tirto.id - Kita buka saja cerita ini dengan narasi seperti berikut: tuntutan pekerjaan yang tidak kunjung berhenti sejalan dengan bertambahnya jam kerja. Forbes mencatat, dengan mengutip hasil survei Harvard Business School, sekitar 94% profesional bekerja lebih dari 50 jam per minggu.
WHO menyatakan, 1 dari 7 orang mengalami gangguan kesehatan jiwa di kantor. Sementara studi Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) pada 2016 memperlihatkan sepertiga pekerja di industri kreatif mengalami overwork dengan jam kerja lebih dari 48 jam tiap minggu.
Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa para pekerja seperti tak punya pilihan lain dalam hidupnya kecuali kerja, kerja, kerja. Di tengah tuntutan hidup yang serba cepat, bekerja dianggap sebagai salah satu cara untuk menyesuaikan diri—termasuk tenggelam dalam ritme yang kadang tak manusiawi.
Orang-orang saling berlomba untuk lebih dulu mencapai garis akhir. Jika tak mampu berlari cepat, maka jangan harap pekerjaan, relasi, dan masa depan dapat jaminan.
Dampaknya tidak main-main. Selain kesehatan rentan terganggu, kita seolah tak punya kebebasan untuk menentukan apa yang akan atau ingin kita lakukan dan dipaksa tunduk pada budaya serba cepat yang semakin ke sini kian menyeramkan.
Melambat untuk Nikmat
Wajah Rahmadita Kusuma Putri nampak lelah saat memasuki warung kopi di bilangan Cikini, Jakarta Pusat. Rambutnya sedikit berantakan. Bajunya sudah tak rapi seperti saat berangkat kerja. Beberapa kali ia terlihat mengusap wajahnya dengan kertas pembersih untuk menghilangkan noda akibat asap kendaraan.
“Sorry, ya, gue telat. Tadi habis meeting. Dan itupun belum selesai sepenuhnya karena gue ditinggalin kerjaan deadline buat lusa. Kalau kaya gini mulu, rasanya pengen bye aja deh,” keluhnya sembari mengambil sisir dan membenahi rambut.
Bagi Dita, hari-harinya adalah masuk kantor pukul delapan, meeting dengan klien, mengurus kontrak pemasaran, hingga lembur akibat kerjaan yang menurutnya “tak pernah selesai.”
“Kadang gue mikir, ‘Sampai kapan rutinitas kaya gini itu dijalanin, ya?’ Tapi, setelah gue pikir-pikir, kok, rasanya susah untuk keluar dari zona semacam ini karena gue kerja untuk butuh,” curhatnya. “Gue cuma pengen semua berjalan santai tapi tetep serius.”
Apa yang dirasakan Dita mungkin juga dirasakan ribuan pekerja ibukota lainnya. Ketika tuntutan budaya serba cepat sudah mandarah daging, satu hal yang diinginkan hanyalah “mengerem laju kendaraan.”
Jika Dita masih bingung untuk keluar dari zonanya itu, beberapa orang di belahan bumi lainnya berani mengambil sikap untuk menolak hidup serba cepat dan mempraktikkan slow life sebagai pedoman kenyataan.
Secara garis besar, slow life atau pola hidup melambat merupakan cara dan respons atas rutinitas yang cepat, serba teratur, dan penuh kesibukan. Mereka yang menerapkan slow life adalah orang-orang yang berharap menjalani hidup dengan seimbang serta tidak berlebihan.
Para penganut slow life paham bahwa kesibukan dan gaya hidup yang serba cepat telah merebut banyak hal; waktu, kesehatan, ruang sosial, hingga terpenting, kenikmatan menjalani hidup. Mereka merasa, hidup yang serba cepat telah membodohi dan memaksa manusia tunduk di bawah kendalinya.
Dalam perjalanannya, konsep slow life sering kali disalahartikan dengan sesuatu yang dilakukan secara lambat. Asumsi semacam ini coba diluruskan oleh Diana-Eugenia Ioncică dan Eva-Cristina Petrescu dalam “Slow Living and the Green Economy” (2016, PDF) yang terbit di The Journal of Philosophical Economics: Reflections on Economic and Social Issues.
Mereka berpendapat, dengan mengutip Charles Eisenstein pengarang The More Beautiful World Our Hearts Know Is Possible (2013), slow life bukan berarti melakukan aktivitas dengan lambat, melainkan menjalani sesuatu dengan perhitungan. Artinya, ketika waktunya untuk melambat tiba, melambatlah. Tapi, jika saatnya untuk bergerak cepat datang, maka tanggapilah dengan cepat pula.
Dengan demikian, slow life lebih berarti bagaimana kita mampu mengatur ritme hidup kita secara bebas, tanpa tunduk pada pola serba cepat, guna mencapai tujuan yang ingin dicapai.
Dorin Paul dan Ozan Emre dalam “A Short History of The Slow Movement” menjelaskan, gerakan slow life pertama kali muncul pada 1986 ketika saat itu Carlo Petrini, pendiri organisasi non-profit yang berfokus pada makanan dan wine, Arcigola, menentang pembukaan gerai pertama McDonald’s di Roma.
“Saya khawatir dengan sifat makanan cepat saji yang homogen secara kultural,” ungkapnya mengenai alasan penolakan McDonald’s seperti dikutip Time.
Akan tetapi, bagi Petrini, melakukan unjuk rasa menolak pembukaan McDonald’s tidak bakal berdampak apa-apa dan hanya aktivitas yang “sia-sia.”
“Kami tidak ingin mengadopsi strategi yang memicu konflik terbuka dengan perusahaan multinasional,” ujarnya dilansir The Independent.
Petrini lantas menggunakan cara yang persuasif dengan membentuk organisasi Slow Food. Tujuan didirikannya organisasi tersebut ialah untuk melindungi, mengadvokasi, serta membangun kesadaran masyarakat terhadap kekayaan makanan tradisional.
Tiga tahun usai penolakan McDonald’s di Roma, Petrini bergabung dengan perwakilan dari 15 negara lainnya untuk menandatangani Slow Food Manifesto di Paris. Pada 10 Desember 1989, gerakan slow food berskala internasional pun terbentuk.
Swedia sampai Amerika
Peristiwa di Roma, seiring waktu, berkembang menjadi subkultur di kehidupan sehari-hari. Slow life tak sekedar slow food, tapi juga slow parenting, slow career, slow living, sampai slow money. Intinya sama: menolak tunduk pada budaya serba cepat serta memilih melakukan sesuatu dengan perhitungan yang pas, menikmati prosesnya, dan mementingkan kualitas dibanding kuantitas.
Konsep hidup semacam itu turut mendorong beberapa negara mulai menerapkan slow life di kehidupan sehari-harinya. Di Swedia, misalnya, keberadaan slow life dapat dilihat kala perusahaan-perusahaan menetapkan jam kerja hanya berdurasi 6 jam. Tujuannya untuk meningkatkan produktivitas, membuat pekerja lebih bahagia, dan punya waktu untuk menikmati kehidupan pribadi mereka.
Pelopornya ialah kantor-kantor Toyota yang berlokasi di Gothenburg. Perusahaan ini, sejak 1993, sudah mengubah durasi jam kerja untuk pegawainya menjadi lebih singkat. Hasilnya: pekerja diklaim lebih bahagia dan laba perusahaan meningkat.
Selain Toyota, ada juga Filmundus, perusahaan pengembang aplikasi yang terletak di Stockholm. Pada 2015, mereka memperkenalkan durasi kerja enam jam untuk pegawainya. Menurut pengakuan Linus Feldt, sang CEO, pola kerja delapan jam “tidak seefektif yang orang-orang kira.”
Ia menambahkan, mengutip The Independent, dengan jam kerja yang baru, para pegawai bisa dipastikan memiliki energi yang cukup untuk beraktivitas di dalam kehidupan pribadi mereka—suatu hal yang sulit jika kerja masih berdurasi delapan jam. Pihak lain yang ikut menerapkan kerja enam jam ialah rumah sakit di sejumlah daerah di Swedia.
Kondisi di Amerika setali tiga uang. Keinginan untuk menerapkan pola slow life muncul sebagai tanggapan atas budaya serba cepat yang diyakini punya potensi untuk menghancurkan kesehatan, relasi keluarga, dan komunitas sosial.
“Jika Anda tinggal di Eropa setelah usia 50 tahun, Anda hanya punya kemungkinan setengahnya untuk terkena penyakit kronis macam jantung atau tekanan darah tinggi yang biasanya diidap orang-orang Amerika kebanyakan,” kata John de Graaf, koordinator nasional Take Back Your Time, sebuah organisasi slow life. “[Karena] orang-orang [di sana] bisa berolahraga lebih banyak, lebih sedikit makan makanan cepat saji, dan tidur lebih banyak.”
Edgar S. Cahn, mantan jaksa dan pendiri TimeBanks—organisasi slow life—mengungkapkan durasi bekerja di Amerika telah berubah jadi budaya, simbol, sekaligus status sosial.
Cahn beranggapan budaya kerja itu justru malah merantai para pekerja dengan durasi kerja yang lama. Ditambah, keberadaan teknologi makin memperburuk situasi karena masyarakat Amerika lebih suka menatap layar daripada berinteraksi dengan sekitar.
Melalui TimeBanks, yang beranggotakan wartawan, pengacara, koki, sampai petani, Cahn mengajak orang-orang di sekitarnya untuk lebih menghargai waktu dengan cara mematikan gawai, memasak bersama teman, hingga mengajak anjing peliharaan jalan-jalan ke taman.
TimeBanks tak sendirian. Tercatat ada sejumlah organisasi pengusung slow life lainnya seperti Long Now Foundation yang berbasis di San Fransisco, Take Back Your Time dari Seattle, sampai Slow Food USA yang menawarkan alternatif makanan selain menu cepat saji yang menggunakan bahan baku dari petani lokal.
“Gerakan ini adalah tentang bagaimana kita menghargai hal-hal selain seberapa cepat kita dapat mengkonsumsi barang dan seberapa banyak barang yang dapat kita kumpulkan,” ujarnya dilansir CNN.
Di Jepang yang terjadi agak unik. Selain didorong faktor bosan dengan kehidupan serba cepat di kota-kota besar macam Tokyo, alasan lainnya yang memotivasi orang-orang mempraktikkan slow life ialah menyelamatkan desa dari ancaman kepunahan, seperti yang terjadi di wilayah Iketani, Prefektur Niigata.
Lebih dari satu dekade silam, menurut penuturan Megumi Iizuka dari Japan Times, daerah itu hanya dihuni 13 orang penduduk yang sebagian besar di antaranya berusia di atas 65 tahun. Kondisi ini diperparah dengan gempa kuat yang melanda Iketani pada 2004. Ladang dan jalanan pun rusak.
Gempa turut mendatangkan para sukarelawan yang berusia muda untuk membantu rekonstruksi wilayah Iketani. Hari-hari relawan muda diisi dengan bercocok tanam sampai membangun rumah yang rusak akibat gempa.
Tak dinyana, para relawan yang awalnya hanya bertugas membantu lama kelamaan tertarik untuk tinggal lebih lama. Faktor pendorongnya macam-macam: nyaman tinggal di desa, tidak dituntut bergerak serba cepat, dan terpenting mampu menikmati hidup sebagaimana mestinya.
Total, sejauh ini, Iketani dihuni 70% populasi yang berusia 20 sampai 40 tahun. Salah seorang yang ikut arus perpindahan tersebut ialah Kanako Sato, ibu satu anak berusia 29 tahun.
Sato awalnya warga Tokyo. Selama tinggal di sana, ia merasa jenuh akan hiruk pikuk dan pekerjaan di agensi iklan yang sehari-hari menyertai rutinitasnya. Sesaat selepas mendengar kabar gempa tersebut, ia tanpa pikir panjang langsung memutuskan untuk pergi ke Iketani dan menetap di sana.
“Ketika saya membantu warga desa dengan kegiatan bertani mereka, pelan-pelan saya menyadari bahwa cara hidup, falsafah, dan budaya mereka berasal dari pertanian dan nilai-nilai yang membentuk komunitas dan wilayah [Iketani],” ungkapnya.
Secara keseluruhan, menurut survei pemerintah Jepang pada 2014, sekitar 40% masyarakat kota besar seperti Tokyo tertarik pindah ke daerah pedesaan untuk menghindari kehidupan serba cepat hingga tekanan pekerjaan. Akan tetapi, banyak yang khawatir tentang prospek pekerjaan yang bisa mereka dapatkan apabila mereka pindah.
Dari sini, kita paham bahwa slow life bukan berarti tak tanggap dengan keadaan sekitar maupun hanya bergerak lambat dalam melakukan pekerjaan. Slow life adalah sikap, prinsip, sekaligus upaya untuk mendapatkan kebebasan dalam diri yang selama ini tersita oleh kemacetan, tenggat pekerjaan, sampai pertanyaan dan urusan tak penting lainnya.
Jadi, bersediakah warga kota-kota besar seperti Jakarta untuk mempraktikkan slow life?