tirto.id - Suara Woody Guthrie meluncur lirih dan tegas di waktu bersamaan. Petikan gitarnya mengalun lembut mengantarkan lirik lagu legendaris itu: “As I was walking a ribbon of highway/I saw above me an endless skyway/I saw below me a golden valley/This land was made for you and me.”
Balada “This Land is Your Land” awalnya ditulis untuk menggambarkan keindahan alam Amerika seraya mengecam siapapun yang dinilai tak layak untuk berbagi kebahagiaan dari tanah Amerikana, yakni orang-orang serakah, perampas lahan, tuan tanah jahat, dan lain sebagainya.
Kini "This Land is Your Land" tepat belaka menjadi soundtrack sehari-hari menggambarkan fenomena anak-anak muda berbondong-bondong meninggalkan pekerjaan mapan di kota untuk bertani. Karir yang telah mereka bangun sejak lama di korporasi, firma hukum, hingga institusi pendidikan dengan gaji memuaskan rela dilepas demi kegiatan menyemai benih dan membajak lahan.
Di antara pemuda-petani baru itu adalah Adam Motsinger dan John Mantzaris. Motsinger lulus dari jurusan sains kognitif kampus Darmouth dan peraih master dari Universitas John Hopkins. Rekannya, Mantzaris merupakan sarjana teknik mesin Universitas Tufts dan menuntaskan pendidikan master teknik biomedik di Universitas Columbia.
Usia keduanya sepantaran—sekitar kepala tiga—dan dipersatukan oleh kesamaan pandangan tentang pertanian. Motsinger ingin mempercanggih proses beternak ayam dengan memperhatikan betul kaidah ilmu pengetahuan. Sementara Mantzaris punya mimpi memecahkan masalah pertanian dengan pendekatan biologi yang terinspirasi buku The Omnivora’s Dilemma karya Michael Pollan.
Keduanya bertemu di daerah Roxbury, Connecticut, dan sepakat membangun lahan pertanian bersama yang kemudian dinamai Happy Acres. Happy Acres didirikan untuk memperbaiki kualitas air, merawat keanekaragaman hayati, serta mengembalikan ekosistem lingkungan sekitar untuk bekal anak cucu di masa mendatang.
“Saya semangat betul,” kata Motsinger seperti dilansirThe Guardian. “Kami menyadari sepenuhnya bahwa banyak hal yang ingin kami lakukan—misalnya menanam tanaman yang berumur panjang—bakal memakan waktu yang sangat lama. Pemikiran-pemikiran jangka panjang itulah yang menarik."
Langkah serupa ditempuh oleh pasangan Josh Gerritsen dan Marya Gelsova. Gerritsen adalah fotografer dari New York dan Gelsova mengajar sastra Inggris. Di usianya yang belum menginjak kepala empat, mereka mempertaruhkan karir dan kehidupan mereka di kota untuk mengurusi sepetak ladang di Maine.
“Kalau beberapa tahun lalu kamu bilang aku akan jadi petani, kamu akan saya tertawakan,” aku Gelsova.
Tapi nasib memang sulit diramal. Entah siapa yang bakal Gelsova tertawakan nantinya, sekarang saban hari ia dan Gerritsen mengurusi ternak yang memasok daging sapi, domba, dan unggas untuk pelanggan lokal.
Keputusan yang sama juga diambil Liz Whitehurst, perempuan 32 tahun lulusan seni di salah satu kampus pinggiran Chicago. Ia memutuskan keluar dari zona nyamannya untuk terjun ke sebuah ladang di Upper Marlboro, Maryland.
Pada 2015, Whitehurst membeli lahan dari seorang petani lokal yang telah pensiun kemudian mengganti namanya dengan Owl’s Nest. Whitehurst menanam selai, kubis, tomat, kangkung, dan aragula. Setiap Selasa, Kamis, dan Jumat, Whitehurst bersama dua orang temannya mengambil beberapa hasil tanaman di ladang lalu menjualnya ke restoran atau pasar tani di dekat Washington.
“Untuk sekarang ini saya fokus untuk upaya perbaikan, bukan perluasan,” katanya kepada The Washington Post. “Tapi untuk beberapa tahun ke depan, Anda bisa menanyakan lagi soal ini [mengenai lahan pertaniannya].”
Perihal tumbuhnya minat bertani dari masyarakat dewasa Amerika, Kathleen Merrigan, Kepala Institut Makanan Universitas George Washington dan mantan pejabat Departemen Pertanian di era Obama menjelaskan, “Kita akan melihat perubahan lanskap pertanian Amerika karena generasi mendatang mulai menjejak tanah.”
“Pertanyaannya, apa bisa mereka mengurus ladang kalau melihat kesulitan-kesulitannya," tambah Merrigan.
Alasan Bertani: Bukan Faktor Uang Apalagi Kekuasaan
Keputusan bertani sejumlah pemuda Amerika tentu menimbulkan pertanyaan. Mengapa karir yang sudah dibangun sesuai bekal akademik ditinggalkan untuk bertani di desa? Apa yang sebetulnya mereka cari dengan mengurus ladang?
Tak ada misi yang wah seperti mengentaskan kemiskinan maupun membantu pemerintah menuntaskan program-program kesejahteraan. Alasannya ternyata sangat sederhana: bosan dengan kehidupan kota, keinginan melakukan perubahan kecil lingkungan sekitar, dan kekhawatiran akan situasi perubahan iklim yang kian memprihatinkan.
Gerritsen misalnya, mengatakan bahwa ia tak puas dengan kehidupan kota. “Tinggal di kota itu hanya memenuhi rutinitas seperti bepergian mengendarai kereta bawah tanah, membeli makanan di swalayan, dan bekerja di balik kubikel sepanjang hari,” terangnya. “Anda menjadi tidak terikat erat dengan apapun.” Gerritsen menambahkan satu faktor lagi: kehidupan kota yang semakin tak sehat.
Whitehurst punya pandangan berbeda. “Saya ingin memiliki dampak yang positif untuk sekitar dan hal itu tidak saya temukan dalam pekerjaan saya yang dulu,” ungkapnya. “Jika Anda bertani, Anda membuat perbedaan. Dampaknya bisa segera dirasakan.”
Kehidupan urban yang serba cepat dan instan boleh saja jadi alasan. Tapi bertani bukanlah pelarian. Menganggap enteng bertani sama saja dengan mencederai nilai berproses di dalamnya. Jennifer Taylor, direktur Akademi Pertanian California di Center for Land-Based Learning menjelaskan, untuk bertani setidaknya diperlukan dua hal: semangat kemandirian dan tanah.
“Ini profesi yang sulit dilakoni jika Anda tidak memiliki koneksi,” jelasnya. “Kriteria utama untuk mereka yang ingin bertani adalah niat penuh, tidak setengah-setengah."
Masalah Utama Bertani Adalah Lahan
Pada 2014, Departemen Pertanian Amerika Serikat mengeluarkan laporan yang menyatakan rata-rata usia masyarakat Amerika yang bertani adalah 58 tahun. Petani yang berusia 65 tahun lebih banyak ketimbang yang berusia 34 tahun. Ketimpangan tersebut membuat banyak pihak menilai dunia pertanian Amerika dilanda krisis.
“Situasi ini bahaya,” jelas Milt McGiffen, profesor dan peneliti pertanian Universitas California. “Sedikitnya orang-orang muda yang menggeluti pertanian memperlihatkan kenyataan bahwa profesi ini dianggap tidak menarik bagi banyak kalangan di Amerika.”
Dua tahun kemudian, dunia pertanian Amerika beranjak dari krisis petani muda. Berdasarkan Sensus Pertanian Amerika, jumlah petani di bawah usia 35 tahun meningkat. Jumlah petani yang berusia 25 sampai 34 tahun tumbuh 2,2 persen antara tahun 2007 sampai 2012 di mana 69 persen di antaranya merupakan lulusan sarjana. Di beberapa negara bagian seperti California, Nebraska, dan Dakota Selatan jumlah petani berusia muda tumbuh sebesar 20 persen.
Tumbuhnya petani muda ini menepis anggapan krisis pertanian Amerika dan memperlihatkan bahwa orang bisa bertani terlepas latar belakangnya. Menurut survei Koalisi Petani Muda Nasional, mayoritas petani muda ini tidak dibesarkan dalam keluarga yang mempunyai riwayat bertani.
Meski statistik pertumbuhan petani muda berada di jalur yang optimis, masalah tetap muncul. Tantangan utama bagi para petani muda ini adalah harga tanah dan peralatan pertanian yang sangat mahal. Berdasarkan laporan Agricultural Statistics Agency, nilai tanah pertanian meningkat dua kali lipat antara 2004 dan 2014, dari $1.360 menjadi $2.950 per hektar.
Di Connecticut misalnya, Motsinger dan Mantzaris harus membayar sebesar $1.328 tiap bulan untuk sewa lahan, peralatan, ternak, pakan, dan asuransi. Di Iowa, harga lahan pertanian menyentuh angka $9.000. Di tengah gelembung harga lahan pertanian yang melonjak, lahan di wilayah-wilayah tertentu masih bisa ditebus dengan harga terjangkau. Misalnya di Maine, harga delapan hektar tanah, gudang, dan rumah dapat dibayar dengan kurang dari $200.000.
Namun demikian, harga tanah ini tidak menyurutkan antusias para petani muda ini. Menurut survei Federasi Biro Peternakan Amerika, 91 persen petani muda dinilai lebih optimis bertani dibanding lima tahun lalu. Di samping itu, 88 persen petani muda mengatakan ingin melihat anak-cucu mereka bertani.
Benjamin Shute, salah satu pendiri Koalisi Petani Muda Nasional, menegaskan bahwa negara harus mengambil tindakan untuk memastikan kepemilikan akses petani muda mempunyai terhadap tanah, perawatan kesehatan, modal, serta pendidikan dan pelatihan.
Hanya dengan itu, "This Is Your Land" akan tetap mengalun sampai generasi mendatang.
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Windu Jusuf