tirto.id - Sebanyak 71 persen karyawan pernah mengalami perlakuan kasar di tempat kerja. Sebanyak 39 persen dari mereka mengalaminya sekali atau dua kali, 25 persen mengatakan kadang-kadang, dan 6 persen menyatakan sering mengalaminya. Demikian hasil studi terhadap 1.167 warga AS usia 21-78 pada 2001 yang dimuat di Journal of Occupational Health Psychology.
Beralih ke tahun 2016, hasil studi Christine Porath dari Georgetown University yang termuat dalam artikel “The Hidden Toll of Workplace Incivility” di situs McKinsey & Company menunjukkan 62 persen karyawan pernah mengalami perlakuan kasar. Persentase ini naik dari 49 persen pada 1998 dan 55 persen pada 2011.
Pengalaman menerima perlakuan kasar di kantor yang dialami lebih dari separuh karyawan yang menjadi responden kedua studi mengindikasikan bahwa hal ini bukanlah sesuatu yang langka. Kendati demikian, hal ini lebih sering dipandang sebelah mata dibanding sikap agresif yang gamblang ataupun bullying.
Bentuk perlakuan kasar bervariasi. Pengabaian terhadap keberadaan atau hasil kerja seseorang, komentar merendahkan, sikap tidak menghormati atau menghargai, dan kata-kata menyinggung adalah beberapa contoh perlakuan kasar yang tak sulit ditemukan di kantor-kantor, baik dari kolega maupun atasan.
Efek Menerima Perlakuan Kasar di Kantor
Perlakuan kasar yang seseorang terima di tempat kerja mendatangkan aneka imbas negatif, baik bagi diri sendiri maupun perusahaan. Karyawan yang tak dihargai pekerjaannya atau kerap disepelekan oleh kolega atau atasan akan memiliki kepercayaan diri yang rendah.
Efek berikutnya adalah penurunan performa kerja saat seseorang merasa tidak dihormati di kantor. Porath menyebutkan, merosotnya performa kerja dapat terlihat dari keengganan menghabiskan waktu panjang untuk bekerja, kesengajaan menurunkan kualitas pekerjaan, dan rendahnya komitmen terhadap perusahaan.
Salah satu penulis The Cost of Bad Behavior (2009) ini juga melaporkan adanya responden yang merasa tertekan dan terus merasa khawatir setelah mengalami perlakuan kasar dari orang lain di tempat kerja sehingga hal ini mengorupsi waktu kerjanya. Tekanan yang terakumulasi dalam psikis karyawan tak jarang pula membuatnya memutuskan mengundurkan diri.
Salah satu bukti penurunan performa kerja diperlihatkan dari temuan studi Riskin et.al. (2015). Dilansir HBR, para peneliti itu membuat eksperimen untuk melihat kinerja 24 tim medis di Israel setelah diberi pemicu tekanan.
Tim medis awalnya diminta untuk mengikuti pelatihan yang melibatkan simulasi penanganan bayi-bayi di ICU. Lalu, peneliti mengirimkan salah satu ‘pakar’ dari AS untuk mengawasi mereka. Sebanyak 12 tim disituasikan menerima perlakuan netral dari si pakar, sementara sisanya disituasikan menerima perlakuan kasar berupa komentar-komentar menyinggung soal performa mereka dan rendahnya kualitas layanan kesehatan di Israel.
Pada tim yang menerima perlakuan kasar, didapatkan temuan adanya kemampuan diagnosis dan metrik performa prosedural yang lebih rendah dibanding tim yang menerima perlakuan netral. Hasil simulasi ini menunjukkan besarnya kemungkinan bayi tidak selamat di tangan tim medis yang menerima perlakuan kasar.
Penurunan performa kerja karyawan ini pada akhirnya memicu kerugian bagi perusahaan. Ketika karyawan memilih hengkang dari perusahaan, perusahaan mau tak mau mencari penggantinya. Hal ini menuntut waktu, tenaga, atau biaya ekstra untuk proses pelatihan dan adaptasi karyawan baru.
Di samping itu, perlakuan kasar yang dialami responden-responden Porath juga membuat mereka berusaha menghindari pelaku kekasaran. Relasi buruk antara karyawan dan pelaku kekasaran pada akhirnya berdampak pada hasil kerja tim. Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan terhadap si pelaku dan keengganan untuk membantu dalam tim. Akhirnya, proses penyelesaian proyek bersama pun tak berjalan mulus.
Dalam studi Porath lainnya yang dilakukan bersama Amir Erez, associate professor dari University of Florida, ditemukan pula imbas perlakuan kasar terhadap level kreativitas karyawan. Mereka yang mengalami perlakuan kasar dilaporkan memiliki ide-ide lebih sedikit dan tidak imajinatif dibanding yang tak mengalaminya.
Tadinya, psikolog dan pendidik percaya bahwa pemikiran kreatif bersifat spontan. Namun, sekarang, ada anggapan bahwa kreativitas memerlukan konsentrasi dan pengorganisasian ide
"Saat perlakuan kasar muncul, hal ini mengganggu kita saat melakukan proses kognitif, menurunkan perhatian, dan memenuhi otak yang sedang bekerja sehingga mengakibatkan kemerosotan kreativitas,” tulis mereka dalam situs The British Psychological Society.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani