tirto.id - Pemerintah Kota Padang bakal menggandeng Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk menangani kelompok lesbian, gay, bisexual, dan transgender (LGBT) di Padang. Rencana ini digadang Wali Kota Padang Mahyeldi Ansharullah lantaran memadang LGBT sebagai penyakit.
“Kami melakukan pembinaannya bersama dengan TNI. Itu anak-anak itu, dari operasi-operasi yang ada, kami bina dan kami latih, kemudian kami tanamkan nasionalismenya, kami tanamkan jati dirinya," kata Mahyeldi saat ditemui di Jakarta Pusat, Selasa (22/1/2019).
Selain melibatkan TNI, Mahyeldi juga berencana meruqyah individu LGBT dan membuat rencana pendidikan yang menegaskan perbedaan aktivitas untuk laki-laki dan aktivitas untuk perempuan.
“Selama ini, kita kan ada aktivitas-aktivitas pendidikan yang salah dalam keluarga. Dia anak laki-laki, tapi dikasih mainan perempuan, dikasih pakaian perempuan, atau sebaliknya,” kata Mahyeldi.
Rencana Mahyeldi ini ditentang sejumlah pegiat HAM lantaran menunjukkan sikap kebencian sistematis dari pemerintah kepada kelompok LGBT.
Yohan Misero, advokat publik dari LBH Masyarakat, memandang rencana ini sebagai persekusi, apalagi dengan melibatkan TNI yang seharusnya tak perlu mengurusi masalah sipil.
“Ini persekusi. Elemennya sudah terpenuhi, yakni adanya tindakan buruk yang dilandaskan pada sebuah identitas yang pada kasus ini ialah minoritas seksual,” kata Yohan Misero kepada reporter Tirto, Rabu (23/1/2019).
Menurut Yohan, TNI sebaiknya tak ikut campur lantaran rencana penanganan terhadap LGBT ini tak berkaitan dengan ancaman pertahanan dan keamanan yang menjadi tugas dan tanggung jawab TNI.
“Justru jika TNI bekerja samanya dengan pemerintah daerah dalam melakukan hal ini, jelas pelanggaran HAM,” kata Yohan.
Dalam riset yang dilakukan LBH Masyarakat yang terbit pada Mei 2018, terjadi persekusi terhadap 973 korban. Rinciannya: 715 korban dari kelompok transgender, 225 korban dari kelompok gay, 29 korban dari kelompok lesbian, dan 4 orang lainnya. (PDF).
Saat diklarifikasi, Kepala Penerangan Korem (Kapenrem) Sumatera Barat, Mayor Hasanuddin Daulay mengaku belum mengetahui informasi terkait rencana pelibatan TNI dalam menangani kelompok LGBT.
“Saya belum monitor pernyataan Wali Kota [Mahyeldi],” kata Daulay kepada reporter Tirto, Rabu (23/1/2019).
Ia juga mengklarifikasi TNI tak pernah menindak LGBT lantaran itu merupakan ranah Dinas Sosial. “Kami tidak menangkap siapa-siapa. Itu urusan dinas sosial. Yang pernah dibina TNI itu anak jalanan/ anak punk,” kata Daulay menyanggah rencana pelibatan TNI.
Merintangi Penuntasan Masalah HIV
Peneliti Human Right Watch (HRW) Andreas Harsono sependapat dengan Yohan. Rencana ini bahkan dianggap Andreas sebagai upaya membuat masyarakat tak percaya kepada institusi negara.
“Ini bukan saja diskriminasi dan intimidasi terhadap warga negara tak bersalah, tapi juga akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, memperburuk pelayanan terhadap masyarakat, terutama kesehatan dan administrasi," kata Andreas kepada reporter Tirto.
Tak hanya itu, Andreas menilai rencana ini merintangi upaya perlawanan terhadap HIV/AIDS. Ini lantaran kelompok LGBT memilih menghindari layanan pencegahan dan penanganan HIV karena khawatir mendapat persekusi akibat stigma sosial yang selalu didengungkan.
Argumentasi Andreas ini didukung laporan riset yang dilakukan HRW. Dalam riset tersebut ditemukan, rata-rata HIV di kalangan laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) meningkat lima kali lipat dari 5 persen pada 2007 menjadi 25 persen pada 2015 (PDF).
Laporan itu juga menjelaskan sepertiga dari keseluruhan jumlah penularan baru terjadi pada LSL meskipun sebagian besar penularan HIV di Indonesia terjadi lewat hubungan heteroseksual.
Situasi ini jelas mempersulit penyuluhan kesehatan masyarakat kepada kelompok warga yang paling berisiko, serta memperbesar peluang penyebaran virus tersebut lebih jauh, kata Human Rights Watch.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Mufti Sholih