tirto.id - 110 ribu lebih penonton memadati Crystal Palace National Centre di London. Mereka menjadi saksi pertarungan sengit final Piala FA antara Sheffield United melawan Tottenham Hotspur. Laga yang digelar hari Sabtu, 20 April 1901, itu mencatat rekor dunia sebagai jumlah penonton olahraga modern terbanyak.
Para penonton yang sebagian besar buruh bebas menikmati pertandingan sepak bola. Jauh sebelum itu, hari Sabtu merupakan hari kerja yang harus tetap dijalani sebagian besar kelas pekerja. Di tengah kondisi tersebut, sepak bola muncul sebagai hiburan yang murah meriah.
Perubahan ini awalnya diterapkan di pabrik-pabrik tertentu, terutama yang dimiliki pengusaha yang paham akan pentingnya kesejahteraan pekerja. Para buruh pabrik berkumpul di lapangan-lapangan terbuka atau ruang publik untuk bermain sepak bola, melepaskan penat setelah sepekan bekerja keras. Olahraga ini dengan cepat menyebar di kalangan kelas pekerja di berbagai negara.
Di Brasil, meski awalnya diperkenalkan oleh orang terpelajar, buruh juga mengembangkan sepak bola. Klub-klub Eropa seperti Athletico Madrid, Arsenal, West Ham United, Liverpool, dan AC Milan juga memiliki akar dari komunitas buruh.
Kiwari, dengan libur menjadi dua hari, kita dapat memaksimalkan energi untuk berkumpul dengan keluarga, bersosialisasi, dan memiliki sedikit waktu untuk bersantai sebelum kembali bekerja pada Senin pagi. Fenomena ini bagian dari perubahan sosial dan ekonomi yang bermula dari negara-negara industri pada masa itu.
Perjuangan Kelas Pekerja
Siapa sih yang tidak senang dengan akhir pekan? Saat gelembung kesibukan kerja selama sepekan akhirnya mereda, dan kita bisa menghirup udara segar tanpa beban. Bagi banyak orang, Sabtu dan Minggu adalah saat yang ditunggu-tunggu untuk bersantai, berkumpul dengan keluarga, atau menjalani hobi yang sudah lama diabaikan.
Sampai abad ke-19, masyarakat dunia tidak mengenal konsep akhir pekan seperti sekarang. Pada masa itu, para pekerja harus melawan berbagai tekanan. Bayangkan saja, tanpa waktu senggang yang cukup, banyak orang terjebak dalam rutinitas memproduksi barang tanpa henti.
Gagasan libur pada Sabtu dan Minggu merupakan hasil perjuangan panjang para buruh yang terjadi selama akhir abad ke-17 dan berlanjut hingga abad ke-18 dan 19. Pada periode ini, banyak pekerja mulai menyadari pentingnya waktu istirahat.
Hari Sabtu maupun Minggu secara tradisional dianggap sebagai hari istirahat dan ibadah di banyak agama. Namun, pada masa awal Revolusi Industri, keduanya sering kali masih digunakan untuk bekerja.
Pada awal abad ke-20, banyak pekerja ritel yang harus bekerja selama berjam-jam, sering kali hingga 12-16 jam sehari, termasuk pada malam hari dan akhir pekan. Kehidupan pekerja didominasi oleh rutinitas yang melelahkan tanpa banyak waktu untuk beristirahat yang berdampak pada kesehatan, kesejahteraan, dan kondisi kerja mereka.
Namun, seiring munculnya serikat pekerja, kesadaran akan pentingnya keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi mulai tumbuh. Salah satu tuntutan utama serikat pekerja adalah pengurangan jam kerja dan pemberian waktu istirahat yang lebih manusiawi.
Misalnya yang dilakukan Early Closing Association (ECA), sebuah organisasi buruh yang dibentuk antara tahun 1842 atau 1843. Pada 1850-an, mereka membujuk publik Inggris agar menutup toko dan tempat bisnis lebih awal. Lain itu, mereka memperkenalkan jam kerja 8 jam sehari.
ECA melakukan kampanye untuk menarik perhatian publik dan menjelaskan manfaat dari jam kerja yang lebih pendek. Mereka mempromosikan ide bahwa menutup toko lebih awal dapat menyebabkan peningkatan kepuasan kerja dan produktivitas.
Orang-orang mulai berjuang guna mendapatkan hak mereka untuk tidak hanya hidup, tetapi juga menikmati hidup.
“Para pengusaha telah mengakui hal ini, dan hampir semuanya dengan murah hati membantu usaha Early Closing Association. Kecenderungan umum masyarakat adalah membatasi jam kerja; lalu, mengapa satu atau dua pengusaha berusaha memperpanjang waktu?” tulis seorang pekerja seperti dimuat The Argus, 16 Juli 1870.
Konsep "libur setengah hari" pada Sabtu mulai muncul pertama kali di Inggris pada pertengahan abad ke-19. Ini didorong oleh kebutuhan akan waktu luang bagi para pekerja untuk beristirahat atau menghadiri acara keagamaan pada hari Minggu.
Secara bertahap, beberapa bisnis mulai menerapkan kebijakan untuk menutup toko lebih awal pada hari Sabtu, biasanya sekitar pukul 1 siang, memberi kesempatan kepada pekerja untuk menikmati waktu akhir pekan.
Saint Monday sempat menjadi tradisi yang dilakukan oleh pekerja terampil untuk memperoleh libur tambahan di awal pekan. Mereka yang bekerja kembali Sabtu sore akan mengambil libur pada hari Senin. Meskipun pada awalnya ditentang para pemimpin perusahaan, mereka akhirnya menyerah pada tuntutan buruh. Hal ini terus berlangsung hingga tahun 1870-1880an.
Gerakan ini didukung oleh berbagai pihak, termasuk serikat pekerja, tokoh agama, dan beberapa pengusaha. Banyak pemimpin agama berpendapat bahwa waktu libur yang lebih baik akan meningkatkan kehadiran di gereja dan membantu dalam pembinaan moral masyarakat. Mereka mendorong pekerja memiliki waktu untuk mengisi spiritual yang lebih baik.
Pada 1 Mei 1886, ribuan pekerja di Chicago mengadakan demonstrasi untuk menuntut pengurangan jam kerja menjadi delapan jam. Demonstrasi berlanjut hingga terjadi ledakan bom di Haymarket Square, menyebabkan kematian dan ketegangan antara buruh dan polisi.
Setelah peristiwa tersebut, pada tahun 1889, Kongres Sosialis Dunia di Paris menetapkan resolusi Hari Buruh setiap tanggal 1 Mei yang kemudian dikenal dengan May Day, mulai diperingati setahun kemudian.
Seiring waktu, gagasan tentang "akhir pekan" mulai mendapatkan momentum. Pada awal abad ke-20, banyak perusahaan di negara-negara maju mulai menerapkan libur penuh pada hari Sabtu dan Minggu.
Faktor ini juga dipengaruhi oleh perubahan budaya, termasuk meningkatnya popularitas kegiatan rekreasi dan olahraga yang biasanya dilakukan pada akhir pekan, seperti sepak bola dan rugbi. Selain itu, libur dua hari memberikan dorongan bagi sektor ekonomi lain seperti pariwisata dan hiburan.
Negara-negara mulai menerapkan undang-undang ketenagakerjaan yang mengatur jam kerja dan hari libur. Akhirnya, kombinasi dari perjuangan buruh, kesadaran sosial, dan kesadaran akan pentingnya keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi membawa kita ke masa di mana Sabtu dan Minggu diakui sebagai waktu untuk berleha-leha.
Di Indonesia, konsep akhir pekan dengan libur Sabtu-Minggu mulai diterapkan setelah pengaruh sistem kerja Barat masuk ke dalam struktur pemerintahan dan perusahaan.
Hingga kini, pola lima hari kerja dengan dua hari libur telah menjadi standar di banyak tempat, meskipun masih ada sektor tertentu yang tetap bekerja selama enam hari dalam seminggu.
Bukan Sekadar Waktu Istirahat
Pada Mei 2024 lalu, Qu Jing, bos Baidu, sebuah perusahaan mesin pencari asal Cina, menghadapi reaksi keras karena mempromosikan budaya kerja keras lewat sebuah video yang menunjukkan kurangnya perhatian terhadap kesejahteraan stafnya.
Dalam video tersebut, ia menuntut ketersediaan 24/7, dan mengancam mereka yang mempertanyakan gaya manajemennya.
“Saya bukan ibu mertua Anda. Aku bukan ibumu. Saya hanya peduli dengan hasil Anda,” ujarnya ketus sembari menghardik rekan kerjanya.
Setelah dihunjam kritik, ia meminta maaf dan mengakui kesalahpahaman yang disebabkan oleh video tersebut.
Di Cina, sistem jam kerja 996 jam telah dianggap ilegal oleh pemerintah. Sistem kerja ini mengharuskan karyawan bekerja 12 jam sehari dari jam 9 pagi sampai jam 9 malam selama 6 hari seminggu. Meskipun mendapat protes, sistem kerja ini didukung oleh pemilik perusahaan seperti Jack Ma, dengan alasan bahwa kerja keras adalah kunci kesuksesan.
Di era digital saat ini, batas antara pekerjaan dan waktu pribadi semakin kabur. Banyak dari kita yang masih terjebak dalam always-on culture meskipun sudah berada di rumah. Email yang terus berdatangan, pesan dari bos, dan tanggung jawab yang tidak ada habisnya sering kali merusak momen santai.
“Akhir pekan telah menjadi perpanjangan dari hari kerja, yang berarti, menurut definisinya, itu sama sekali bukan akhir pekan,” kata Katrina Onstad dalam The Weekend Effect (2017).
Tekanan kerja yang tinggi dan kurangnya keseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi dapat merusak hubungan, mengakibatkan penurunan kinerja karyawan.
Sebuah studi menunjukkan bahwa dukungan dan komunikasi di rumah berdampak pada kinerja di tempat kerja, sementara kepemimpinan yang mendukung keluarga juga berkontribusi pada peningkatan kinerja dan kesejahteraan karyawan.
Para bos perusahaan disarankan untuk menginvestasikan bisnis dalam mendukung keluarga pekerja, menciptakan budaya yang menghormati keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi, serta menyadari bahaya terkait dengan ketergantungan pada ponsel dan aktivitas konstan setelah jam kerja.
Belakangan, Inggris sudah mengusung 4 hari kerja untuk meningkatkan produktivitas. Sebagaimana penelitian Henley Bussines School, bisnis yang beroperasi dengan empat hari kerja seminggu melaporkan peningkatan produktivitas staf, yang menghasilkan sekitar £104 miliar penghematan tahunan.
Menurut jurnal tersebut, 78 persen perusahaan mencatat karyawan lebih bahagia; 70 persen melaporkan tingkat stres yang lebih rendah, kesehatan yang lebih baik, dan lebih bahagia.
Tren menuju hari kerja yang lebih pendek diperkirakan akan terus berlanjut, sepertiga pemimpin bisnis melihatnya sebagai hal penting untuk kesuksesan di masa depan. Terlepas dari manfaatnya, beberapa kekhawatiran tetap ada, seperti layanan klien yang terbengkalai dan potensi menambah kemalasan di antara rekan kerja.
Yang pasti, akhir pekan bukan sekadar waktu untuk beristirahat, tetapi juga menjadi simbol dari perjuangan panjang untuk hak-hak pekerja. Kehadirannya mengingatkan kita akan pentingnya menghargai keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi. Sabtu dan Minggu bukan hanya hari libur, tetapi juga bagian dari sejarah panjang perjuangan sosial.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi