Menuju konten utama

Cara Cina Mengklaim Laut Cina Selatan Melalui Baidu Maps

Baidu Maps, peta digital terpopuler di Cina, mengklaim Laut cina Selatan sebagai milik Beijing

Cara Cina Mengklaim Laut Cina Selatan Melalui Baidu Maps
ilustrasi laut cina selatan.foto/shutterstock

tirto.id - Pada 2007 Steve Jobs merilis iPhone. Selain mengubah rupa ponsel pintar melalui iPhone, Jobs pun memperkenalkan elemen kunci yang alpa hadir di ponsel pintar terdahulu: peta digital. Kala itu, karena hubungan baik antara Apple dan Google masih terjalin, Google Maps adalah aplikasi peta digital yang diperkenalkan Jobs.

“Inilah Google Maps di iPhone!”

Melalui serangkaian kekaguman Jobs pada Google Maps dengan kata “Boom!”, di akhir presentasi, ia berujar: “Lihat, kehebatan ini ada di ponsel”.

Tiga belas tahun pun berlalu. Merujuk data yang dikumpulkan Statista, Google Maps jadi salah satu aplikasi ponsel pintar yang paling banyak digunakan. Tercatat, lebih dari 60 persen pengguna seluler di Amerika Serikat menggunakan Google Maps. Kepopuleran Google Maps hanya kalah dari Youtube di posisi pertama dan Facebook di posisi kedua. Google Maps, melalui Application Programming Interface (API), pun jadi salah satu pondasi penting pada aplikasi-aplikasi gig economy, seperti Gojek, Grab hingga AirBnB.

Sayangnya, meskipun populer dan Google Maps terpasang secara default di ponsel berbasis Android, publik Cina tidak dapat merasakannya. Pemerintah Cina untuk membendung penggunaan layanan internet asing dan menggantinya dengan buatan lokal. Walhasil diblokirlah Google Maps dan beragam aplikasi milik Google dan milik perusahaan negeri-negeri Barat lainnya.

Baidu Maps, peta digital buatan Baidu, mesin pencari terpopuler di Cina, jadi alternatif paling populer bagi publik Cina.

Sayangnya, Baidu Maps bertingkah laku berbeda dengan Google Maps--dan hampir semua peta digital, seperti Bing Maps ataupun OpenStreetMap. Coba ketik “Tiananmen Square” di Google Maps atau “天安门广场” untuk Baidu Maps (Baidu tidak mendukung pencarian dalam bahasa Inggris) di kolom pencarian kedua layanan itu.

Secara default, layer hampir semua layanan peta digital adalah peta. Ketika Anda mencari Tiananmen Square di Google Maps, misalnya, aplikasi itu akan menampilkan Tiananmen Square. Tapi, cobalah ubah layer-nya ke bentuk satelit dan perbesar. Hasilnya, Google Maps mengarahkan ke Beijing City Administration Institute, bukan Tiananmen Square. Sebaliknya, pencarian Tiananmen Square melalui Baidu Maps menunjukkan ke titik Tiananmen Square sebenarnya, baik ketika layer peta diubah ke bentuk satelit maupun tidak.

Apa yang terjadi? Perpetaan digital di Cina menggunakan sistem yang berbeda dibandingkan dunia internasional. Secara umum, peta bertumpu pada geodetic datum, suatu sistem koordinat atau satu rangkaian titik acuan yang digunakan untuk mencari tempat di Bumi.

Via datum, ada lokasi di Bumi yang dijadikan titik dasar, mirip Greenwich Mean Time (GMT) dalam hal pembagian waktu yang semakin jauh ke Barat waktu akan bertambah kelipatan satu jam. Semakin jauh ke Timur waktu akan berkurang kelipatan satu jam. Datum, lebih spesifik dan kompleks. Dari titik dasar itu, datum digunakan sebagai jangkar untuk menerjemahkan titik di peta ke titik yang ada sesungguhnya di Bumi.

Global Positioning System (GPS), sistem navigasi yang dibuat militer AS, menggunakan satu datum standar, WGS 84. Secara umum, datum WGS 84 inilah yang menjadi standar internasional dan digunakan pula oleh Google Maps. Titik lokasi Tiananmen Square jika merujuk WGS 84 adalah 39.902722,116.391441. Masalahnya, Cina memilih datum berbeda.

Cina menggunakan datum GCJ 02, yang dikembangkan oleh Biro Survei dan Pemetaan Cina, serta didukung oleh Baidu pada 2002 silam. Datum memang bukan hanya satu, bukan hanya WGS 84, dan perbedaan antar datum biasanya diselesaikan dengan algoritma khusus yang mentranslasikan satu datum ke datum lainnya. Sialnya, Cina memilih menggunakan obfuscation algorithm, mengacak titik koordinatnya, dan tidak menyediakan sistem translasi datum. Akibatnya, peta-peta digital yang memanfaatkan standar internasional tidak akan berkutik jika digunakan di Cina. Secara umum, jika digunakan untuk melihat Cina, Google Maps akan menampilkan kesalahan penempatan titik lokasi 50 hingga 500 meter.

Tentu saja, bagi publik Cina dan internasional yang tidak akan mengunjungi Cina, penggunaan Baidu atau datum yang berbeda bukanlah masalah. Namun, terdapat satu masalah internasional, yang seharusnya juga diperhatikan Indonesia, dari Baidu Maps.

Masalah itu bernama Laut Cina Selatan.

Ketika Baidu Maps Mengklaim Laut Cina Selatan

Simak baik-baik peta wilayah Laut Cina Selatan dari Baidu Maps ini.

Peta Laut Cina Selatan

Peta Laut Cina Selatan versi Baidu Maps. FOTO/Baidu

Lalu, bandingkan tampak wilayah yang sama melalui Google Maps (atau peta digital apa pun).

Peta Laut Cina Selatan

Peta Laut Cina Selatan versi Google Maps. FOTO/Google

Jika diperhatikan dengan seksama, Baidu Maps memasukkan hampir semua wilayah Laut Cina Selatan ke dalam teritorial Cina, yang direpresentasikan melalui garis putus-putus berwarna coklat. Google Maps, di wilayah lautan, tidak menampilkan garis batas negara.

Jika kawasan yang sama dilihat melalui layanan peta digital open source OpenStreetMap, maka nampak garis teritorial laut sesuai standar Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut, yakni sejauh (paling banyak) 12 mil laut dari garis dasar teritorial darat suatu negara.

Laut Cina Selatan merupakan kawasan laut terbuka yang langsung berbatasan dengan Cina, Filipina, Vietnam, Taiwan Brunei Darussalam, dan Malaysia. Sementara itu, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia menyeruak ke kawasan ini. Hampir setiap negara yang berhadapan langsung dengan Laut Cina Selatan mengklaim kepemilikan dengan dasarnya sendiri-sendiri. Februari tahun lalu, South China Morning Post melaporkan Vietnam mengklaim kepemilikan Pulau Paracel dan Pulau Spratly yang berada di kawasan ini. Filipina pun mengklaim kepemilikan Pulau Spratly, ditambah dengan klaim kawasan Scarborough. Di lain sisi, Brunei dan Malaysia mengklaim kedaulatan atas bagian selatan Laut Cina Selatan dan beberapa pulau-pulau kecil di sekitaran Pulau Spratly.

Melalui Baidu Maps, Cina mengklaim lebih dari 80 persen wilayah Laut Cina Selatan merupakan kedaulatannya, bahkan hingga ke kawasan Natuna milik Indonesia. Klaim kedaulatan digital ala Baidu Maps merupakan kelanjutan dari propaganda nine-dash line, sembilan garis batas putus-putus kepemilikan wilayah Laut Cina Selatan yang menyerukan hingga sejauh 2.000 kilometer dari daratan Cina. Yongming Xu, dalam studi berjudul “Developing the Chinese Academic Map Publishing Platform" (2019) mengatakan bahwa klaim atas laut Cina Selatan didukung oleh sejarah Cina. Klaim Cina, menurut Xu, ditemukan dalam Yu Gong, salah satu buku tertua Cina tentang geografi yang mengatakan Laut Cina Selatan adalah milik mereka.

Nine-dash line sendiri diperkenalkan Pemerintah Cina dalam peta resmi negaranya pada 1947.

Tentu saja, klaim Cina hanya sebatas klaim. Jika merujuk Hukum Laut PBB, tidak ada dasar kebenaran nine-dash line.

Sayangnya, sebagai salah satu kekuatan ekonomi terbesar, klaim Cina atas Laut Cina Selatan tak hanya dilakukan melalui Baidu Maps ataupun imajinasi nine-dash line. Tercatat, Cina telah membangun beberapa pulau buatan dengan total luas 3.200 hektar di kawasan ini. Laporan Departemen Pertahanan AS pada Kongres di tahun 2017 lalu menyatakan:

"Cina telah menggunakan taktik paksaan, seperti penggunaan kapal penegak hukum dan milisi maritimnya untuk menegakkan klaim maritim, yang sesungguhnya memicu konflik kawasan. Di Laut Cina Selatan bagian Timur, Cina terus-terusan menggunakan kapal dan pesawat penegakan hukum maritim untuk berpatroli di dekat Kepulauan Senkaku untuk menantang klaim Jepang. Lalu, Cina melanjutkan pembangunan di pos-pos militernya di Kepulauan Spratly. Tonggak penting di 2016 termasuk pendaratan pesawat sipil di lapangan terbangnya di Fiery Cross, Subi, dan Mischief Reefs, serta pendaratan pesawat angkut militer di Fiery Cross Reef.”

Infografik Laut Cina Selatan

Infografik Laut Cina Selatan. tirto.id/Fuadi

Selain sejarah, ada dua alasan mengapa Cina ngotot mengklaim memiliki Laut Cina Selatan, yakni kekayaan kawasan dan ekonomi. Menurut laporan Badan Energi AS, kawasan Laut Cina Selatan menyimpan 11 juta barel minyak mentah dan 190 triliun kaki kubik gas alam.

Menurut laporan Council on Foreign Relations, pada 2016 total nilai perdagangan yang melalui Laut Cina Selatan mencapai sekitar $3,37 triliun, menguasai sekitar 40 persen nilai perdagangan dunia. Laut Cina Selatan merupakan wilayah pelayaran dunia yang menghubungkan negara-negara di Pasifik dengan pasar internasional.

Center for Strategic and International Studies melaporkan, Laut Cina Selatan membawa sekitar sepertiga dari pelayaran global. Wilayah ini sangat penting untuk Cina, Taiwan, Jepang, dan Korea Selatan, yang semuanya bergantung pada Selat Malaka, yang menghubungkan Laut Cina Selatan dengan Samudra Pasifik dan Samudera Hindia. Konon, Laut Cina Selatan mengklaim total barang transit sejumlah $5,3 triliun setiap tahunnya.

Bukan hanya negara-negara yang langsung berhadapan dengan Laut Cina Selatan yang menilai kawasan ini penting. AS, misalnya, mengapalkan komoditasnya senilai $208 miliar via Laut Cina Selatan. Lalu, ada Jerman ($215 miliar), Inggris ($124 miliar), Perancis ($83,5 miliar), hingga Brazil ($77,3 miliar) yang sangat terikat dengan Laut Cina Selatan.

Baca juga artikel terkait LAUT CINA SELATAN atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf