tirto.id - Pemerintah dan DPRD Kota Depok dikabarkan tengah memproses rancangan peraturan daerah (Raperda) anti-lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Perda ini nantinya bertujuan mencegah penularan HIV/AIDS yang dinilai sudah mengkhawatirkan di Depok.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Depok Novarita, mengaku tak tahu banyak soal raperda ini meski dibuat dengan tujuan kesehatan. Namun, ia menyebut homoseksual adalah penyumbang angka HIV/AIDS terbesar di Depok.
Dari 222 pengidap HIV/AIDS, kata Nova, 114 di antaranya adalah homoseksual. Ia pun berharap, larangan terhadap LGBT ini bisa menekan jumlah pengidap HIV/AIDS.
"Jadi dengan menurunnya perilaku itu dengan sendirinya akan menurunkan terjadinya HIV," kata Novarita saat dihubungi, Senin (29/7/2019) malam.
Baru Masuk Bapemperda DPRD
Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Kota Depok Sri Utami mengakui usulan raperda tersebut memang ada. Usulan muncul dalam sidang paripurna DPRD Depok, beberapa bulan lalu, dan diusulkan seorang anggota Komisi A DPRD.
Namun sejauh ini, kata Sri, Bapemperda DPRD Depok belum menerima paparan soal perda tersebut, baik berupa naskah akademiknya maupun draft raperda.
"Jadi sepertinya masih ada di meja pimpinan. Bapemperda belum menerima disposisi untuk memproses lebih lanjut," kata Sri saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (31/7/2019).
Menurut Sri, pengesahan raperda itu masih panjang. Sebelum disahkan, naskah akademik raperda itu harus terlebih dahulu dikaji dari berbagai sisi. Kemudian, kata dia, dibahas secara internal oleh DPRD dan dilanjutkan dengan pembahasan bersama Bapemperda dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait untuk diusulkan masuk ke dalam Program Pembentukan Perda (Propemperda).
Baru setelah itu, kata dia, raperda diparipurnakan untuk mendapat pandangan fraksi-fraksi. Barulah Raperda itu digodok oleh Pansus.
"Raperda itu sifatnya masih usulan anggota, perlu perjalanan panjang untuk menjadi inisiatif DPRD," katanya.
Malah Tambah Masalah
Meski masih panjang, kekhawatiran soal raperda ini sudah muncul. Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition (IAC) Aditya Wardhana adalah salah satunya. Menurut Aditya, raperda itu justru akan berdampak buruk karena bisa memperparah kondisi penyebaran HIV/AIDS yang sudah ada.
"Akan membuat persoalan HIV ini menjadi bom waktu," kata Aditya saat dihubungi reporter Tirto, Senin lalu.
Aditya juga membantah argumen yang disampaikan Kadis Kesehatan Depok Novarina. Menurutnya, LGBT bukan penyumbang HIV/AIDS terbesar dalam skala umum, meski angka prevalensi pengidap HIV di kalangan LGBT memang tinggi.
Diskriminasi, kata Aditya, bukan solusi malah bikin mereka bersembunyi dan takut mengakses layanan pencegahan atau pengobatan HIV/AIDS yang sudah ada. "Akhirnya, potensi untuk menularkannya malah jadi lebih besar," kata Aditya.
Direktur LBH Masyarakat Ricky Gunawan berpendapat senada. Menurutnya, penularan HIV/AIDS disebabkan aktivitas seks yang tidak aman semisal anal seks. Namun, kata Ricky, tindakan seperti itu tak semata-mata dilakukan kelompok LGBT, pasangan heteroseksual pun bisa melakukan aktivitas seks tidak aman.
Pada penerapannya nanti, Ricky menduga Pemkot Depok hanya bisa menerka apakah seseorang termasuk LGBT atau bukan. Pasalnya, orientasi seksual adalah sesuatu yang ada di dalam diri.
"Jadi pada akhirnya cuma melanggengkan stigma," kata Ricky saat dihubungi reporter Tirto.
Atas hal itu Adit dan Ricky sama-sama berpendapat untuk mencegah penularan HIV/AIDS di kalangan LGBT justru dibutuhkan kebijakan yang memanusiakan. Mereka katakan, saat ini kelompok LGBT kesulitan mengakses layanan kesehatan untuk mencegah atau mengobati HIV/AIDS lantaran stigma yang melekat kepada mereka. Seringkali mereka tidak tahu kalau mereka sudah terinfeksi.
Oleh karenanya, mereka mendesak pemerintah untuk merangkul kelompok LGBT dan menghapus stigma itu. Dengan begitu, kelompok LGBT bisa dengan mudah mengakses layanan kesehatan.
"Diberikan dukungan sehingga mereka merasa nyaman dan mengakses layanan-layanan HIV/AIDS," kata Ricky.
Apa yang disampaikan Aditya dan Ricky pun tergambar dalam riset yang dilakukan Human Right Watch yang dirilis pada 2018 (PDF). Dalam riset tersebut ditemukan, rata-rata HIV di kalangan laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) meningkat lima kali lipat dari 5 persen pada 2007 menjadi 25 persen pada 2015 .
Laporan itu juga menjelaskan sepertiga dari keseluruhan jumlah penularan baru terjadi pada LSL meskipun sebagian besar penularan HIV di Indonesia terjadi lewat hubungan heteroseksual.
Situasi ini jelas mempersulit penyuluhan kesehatan masyarakat kepada kelompok warga yang paling berisiko, serta memperbesar peluang penyebaran virus tersebut lebih jauh, kata Human Rights Watch.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Mufti Sholih