tirto.id - Wajah sepak bola hari ini tentu tak sama lagi dengan, katakanlah, dua atau tiga dekade silam. Lumrah saja olahraga terpopuler ini dicap "kian bisnis" ketika klub-klub profesional memandang dirinya sebagai merek. Kata "pasar" pun lazim digunakan sebagai kata ganti untuk "fan".
Arus perpindahan pemain kian tinggi dan fenomena pemain menyeberang ke klub rival seolah jadi pemandangan biasa dalam karier mereka. Pemain one-club player seperti Paolo Maldini atau Jamie Carragher semakin jarang ditemukan, terlebih di klub-klub penantang juara. Pemain-pemain macam itu bisa saja segera punah.
Begitu pula dari segi permainannya, sepak bola kiwari kian menuntut para pemainnya punya kekuatan fisik besar untuk menyisir setiap jengkal lapangan. Karena itulah, kebanyakan pemain berusia pertengahan 30-an bisa dikatakan tengah di ambang ujung kariernya. Hal ini amat terasa di kompetisi besar semacam English Premier League (EPL).
Meski begitu, sosok pemain tua nan loyal rupanya masih bisa eksis di liga yang kerap dianggap paling menuntut secara fisik itu. Salah satunya adalah Mark Noble.
Mark Noble mulai bermain di tim junior West Ham United sejak 2000. Dia kemudian debut di tim senior pada 2004 di usia 17 tahun. Dia memang sempat menjalani masa pinjaman singkat di dua klub, Hull City dan Ipswich Town pada 2006. Namun di tahun yang sama, dia kembali ke West Ham dan menjadi motor lini tengah The Hammershingga kini.
Kepindahan Lionel Messi (yang memperkuat Barcelona sejak 2000) ke PSG pada awal musim 2021/22 lalu membuat Noble kini tercatat sebagai pemain aktif dengan masa bakti terlama untuk satu klub.
Kendati demikian, Noble tak berminat memperpanjang rekor. Dia menyadari bahwa pemain-pemain muda hari ini jauh lebih kuat dan tangguh. Kini, dia tengah menyongsong musim terakhirnya, berhenti sebelum klub mengatakan tak dibutuhkan jasanya lagi.
Mr. West Ham
Mark Noble lahir pada 8 Mei 1987 di Canning Town, sebuah distrik di London Timur. Pada usia 11 tahun, dia memperkuat akademi Arsenal, klub London yang lebih populer. Tapi sebagai fan West Ham, ayahnya selalu ingin Noble memakai seragam claret-biru.
"Aku selalu terlambat untuk latihan karena ayahku tak bisa pulang kerja lebih awal untuk mengantarku dari tempat tinggal kami di Becketon ke Highbury tepat waktu. Beberapa tahun kemudian, West Ham menginginkanku, jadi kuputuskan untuk mencobanya," kenang Noble.
Tak ada yang tahu bagaimana karier Noble akan melaju andai dia tetap bertahan di Highbury. Satu hal yang pasti, sang pemain betah mengenakan seragam West Ham. Dia bahkan tetap bertahan manakala West Ham terdegradasi ke Championship Division pada musim 2010/11.
Padahal, tak sedikit tawaran yang datang kepadanya kala itu. Karena loyalitasnya itulah, para fan dan penikmat Liga Inggris menjulukinya Mr. West Ham.
Berkat performa apiknya, Noble diganjar dua kali penghargaan Hammer of the Year (semacam gelar pemain terbaik West Ham dalam semusim), pada 2012 dan 2014. Ban kapten klub mulai dikenakannya sejak 2015, selepas kepindahan Kevin Nolan.
Noble lantas mencatat sejarah: menjadi kapten terakhir yang memimpin West Ham berlaga di Boleyn Ground sekaligus kapten pertama pada laga perdana West Ham di stadion baru London Stadium.
Noble percaya bahwa sebagai kapten dia harus menetapkan standar tinggi. Alih-alih berteriak dan bersuara lantang terus-menerus, dia memilih untuk memberi contoh dengan tak henti berlari maupun tetap berlatih dengan gigih usai hasil-hasil buruk di pertandingan.
Di luar lapangan, Noble juga menjadi figur yang dikagumi rekan seprofesi sekaligus role model bagi pemain-pemain junior. Dia tak jarang menyempatkan diri menonton laga dari berbagai tingkatan usia di West Ham, hal yang jarang dilakukan kapten tim senior klub mana pun.
Saat pandemi COVID-19 melanda dan Liga Inggris harus tertunda pada 2020 lalu, Noble memimpin rekan-rekannya menerima penangguhan gaji. Di samping membantu stabilitas klub, hal itu mereka lakukan agar para karyawan biasa di klub—yang pendapatannya tak sebesar pemain dan manajemen—tetap menerima gaji penuh selama sepak bola absen di lapangan.
"Dia sudah seperti ayah kedua. Sulit untuk menjelaskannya, tapi dia adalah yang terbaik dan masih pemain top, salah satu pengumpan terbaik yang pernah kulihat," ujar Declan Rice, gelandang bertahan andalan West Ham dan timnas Inggris.
Trofi Bernama Loyalitas
Selain kepiawaiannya melepaskan umpan, hal lain yang paling diwaspadai lawan dari Mr. West Ham adalah eksekusi penaltinya. Noble tercatat sebagai salah satu penendang penalti terbaik di dunia dalam dua puluh tahun terakhir. The Sportsman mencatat bahwa rasio konversi penaltinya mencapai 90,5 persen dan hanya kalah dari Robert Lewandowski (91,1 persen) sebagai eksekutor penalti paling efektif di dunia.
Selama kariernya, Noble konsisten menempati lini tengah tanpa pernah terkena cedera berat. Sembilan manajer tercatat pernah menukangi West Ham yang diperkuat Noble. Sayangnya, dalam dua dekade itu tak ada satu pun trofi mayor yang mampu dia persembahkan.
West Ham memang tak dikenal sebagai klub penantang gelar. Terakhir kalinya The Hammers memenangi trofi ialah FA Cup pada 1980. Kebanyakan orang bahkan bisa jadi lebih mengenal klub ini dari penggambaran hooligans-nya di film-film seperti The Firm (1989) atau Green Street Hooligans (2005).
Maka tak heran prestasi kolektif Noble yang tercatat hanyalah membantu West Ham memenangi play-off untuk promosi ke Premier League pada 2005 dan 2012. Di ranah liga, prestasi West Ham hadir dalam bentuk kelolosannya ke Europa League belaka.
"Seseorang berkata tempo hari, 'Apa pencapaian terbesar dalam karir Anda?' dan aku mengatakan bahwa salah satu pencapaian terbesarku adalah kesetiaan kepada klub yang memberiku kehidupan," tegas Noble.
Noble tercatat tampil lebih dari 500 pertandingan untuk West Ham. Lebih dari 400 di antaranya dimainkan di era Premier League—sebuah rekor di klubnya. Dalam jumlah gol di kancah Premier League juga, Noble berada di peringkat dua sepanjang masa bersama legenda klub lainnya, macam Paolo Di Canio dengan 47 gol dan hanya berada di bawah Michail Antonio.
Dengan tampil konstan selama belasan musim, selain ketiadaan trofi, satu lagi "cela" bagi karier Noble adalah nihilnya jumlah pertandingannya untuk tim nasional Inggris senior.
Terlalu Bagus Buat Inggris
Di liga tempat kecepatan begitu dihargai, Noble mampu tampil konsisten kendati tak dikenal sebagai pemain bermodal kecepatan. Orang-orang orang lebih sering menyebutnya sebagai Cockney Pirlo yang berkonotasi seorang gelandang tengah solid yang lebih condong bertumpu pada intelegensianya.
Ketika Carlos Tevez, Dimitri Payet, atau kini, Michail Antonio dan Jarrod Bowen menjadi sosok-sosok yang disorot dari West Ham berkat gol-gol mereka, maka bersama Scott Parker dan Nolan, Noble adalah sosok yang membuat The Hammersterus berdetak.
Apa pun itu, sepertinya masih tak cukup untuk membuat Noble dipanggil ke tim nasional. Seluruh pelatih Inggris dalam dua dekade ini mengabaikannya, dengan atau tanpa legenda macam Frank Lampard dan Steven Gerrard di posisi yang sama.
Suporter West Ham menggunakan situasi ini untuk membesarkan hati sang kapten. "Too good for England", begitu nyanyi mereka usai Noble menjaringkan gol.
Jika pun betul-betul ingin tampil di kancah internasional, Noble sebenarnya memiliki kesempatan untuk memperkuat tim nasional lain berkat darah Irlandia yang mengalir dari kakeknya. Kendati demikian, dia menolak panggilan The Boys in Green.
"Ada anak-anak muda Irlandia dengan permainan bagus yang pantas dan akan lebih menghargai cap Irlandia daripada aku," tutur Noble.
Di level klub, perannya perlahan tergantikan. Noble masih rutin tampil di Europa League 2021/22, di mana West Ham telah melaju hingga babak perempat final. Namun selebihnya, manajer David Moyes lebih memercayakan lini tengah pada duo gelandang bertahan yang lebih muda, Rice dan Tomáš Souček.
Noble memahami bahwa waktunya di klub akan segera berakhir. Dia telah menghabiskan setengah usianya kini untuk bermain di tim senior West Ham. Mr. West Ham dikabarkan bakal masuk ke jajaran direksi klub. Tapi, dia sendiri menyatakan masih akan bermain sepak bola, hanya saja tidak di level profesional.
Bermain sepak bola di taman, mengelabui kiper-kiper lokal dengan penaltinya, dan menyapa balik para fan yang melintas. Entah mengapa hal itu terdengar cocok bagi Mark Noble yang jauh dari lampu sorot dan ingar-bingar di luar sepak bola. Figur anutan yang sangat mungkin menginspirasi anak-anak London Timur. Sosok yang menganggap loyalitas sebagai pencapaian terhebatnya.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi