006. PT Duta Pertiwi menjelaskan kalau tanah mereka merupakan wakaf. Penjelasan tersebut sama seperti penjelasan P3SRS yang tidak berdasar. Kho pun mengirim kembali surat pembaca pada 21 November 2016 ke Suara Pembaruan. Dalam surat pembaca ke Suara Pembaruan itu, ia menanyakan keterlambatan pembayaran jangka waktu penggunaan gedung harus dibayarkan Oktober 2006, sementara masa berlaku ruko habis tahun 2008.

Masih belum puas dengan sikap pengelola, Kho pun bergerilya ke sejumlah instansi untuk mendapatkan keadilan. Ia mendatangi Ombudsman, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Komnas HAM, Pemprov DKI Jakarta hingga DPR RI.

Selain itu, sejumlah tokoh juga ditemuinya, mulai dari Fadjroel Rahman, Effendi Ghazali sampai mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pun diajak bicara untuk menyelesaikan masalah dirinya dan ribuan penghuni ITC Mangga Dua. Sayangnya, nasib penghuni ITC Mangga Dua masih terkatung-katung.

Kho pun pernah mengajukan gugatan secara hukum. Ia melapor ke polisi terkait masalah dugaan penipuan yang dilakukan PT Duta Pertiwi, pada 15 November 2006. Mereka menyertakan dokumen sebagai salinan bukti perkara. Mereka menyangka PT Duta Pertiwi melanggar pasal 378 KUHP.

Selain Kho, ada 18 orang lain yang melaporkan kasus yang sama. Mereka terdorong untuk melapor karena pihak berwajib menyarankan untuk mencari korban sebanyak-banyaknya akibat penipuan yang dilakukan oleh PT Duta Pertiwi. Pasal yang dikenakan pun bertambah.

“Aparat penegak hukum yang ngomong. Buntut-buntutnya SP3 [surat penghentian penyidikan perkara],” cerita Kho dengan nada kesal sembari memukul meja.

Di sisi lain, Kho juga melaporkan masalah pengelolaan listrik yang dilakukan pengembang. Mereka mempertanyakan alasan pihak pengembang mengambil harga sewenang-wenang. Sayangnya, dirinya kalah di tahap pertama lantaran pihak pengadilan mengacu pada AD/ART penghuni. Padahal, AD/ART penghuni dinilai tidak valid karena pembuatan tidak melibatkan penghuni.

Dikriminalisasi hingga Menang PK

Bukan kasusnya yang diproses, Kho justru dilaporkan ke polisi oleh pihak pengembang. Kho tidak mengetahui jika dirinya dilaporkan akibat surat pembaca yang dikirimkan ke media massa. Pihak pengembang melaporkan Kho, pada 24 November 2006 ke Mabes Polri. Mereka menilai, sikap Kho telah melanggar pidana. PT Duta Pertiwi menunjuk kuasa hukum Dormali Limbong, selaku pengacara perusahaan untuk menggugat Kho dengan dugaan Pasal 310 KUHP dan Pasal 311 KUHP terkait penghinaan.

Saat itu, Kho mengaku kaget begitu mendengar kabar dirinya telah ditetapkan sebagai tersangka pada panggilan pertama, tanggal 15 Januari 2007. Pemanggilan dirinya sebagai tersangka itu bersamaan dengan surat yang ia terima pada 15 Januari 2007. Ia pun tidak bisa menentukan akan menempuh praperadilan atau tidak lantaran berkasnya baru diterima seminggu jelang sidang dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Kasus semakin runyam setelah pihak Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang menangani kasus tersebut menyatakan Kho bersalah. Pihak pengadilan memutuskan Kho bersalah lantaran terbukti melanggar Pasal 310 dan Pasal 311 tentang penghinaan. Kho akhirnya divonis hukuman penjara 6 bulan dengan masa percobaan. Namun, pada saat banding, Kho dinyatakan bebas oleh pihak pengadilan.

Selain gugatan pidana, Kho juga digugat secara perdata. Dalam gugatan perdata itu, pria yang berjualan suvenir itu diminta membayar uang sebesar Rp1 miliar lantaran merugikan pihak PT Duta Pertiwi. Kho pun kalah dalam pengadilan pertama. Namun, lagi-lagi gugatan itu gugur lantaran Kho berhasil memenangkan banding.

Sayangnya, Kho kalah saat kasasi. Ia pun hampir dieksekusi untuk membayar uang Rp1M. Namun dirinya berhasil bebas lantaran upaya Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan ke Mahkamah Agung memenangkan Kho, pada September 2014. Pihak Mahkamah Agung menilai, pihak terlapor kurang sehingga perkara tersebut batal.

Menurut Kho, kisah Acho bisa lebih parah dari kasus yang dialaminya. Ia menilai metode yang dilakukan Apartemen Green Pramuka sebagai upaya pihak pengembang meredam tekanan penghuni. Mereka menggunakan metode intimidasi dengan pendekatan kriminal. Ia mengatakan, modus yang dilakukan Green Pramuka mencontoh konsep di ITC Mangga Dua yang dialaminya dulu.

“Sama seperti ITC-lah. Acho nulis di blog dia. Supaya kamu enggak banyak cingcong, ya orang lain enggak banyak cingcong, comot satu biar ribuan lain diam,” ujarnya menanggapi kasus yang menimpa Acho.

Menurut dia, ITC Mangga Dua juga pernah seperti Apartemen Green Pramuka. Mereka melawan, bahkan sepengetahuan Kho, ada sekitar 1.000 penghuni ruko awalnya mendukung gerakan mereka pada tahun 2013. Mereka membentuk P3SRS tandingan serta melakukan upaya hukum dengan direpresentasikan oleh 19 orang.

Sayang, gerakan mereka gagal setelah adanya upaya dugaan tindak kriminalisasi. Menurut Kho, saat itu ada 3 orang pengurus P3SRS tandingan dikriminalisasi dengan menggunakan pasal perbuatan tidak menyenangkan dan disidangkan pada tahun 2014. Selain itu, listrik dimatikan sewenang-wenang oleh pengelola. Akhirnya, gerakan di ITC Mangga Dua berhasil diredam.

“Susah ngomonginnya. Kita ditekan, diintimidasi. Dia sudah ke mana-mana,” kata Kho mengisahkan.

Ia menduga, cara-cara yang pernah dialaminya tersebut sudah dipraktikkan oleh pengembang lain. Karena itu, ia menyerukan gerakan jangan membeli rumah susun. Kampanye itu diumumkan ke publik agar masyarakat tidak terjebak saat membeli unit. Ia tidak ingin ada orang yang ikut ditekan akibat kejahatan pengelola gedung atau apartemen.

“Kalau mau beli, beli aja buat investasi, namun masih punya pikiran idealis enggak mau ditekan itu lebih baik jangan. Makan hati,” katanya.

Untuk penanganan kasus Acho, Kho menyarankan agar perkaranya terus diekspos ke publik melalui media massa, termasuk media sosial. Hal itu diperlukan untuk mencegah permainan patgulipat pelapor dengan oknum aparat.

“Dan ajukan permohonan pemantauan sidang ke KY, dan minta KPK awasi aparat yang tangani perkara ini,” saran Kho terkait kasus yang menyeret Acho.

Baca juga artikel terkait PENCEMARAN NAMA BAIK atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz