tirto.id - Apa perbedaan bulan Suro dan Muharram? Masyarakat yang mengidentikkan malam Satu Suro sebagai malam yang mistis dan angker. Mengapa begitu? Pada dasarnya, Suro merupakan bulan pertama dalam kalender Jawa-Islam.
Bulan ini adalah penyebutan orang Jawa terhadap Muharam dalam kalender Hijriah. Sultan Agung pemimpin Kerajaan Mataram Islam yang mencetuskannya.
Muharam mendapat julukan "bulan Allah" (syahrullah) dan merupakan salah satu bulan yang dimuliakan dalam Islam. Bulan Muharam juga dikenal sebagai bulan bersejarah bagi nabi-nabi. Bulan pertama dalam hitungan kalender Qamariyah ini terdapat anjuran amalan sunah, di antaranya adalah puasa dan memperbanyak sedekah.
“Kata ‘Suro’ merupakan sebutan bagi bulan Muharam dalam masyarakat Jawa. Kata tersebut berasal dari kata ‘asyura’ dalam bahasa Arab,” tulis Muhammad Sholikhin dalam Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa (2010).
Sultan Agung sebagai penguasa Mataram yang kekuasaannya sangat luas di Jawa, tak serta-merta menggunakan penanggalan Hijriah. Ia justru memadukannya dengan tarikh Saka yang selama itu masih digunakan.
“Agar perayaan-perayaan keagamaan dapat diadakan bersamaan waktu dengan seluruh umat Islam, diputuskan untuk menerima asas tahun kamariah yang dibagi menjadi dua belas bulan sinodik dengan masing-masing 29 hari,” terang Denys Lombard.
Keputusan ini diambil pada tahun 1555 Saka yang bersamaan dengan tahun 1043 Hijriah dan 1633 Masehi.
Malam Satu Suro juga berkaitan dengan peristiwa pada 10 Muharam 61 Hijriah saat Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad, dibunuh pasukan Yazid bin Muawiyah dalam konflik politik yang berkepanjangan. Hari itu disebut sebagai hari Asyura.
Menurut Prapto Yuwono, pengajar Sastra Jawa di Universitas Indonesia, meski Suro diambil dari kata “Asyura”, tapi Sultan Agung tak pernah menjelaskan alasannya dalam menamai bulan tersebut.
Bulan Suro: Beda 1 Muharram dan 1 Suro
Secara umum, 1 Muharram dan Malam 1 Suro adalah sama. Yang membedakan keduanya hanyalah dalam hal penyebutan dan tradisi yang mengiringinya. Jika 1 Muharram adalah penanda tahun baru hijriah, 1 Suro adalah tradisi serupa dalam budaya Jawa.
Sebagaimana dicatat Muhammad Solikhin dalam Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa (2010), kata “Suro” sendiri berasal dari bahasa Arab “Asyura” yang artinya sepuluh. Yang dimaksud dengan Asyura adalah hari ke sepuluh pada bulan Muharram.
Sementara dalam hal tradisi, jika dalam Islam malam 1 Muharram dimaknai dengan penuh kesucian, budaya Jawa justru sebaliknya. Malam 1 Suro dimaknai sebagai malam sakral, penuh mistis. Sehingga dalam menyambutnya, berbagai upacara-upacara peringatan penuh klenik dilakukan.
Malam 1 Suro dimaknai sebagai malam mistis tak terlepas dari beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Muhammad Solikhin, misalnya, berpandangan, faktor terpenting yang menyebabkan bulan Suro dianggap sakral adalah budaya keraton.
Ia menulis, keraton sering mengadakan upacara dan ritual untuk peringatan hari-hari penting tertentu, salah satunya peringatan Malam 1 Suro. Peringatan ini pada akhirnya terus diwariskan dan dilanjutkan dari generasi ke generasi.
Lebih lanjut, terkait mengapa Malam 1 Suro dimaknai secara mistis, pengajar Sastra Jawa di Universitas Indonesia Prapto Yuwono menjelaskan, hal ini adalah imbas dari politik kebudayaan dari Sultan Agung dari Kerajaan Mataram Pada kurun 1628-1629.
Kala itu, Mataram mengalami kekalahan dalam penyerbuannya ke Batavia, yang akhirnya membuat Sultan Agung melakukan evaluasi. Setelah penyerbuan itu pula, pasukan Mataram yang menyerang Batavia telah terbagi ke dalam pelbagai keyakinan seiring semakin masifnya Islam di tanah Jawa.
Kondisi tersebut akhirnya membuat pasukan Mataram tidak solid. Kemudian, untuk merangkul semua golongan yang terbelah, Sultan Agung menciptakan kalender Jawa-Islam dengan pembauran kalender Saka dari Hindu dan kalender Hijriah dari Islam.
Kesakralan Malam 1 Suro juga juga tak terlepas dari komposisi sosiologis masyarakat Jawa yang masih sangat bersifat paganistik Hindu.
Bahkan, nuansa animisme dan dinamisme masih terlihat sangat kental. Hal tersebut terlihat dengan adanya berbagai macam sesaji yang digunakan dalam pelaksanaan prosesi peringatan.
Tradisi Malam Satu Suro di Keraton Yogyakarta dan Solo
Wahyana Giri dalam Sajen dan Ritual Orang Jawa (2010) mencatat, Keraton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta mempunyai tradisi memberi sajen setiap bulan yang diperuntukkan bagi sejumlah tokoh.
Pada bulan Suro, sajen atau uborampe yang dilaksanakan pada tanggal 8 atau hari Jumat, berupa bubur yang dicampur dengan 9 bahan seperti jagung, kacang, gudhe, biji asam, kemangi, kacang hijau, lada putih, dan biji buah delima. Uborampe ini dimaksudkan untuk mumule Baginda Husain.
Husein adalah putra Ali dan cucu Nabi Muhammad dalam peristiwa Karbala pada hari Asyura. Artinya, peristiwa tersebut bisa jadi memang memengaruhi atau setidaknya menginspirasi masyarakat Jawa.
Permulaan bulan Suro, tepatnya pada malam satu Suro, berkembang pemahaman masyarakat yang mengidentikkan bahwa malam tersebut adalah malam yang mistis dan angker. Kepercayaan yang sudah lama tertanam inilah yang kemudian pada zaman kiwari diangkat ke dalam budaya populer berupa film dengan menampilkan kisah-kisah horor.
“Bulan Suro bagi kebanyakan orang diartikan sebagai bulan yang sangar, menyeramkan bahkan diidentikkan sebagai bulan yang penuh bencana dan laknat, bulannya para hantu, lelembut, setan, dan sejenisnya,” tulis Wahyana Giri dalam Sajen dan Ritual Orang Jawa (2010).
Ia menjelaskan, di lingkungan Keraton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, momen malam satu Suro justru dimaknai sebagai yang malam yang suci atau bulan penuh rahmat. Pada malam tersebut mereka mendekatkan diri kepada Tuhan dengan membersihkan diri melawan segala godaan hawa nafsu.
Secara turun-temurun, mereka menggelar pelbagai tradisi laku tirakat. Salah satunya selamatan khusus selama satu minggu berturut-turut dan tidak boleh berhenti.
Prapto Yuwono, pengajar Sastra Jawa di Universitas Indonesia menjelaskan korelasi antara kedua hal ini, yakni mendekatkan diri kepada Tuhan dengan kepercayaan malam tersebut menakutkan.
Menurutnya, kekalahan Mataram di Batavia pada warsa 1628 dan 1629 membuat Sultan Agung melakukan evaluasi. Pasukan Mataram yang menyerang Batavia, imbuhnya, telah terbagi ke dalam pelbagai keyakinan seiring semakin masifnya Islam di tanah Jawa.
Kondisi ini menurutnya bisa jadi membuat pasukan Mataram tidak solid. Untuk merangkul semua golongan, Sultan Agung menciptakan kalender Jawa-Islam dengan pembauran kalender Saka dari Hindu dan kalender Hijriah dari Islam.
“Kenapa Sultan Agung menciptakan tahun Jawa-Islam, karena ada satu peristiwa sejarah yang membuat Sultan Agung miris, sedih, dan malah ia berpikir secara keseluruhan bahwa ada yang salah dengan kebudayaan Jawa […] Dia ciptakan tahun baru yang digabungkan antara tahun Saka Hindu dengan tahun Islam. Di sinilah Sultan Agung berharap, dengan berubahnya konsep, semua kepedihan itu hilang, musnah,” ungkapnya kepada Tirto.
Sejumlah catatan yang mengaitkan bulan Suro dengan peristiwa Karbala, Yowono memperkirakan peristiwa kesedihan yang menimpa cucu Nabi Muhammad itu dikaitkan dengan kesedihan Mataram yang mengalami kekalahan dalam dua kali penyerbuannya ke Batavia.
Ia menambahkan, Sultan Agung juga mencanangkan pada malam permulaan tahun baru itu untuk prihatin, tidak berbuat sesuka hati dan tidak boleh berpesta. Masyarakat harus menyepi, tapa, memohon kepada Tuhan.
Untuk menghormati leluhur dan sebagai bentuk evaluasi, imbuh Yuwono, pada malam tersebut juga pusaka-pusaka dicuci, dibersihkan, seiring dengan kehidupan spiritual yang disucikan kembali.
“Maka bagi orang Jawa malam satu Suro itu menjadi malam yang sangat sakral. Dan di situlah pertemuan antara dunia manusia dengan dunia gaib. Karena pusaka-pusaka dicuci, didoakan, diselamatkan kembali,” tuturnya.
Editor: Agung DH
Penyelaras: Yulaika Ramadhani