Menuju konten utama

Kasus Acho: Pelajaran agar Polisi Selektif Saring Laporan

Kasus Acho harus menjadi pelajaran bagi polisi agar lebih selektif merespons laporan masyarakat terkait pelanggaran UU ITE.

Kasus Acho: Pelajaran agar Polisi Selektif Saring Laporan
Apartemen Green Pramuka City, Jakarta. Tirto.ID/Andrey Gromico

tirto.id - Penetapan status tersangka untuk komika Mukhadly Acho menambah daftar panjang mereka yang dijerat dengan Undang-Undang No.19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Berdasarkan catatan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), misalnya, sejak 2008-2017 terdapat sekitar 205 kasus warganet yang terjerat UU tersebut.

Padahal tidak semua mereka yang dilaporkan dengan menggunakan UU ITE tersebut memenuhi unsur pidana. Kasus yang menjerat Acho tersebut diharapkan menjadi pelajaran bagi aparat kepolisian agar membatasi kasus-kasus yang seharusnya tidak memenuhi unsur pidana.

Koordinator SAFEnet Indonesia, Damar Juniarto menilai penetapan status tersangka Acho sebagai sesuatu yang dipaksakan. Ia menganggap biasanya suatu kasus itu ada masa kadaluarsanya, tetapi kasus Acho masih dilanjutkan setelah 2 tahun berselang (pelaporan tanggal 5 November 2015). Menurutnya, polisi lah yang harusnya bertanggung jawab atas hal ini.

“Jadi polisi harus membuktikan ada tindak pidananya. Makanya perlu kita cek saksi yang digunakan oleh polisi itu siapa. Kan polisi harus membuktikan bahwa dia melakukan fitnah,” kata Damar kepada Tirto, Selasa (8/8/2017).

Damar melihat bahwa kasus yang dilakukan Acho sebenarnya tidak kuat untuk dilanjutkan ke ranah hukum. Apalagi jika dikenakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE terkait pencemaran nama baik. Menurut Damar, tulisan Acho digunakan untuk memberitahukan kebenaran kepada publik dan termasuk dalam kepentingan publik, sehingga tidak bisa dituduhkan dengan pencemaran nama baik.

Menurut Damar, Acho bukan satu-satunya pihak yang menuding Apartemen Green Pramuka (AGP) terindikasi melakukan pungutan liar atau pungli. Dalam cuitannya di Twitter, Acho hanya mengomentari berita yang memang mengatakan ada indikasi AGP melakukan pungli. Padahal Acho tidak secara gamblang mengatakan pungli, tetapi hanya perbedaan definisi antara AGP dan Acho tentang pungutan yang berlebihan.

“Acho bukan penyebar muatan negatif. Itu bahkan udah ada demo dari awal,” ujarnya.

Surdayatmo dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga setuju bahwa polisi seharusnya bisa selektif dalam memilih laporan pengaduan yang memang seharusnya diteruskan menjadi suatu perkara hukum. Ia keberatan karena rata-rata polisi sangat cepat memproses laporan dari pihak korporasi dibanding laporan dari konsumen.

“Jadi polisi melakukan selektif law enforcement (penegakan hukum),” katanya.

Bila konsumen sudah mengadu ke pengembang dan tidak ada solusi, konsumen bisa saja mengadu ke pihak ketiga ataupun memaparkannya di internet. Sepanjang penyampaian pendapatnya didukung oleh fakta, kata Suryadatmo, hal itu tidak melanggar undang-undang.

Ia sependapat dengan Damar bahwa opini konsumen adalah untuk kepentingan umum agar orang lain tidak mengalami nasib yang serupa. Ia menuturkan bahwa konsumen punya hak untuk membela haknya sebagai konsumen, dan tidak ada alasan bagi pengelola ataupun polisi untuk mengkriminalkan konsumen.

“Malah seharusnya konsumen bisa mempolisikan developer karena antara fakta dengan janji dia dalam brosur itu berbeda. Cuma di sini ada persoalan standar respons dari polisi,” ujarnya.

Pihak pengembang Apartemen Green Pramuka sendiri membantah adanya kriminalisasi terhadap Acho. Melalui kuasa hukumnya, Muhammad Rizal Siregar mereka membantah anggapan kriminalisasi tersebut. Menurutnya, pengembang hanya menjalani hak hukum untuk melaporkan dugaan terjadinya tindak pidana yang dilakukan Acho.

“Jika kita mengacu landasan konstitusi bahwa semua orang sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi, apakah salah apabila pengembang melakukan pelaporan terhadap pemilik apabila terjadi tindak pidana yang merugikan pengembang?" ungkapnya di Green Pramuka City, Jakarta Pusat, Senin (7/8/2017).

Pihaknya juga keberatan terhadap pemberitaan media massa yang selama ini terkesan menyudutkan pihak apartemen. “Kalau tindakan ini tidak dihentikan kami akan melakukan tindakan hukum kepada semua pihak tanpa terkecuali,” ujarnya.

Sementara itu, anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Junimart Girsang mengatakan pelaporan pelanggaran UU ITE memang bertambah banyak sejak Juli lalu. Namun, kata dia, aturan yang terdapat dalam UU ITE tersebut tidak perlu direvisi kembali.

Agar tidak terjadi penyalahgunaan UU ITE tersebut, kata Junimart, masyarakat dan polisi yang harus berhati-hati dalam bertindak. Meski memang banyak laporan yang masuk, kata dia, polisi harusnya bisa mengkaji dan mengevaluasi apakah perkara tersebut masuk dalam proses hukum atau tidak.

Polisi, kata Junimart, seharusnya bisa melihat kualitas laporan dan tidak begitu saja percaya. Laporan bisa saja digunakan untuk memperkaya diri sendiri atau laporan palsu. Bila memang ditemukan hal seperti itu, maka bisa saja pelapor dipidanakan kembali oleh terlapor.

“Harus dilihat motivasinya. Apa motif laporannya?” katanya.

Baca juga artikel terkait KASUS ACHO atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz