tirto.id - Muhadkly Acho, tersangka kasus pencemaran nama baik PT Duta Paramindo Sejahtera (pengelola Apartemen Green Pramuka City/APG) mendatangi Gedung Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Acho tiba sekitar pukul 11.40 WIB di Kejari Jakarta Pusat, Senin (7/8), ia mengenakan baju bermotif kotak-kotak bersama kuasa hukumnya Tomson Situmeang. Kepada wartawan Acho menolak tuduhan pencemaran sebab semua yang disampaikannya berdasarkan kenyataan.
“Tentu kenyataan karena yang saya tulis ada foto-fotonya," ujar Acho.
Acho bercerita, kisah pidananya berawal dari keluhan di laman blognya muhadkly.com pada 8 Maret 2015 silam. Ia mengeluhkan layanan pengelola APG yang menurutnya tidak sesuai janji. Alih-alih mendapat tanggapan positif, Acho malah dipolisikan.
“Padahal saya menulis itu adalah demi kepentingan pelayanan juga supaya lebih baik dan juga kepentingan umum," kata Acho.
Ada empat poin yang menjadi keluhan Acho. Pertama, terkait sertifikat satuan rumah susun yang tidak kunjung diberikan pengembang meski penghuni sudah tinggal selama lebih dari dua tahun. Kedua, penyediaan lahan terbuka hijau seluas 80 persen dari total lahan apartemen yang dijanjikan pengembang tidak terealisasi. Ketiga, peraturan biaya parkir. Semula Acho mesti membayar Rp200.000 per bulan, tapi belakangan ia dan penghuni lain mesti membayar biaya parkir per jam. Keempat, pungutan Pajak Bumi Bangunan (PBB) yang dilakukan pengembang. Menurutnya pungutan itu perlu dipertanyakan dari sisi legalitas.
Acho menyatakan penghuni sudah berkirim surat ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan lembaga terkait untuk mencurahkan keluhan mereka. Laporan Acho hanya contoh kecil sengkarut pengelolaan apartemen di Indonesia. YLKI mencatat ada 18 persen total keluhan konsumen adalah soal rumah susun, termasuk Green Pramuka.
“Makanya YLKI angkat suara dan bilang surat aduan konsumen properti di rumah rusun itu di peringkat kedua dari total keluhan semua konsumen,” kata Acho.
Menurut Acho apa yang ia tuliskan merupakan puncak kekecewaan para penghuni sejak 2013. Menurutnya warga sudah sering demonstrasi dan dimediasi. Mereka juga didatangi legislatif. Namun perbaikan tak kunjung datang. "Saya rasa selama kita tidak memfitnah, selama kita tidak menghina enggak ada salahnya karena itu adalah sebuah testimoni," kata Acho.
Di saat yang sama, Acho menegaskan, kasusnya bukan sekadar perkara individu dirinya dengan pengembang. Kasusnya merupakan bagian dari perkara perlindungan konsumen. Artinya bila kasus yang melibatkan Acho menjadi sebuah tindak pidana tentunya ini jadi persepsi yang sangat buruk bagi konsumen yang lain. Ia khawatir akan ada sosok "Acho-Acho" lain yang bisa kena pidana, dan bakal takut buka suara.
"Mereka akan menjadi takut untuk memberikan review atau keluhannya terhadap barang dan jasa. Padahal itu hak mereka sudah dijamin oleh konsumen. Makanya ini bukan perjuangan saya, ini perjuangan kita semua."
Kuasa Hukum Pengembang Apartemen Green Pramuka Muhammad Rizal Siregar, membantah pihaknya melakukan kriminalisasi terhadap salah satu penghuni apartemen yakni Muhadkly MT alias Acho. Menurutnya, pengembang hanya menjalani hak hukum untuk melaporkan dugaan terjadinya tindak pidana yang dilakukan Acho.
"Jika kita mengacu landasan konstitusi bahwa semua orang sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi, apakah salah apabila pengembang melakukan pelaporan terhadap pemilik apabila terjadi tindak pidana yang merugikan pengembang?" ungkap Muhammad Rizal di Green Pramuka City, Jakarta Pusat, Senin (7/8/2017).
Pihaknya juga keberatan terhadap pemberitaan media massa yang selama ini terkesan menyudutkan pihak pengembang apartemen Green Pramuka. "Kalau tindakan ini tidak dihentikan kami akan melakukan tindakan hukum kepada semua pihak tanpa terkecuali," tambahnya.
Persoalan Acho memang bukan kali pertama, dahulu ada kasus Khoe Seng seng yang melawan pengembang lainnya dan berujung kasus hukum. Bagi Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus abadi, jerat hukum yang dialami Acho merupakan bentuk kriminalisasi terhadap konsumen. Di sisi lain hal itu juga menggambarkan arogansi pengembang.
“Ini tindakan kontraproduktif untuk perlindungan konsumen Indonesia,” kata Tulus dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Minggu (7/7).
Menurut Tulus curhatan Acho mestinya tidak terjadi seandainya pengembang AGP menjunjung etika dalam berbisnis. Misalnya dengan memberikan janji-janji yang realistis kepada calon konsumen dan mematuhi peraturan yang telah disepakati bersama. “Jangan membius dengan janji-janji yang bombastis, irasional, dan bahkan manipulatif,” ujarnya.
Tulus menegaskan keluhan Acho dan penghuni APG sesuai realitas di lapangan. Dalam konteks itu mereka mendapat jaminan perlindungan dari Undang-Undang Konsumen Nomor 8 tahun 1999. Undang-Undang Perlindungan Konsumen No.8/1999 secara gamblang menyebutkan hak-hak yang dimiliki konsumen.
Dalam Pasal 4 undang-undang tersebut dinyatakan 9 hak yang dimiliki konsumen, beberapa di antaranya adalah: Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa; Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau/jasa; Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Jadi, apakah kasus Acho akan berakhir dengan munculnya "Acho-Acho" lainnya?
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Jay Akbar