tirto.id - Mungkinkah para pekerja punya lebih banyak waktu untuk melakukan hal yang mereka suka, tanpa harus terkekang dalam roda kapital yang terus melaju 8 jam sehari dan 5 hari per minggu?
Senin (10/9), Serikat Pekerja Nasional (TUC) di Inggris menjawabnya dengan optimis. “Pada abad ke-19, serikat pekerja mengampanyekan kerja delapan jam sehari. Pada abad ke-20, kami memenangkan hak dua hari libur di akhir pekan dan cuti berbayar,” ujar Sekjen TUC Frances O’Grady sebagaimana dikutip Guardian.
Dalam pertemuan tahunan ke-150 TUC, O’Grady menyebutkan bahwa perkembangan teknologi dan komunikasi seharusnya dapat mengurangi jam kerja, alih-alih menambah beban pekerja. Idealnya masyarakat cukup bekerja selama empat hari dalam seminggu.
Laporan TUC memaparkan bahwa lebih dari 1,4 juta orang di Britania Raya bekerja tujuh hari seminggu. Bahkan, 3,3 juta orang bekerja lebih dari 45 jam dalam seminggu. Dampaknya, pekerja rentan stres dan kesehatan menurun akibat tenaga mereka diperas habis-habisan.
“Jadi, mari kita naikkan ambisi kita untuk abad ke-21. Saya percaya bahwa di abad ini kita dapat memenangkan kerja empat hari per minggu dengan upah yang layak untuk semua orang. Saatnya berbagi kesejahteraan dengan memanfaatkan teknologi mutakhir. Jangan sampai hanya orang-orang di posisi atas saja yang mengambil manfaat dari keuntungan itu,” tegasnya.
Dimulai Pelan-Pelan
Joe Pinsker dalam “America’s Fantasy of a Four-Day Workweek” yang terbit di The Atlantic pada 23 Juni 2015 mengatakan impian empat hari kerja dalam seminggu adalah mimpi yang terbatas. Ia hanya berlaku bagi pekerja dengan latar pendidikan maupun gaji yang tinggi, bukan bagi pekerja secara keseluruhan.
Di Amerika Serikat, catat Pinsker, konsep empat hari kerja sulit diterapkan. Pasalnya, selain faktor sulitnya perusahaan untuk berkompromi, masyarakat Amerika selama ini terbiasa dengan sistem lima hari kerja—bahkan lebih—yang sudah berlangsung sekitar satu abad. Statistik menyebutkan 86% laki-laki dan 67% perempuan AS bekerja lebih dari 40 jam dalam satu minggu atas nama produktivitas, kebutuhan finansial, dan tak jarang: kebahagiaan.
Utah, negara bagian di barat AS yang terkenal kering dan panas, sempat menerapkan sistem empat hari kerja pada 2008. Namun, tiga tahun berselang, sistem itu dianulir karena banyaknya protes dari masyarakat yang sulit mengakses layanan di hari Jum’at.
Meski terlihat sulit, bukan berarti tak ada kesempatan.
Perpetual Guardian, perusahaan finansial yang mengurus wasiat dan perumahan di Selandia Baru, meyakini bahwa empat hari kerja bukan mimpi siang bolong. Sebagaimana diwartakan The Guardian, Perpetual melakukan uji coba empat hari kerja selama seminggu dalam rentang Maret sampai April 2018. Tiap harinya, pegawai Perpetual cukup bekerja selama delapan jam. Bayaran mereka juga tak dipotong.
Direktur Perpetual Guardian, Andrew Barnes, mengatakan bahwa kebijakan empat hari kerja dibuat agar para kehidupan karyawan di dalam dan luar kantor seimbang dan lebih baik. Ia berharap para pekerja lebih bisa berkomitmen dengan tanggungjawabnya tanpa kehilangan waktu luang yang berkualitas.
Hasilnya menggembirakan. Sebanyak 78% karyawan Perpetual merasa terbantu mengelola keseimbangan kehidupan kerja mereka dengan adanya sistem empat hari kerja itu.
Upaya mewujudkan “kehidupan kerja yang ideal” juga ditempuh pemerintah Filipina. Setahun yang lalu, mengutip Rappler, RUU yang memungkinkan masyarakat bekerja empat hari dalam seminggu disetujui Dewan Perwakilan pada rapat jajak pendapat tingkat tiga dan empat. Tinggal butuh persetujuan senat agar RUU ini jadi produk hukum resmi.
Dalam RUU tersebut dijelaskan bahwa jika karyawan ingin bekerja empat hari dalam sepekan, maka ia harus bekerja selama 12 jam tiap harinya, dari Senin sampai Kamis. Para pekerja juga berhak memperoleh biaya lembur jika bekerja lebih dari 48 jam dalam seminggu. Sistem empat hari kerja bisa terlaksana selama ada kesepakatan dengan pemilik modal dan perusahaan.
“RUU ini bertujuan untuk meningkatkan fleksibilitas antara pemberi kerja dan karyawan dalam menetapkan jam kerja yang sesuai dengan persyaratan bisnis dan kebutuhan karyawan untuk memperoleh kehidupan kerja yang seimbang,” jelas Mark Go, pencetus RUU dari Kota Baguio.
Di Eropa, gelagat untuk mewujudkan impian kerja ideal juga mulai terlihat. Di Swedia, misalnya, perusahaan-perusahaan menetapkan durasi kerja jadi enam jam. Tujuannya untuk meningkatkan produktivitas, membuat pekerja lebih bahagia, dan punya waktu untuk menikmati kehidupan pribadi mereka.
Pelopornya ialah kantor-kantor Toyota yang berlokasi di Gothenburg. Sejak 1993, perusahaan ini sudah mempersingkat jam kerja pegawainya. Toyota mengklaim pekerjanya lebih bahagia dan laba perusahaan meningkat. Selain Toyota, ada juga Filmundus, perusahaan pengembang aplikasi di Stockholm yang memberlakukan durasi kerja enam jam pada 2015. Menurut pengakuan Linus Feldt, CEO, pola kerja delapan jam “tidak seefektif dikira banyak orang.”
Dikutip dari Independent, Feldt menambahkan bahwa dengan jam kerja yang baru, para pegawai bisa dipastikan memiliki energi yang cukup untuk beraktivitas di luar jam kerja, yang sulit mereka lakukan dalam skema delapan jam kerja. Selain Filmundus, beberapa rumah sakit di Swedia juga menerapkan kerja enam jam.
Jarold Haar, profesor manajemen SDM di Auckland University of Technology, dalam “Working Four-Day Weeks for Five Days’ Pay? Research Show It Pays Off” yang terbit di The Conversation, menjelaskan sejumlah tantangan pemberlakuan empat hari kerja bagi perusahaan atau pemangku kepentingan. Salah satunya adalah fakta bahwa tak semua orang melakukan pekerjaan yang sama di seluruh bagian tempat kerja tersebut. Perusahaan bukanlah barisan produksi yang membuat perangkat eletronik yang produktivitasnya bisa dengan mudah diukur.
Tak hanya itu saja, tingkat stres dan beban kerja boleh jadi lebih besar karena pekerja dituntut untuk menyelesaikan pekerjaan dalam waktu empat hari, alih-alih lima hari.
Namun, terlepas dari kekurangan tersebut, sistem empat hari kerja dinilai banyak memberikan manfaat. Sistem empat hari kerja membuat para karyawan merasa puas dan maksimal dalam bekerja.
“Karyawan pun mampu menyelesaikan pekerjaan mereka secara memuaskan dan bahkan lebih baik dalam beberapa aspek. Kehidupan di dalam dan luar kantor lebih seimbang dan stres pun berkurang. Selain mencerminkan kuatnya dukungan organisasi, kebijakan ini menegaskan keuntungan performa kerja yang dapat diraih ketika organisasi [atau perusahaan] berani mengambil risiko untuk menyokong para karyawannya untuk bekerja dengan pendekatan baru,” tulis Haar.
Kuncinya adalah Serikat
“Kerja kayak gini kadang bikin bosan. Tapi, mau enggak mau ya harus diturutin.”
Andi, 29 tahun, mengucapkan kalimat itu dengan wajah yang asam. Profesinya sebagai staf pemasaran di salah satu perusahaan swasta di bilangan Sudirman membuatnya jenuh. Pasalnya, selain berkutat pada hal itu-itu aja—statistik penjualan, Microsoft Excel, dan sebagainya—durasi kerja Andi kelewat berlebihan. Terkadang, ia harus bekerja sampai akhir pekan demi tercapainya target perusahaan.
Rachma, 30 tahun, juga punya kegelisahan serupa. Sehari-hari, ia bekerja sebagai pegawai administrasi bank swasta. Merekap berkas-berkas perusahaan adalah tugas hariannya. Meski durasi kerjanya tak sebrutal Andi, bukan berarti ia tak pernah mengalami stres.
"Pernah dalam dua minggu berturut-turut, aku harus merapikan berkas-berkas kontrak dari bank. Pusing banget dan rasanya pengen berhenti kerja," terang Rachma kepada Tirto.
Durasi kerja Andi dan Rachma—lima hari seminggu, delapan jam tiap hari, kadang ditambah lembur—masih menjadi momok serius bagi kehidupan pekerja. Stres dan bosan di kantor jadi makanan sehari-hari.
Tirto meminta pendapat mereka tentang wacana empat hari kerja dalam seminggu. Menurut Andi dan Rachma, sistem empat hari kerja bisa jadi solusi yang baik untuk memutus mata rantai stres yang timbul sebagai imbas dari durasi kerja.
“Gue rasa bisa, sih, mengurangi beban bekerja. Itu signifikan banget. Jum’at sampai Minggu libur,” jawab Andi. “Jadi, gue dan mungkin temen-temen pekerja yang lain bisa melakukan apa yang selama ini ketunda gara-gara rutinitas kerja. Kalau, misalnya, perusahaan bisa berlaku seperti itu, gue bakal pakai akhir pekan gue untuk liburan ke luar kota.”
Sedangkan Rachma bakal memanfaatkan tiga hari libur untuk mempererat relasi dengan orang-orang di sekitarnya, entah itu keluarga maupun teman.
“Hangout sama temen-temen. Nongkrong dan bersosialisasi. Enggak perlu ke luar kota juga. Di dalam kota sudah cukup,” ungkapnya.
Harapan boleh saja diapungkan. Tapi, memberlakukan kebijakan empat hari kerja di Indonesia tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada begitu banyak tantangannya, dari kepentingan perusahaan hingga asumsi mengganggu “iklim perekonomian.”
Setidaknya, Andi dan Rachma sudah punya rencana yang jelas bila sistem empat hari kerja diterapkan di Indonesia, cepat atau lambat.
Pada paruh kedua abad ke-19, pekerja pabrik dan kantoran di Inggris dan sejumlah Eropa Daratan memperoleh hak pilih dalam pemilu setelah bertahun-tahun berjuang melalui serikat buruh. Tak lama setelah itu, perjuangan politik di parlemen dan di jalanan dikerahkan untuk menuntut delapan jam kerja dan penghapusan praktik perburuhan anak. Setelah tuntutan itu dipenuhi, berturut-turut jadwal lima hari kerja, hak berakhir pekan, hak cuti berbayar, cuti hamil, cuti haid, hingga jaminan kesehatan pun terwujud.
Meski tuntutan atas kondisi kerja yang lebih ideal boleh jadi baru terwujud dalam waktu seabad lebih, rentetan prestasi itu menunjukkan tak ada yang tak mungkin jika pekerja berserikat.
Editor: Windu Jusuf