tirto.id - Di tepi pesisir Indragiri Hilir, Riau, tepatnya di Desa Kuala Selat, Kecamatan Kateman, hamparan hijau perkebunan kelapa kini berubah menjadi bentangan lumpur asin dengan sisa-sisa pohon kelapa kering. Empat setengah tahun lalu, Januari 2021, tanggul penahan air laut jebol, sehingga air laut membanjiri kebun-kebun kelapa.
Perkebunan kelapa seluas 18 ribu hektar itu dulunya menyokong kehidupan warga. Satu petak kebun seluas 2,5 hektar mulanya bisa menghasilkan 15 ribu butir kelapa setiap tiga bulan, dengan harga Rp5 ribu per kilo. Jadi secara kasar, setiap petak kebun kelapa di kawasan ini dulu bisa menyumbang kira-kira Rp15 juta saban 3 bulan.
Kedatangan air laut ke kebun-kebun kelapa membuat banyak pekerja perkebunan kehilangan penghidupan. “Mereka beralih profesi menjadi nelayan tangkap: menangkap udang, kepiting, ikan, dan mencari kerang darah,” ungkap Nurjaya, Kepala Desa Kuala Selat, Kamis (25/9).
Nurjaya mengatakan, kondisi tanah sudah terlalu asin dan berlumpur untuk kembali ditanami kelapa, sehingga satu-satunya tanaman yang bisa dijadikan sumber penghidupan adalah mangrove.
Nurjaya juga berharap agar lahan tersebut dikonversi menjadi hutan mangrove agar bisa menyaring air laut dan menjaga tanggul yang masih tersisa di belakang perkebunan warga.

Dalam merespons kondisi kritis tersebut, Kementerian Kehutanan menginisiasi program M4CR (Mangroves for Coastal Resilience Project). Riau menjadi salah satu lokasi prioritas rehabilitasi. Provinsi ini memiliki 231.438 hektare hutan mangrove dengan 12.234 hektar area rusak yang perlu dipulihkan.
Arif Adi Suhastyo, Kepala Seksi Rehabilitasi Hutan dan Lahan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Indragiri Rokan, menyebut rehabilitasi mangrove bukan sekadar penanaman bibit. “Ini investasi jangka panjang untuk ketahanan pesisir dan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya, Kamis (25/09/2025).
Proyek rehabilitasi mangrove di 429 hektare di pesisir Kuala Selat itu menjadi benteng alami terhadap gerusan air laut. Didukung lembaga internasional seperti Bank Dunia, M4CR di provinsi Riau sendiri menargetkan rehabilitasi seluas 5.858 hektar pada tahun 2027. Target penanaman tersebar di kabupaten/kota pesisir seperti Indragiri Hilir, Meranti, Pelalawan, Bengkalis, dan Rokan Hilir.
Arif Fahrurozi, PPIU Manager M4CR Provinsi Riau, menyebut saat ini warga telah menanam 5,3 juta batang mangrove di atas lahan seluas 1.683 hektar. Di Kuala Selat, langkah awal rehabilitasi dijalankan dalam dua fase: tahun pertama seluas 124 hektar dan fase berikutnya 324 hektar.
Program penanaman mangrove ini tidak hanya untuk memulihkan ekosistem, tetapi juga melindungi sisa kebun kelapa yang belum rusak, membuka mata pencaharian baru berbasis mangrove seperti olahan pangan, wisata, produk mangrove hingga budidaya kepiting bakau.
Perempuan Jadi Garda Depan Rehabilitasi Mangrove
Dampak abrasi bukan sekadar kerusakan lingkungan, tetapi juga berpengaruh langsung terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat secara jangka panjang.
Jebolnya tanggul laut akibat abrasi membuat banyak anak dari warga di Desa Kuala Selat berhenti sekolah. Ketika rehabilitasi digencarkan, perempuan ambil peranan. Tahun 2024, 378 perempuan di Riau terlibat aktif dalam kegiatan penanaman, pemeliharaan, dan pembibitan mangrove.
Salah seorang perempuan yang aktif dalam rehabilitasi mangrove adalah Nur Rizawati, Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Mekar Bersama, Kuala Selat. Ia memulai perubahan dengan mengajak ibu-ibu di desanya untuk ikut serta dalam program mangrove, meskipun awalnya mereka enggan.

“Ibu-ibu berpikir mangrove ini hanya pekerjaan bapak-bapak. Setelah saya ikut, saya bilang kita juga bisa. Kita bisa andil dalam melestarikan mangrove,” cerita Riza pada wartawan (25/09/2025).
Tak hanya itu, bersama perempuan-perempuan lain, Riza terlibat dalam persiapan pembibitan, pembersihan lahan, penanaman bibit, merawat, hingga memonitor pertumbuhan.
Para perempuan KTH Mekar Bersama juga berperan aktif dalam pemberdayaan produk lokal berbasis hasil laut dan mangrove. Mereka mengolah kerupuk ikan, olahan laut, hingga membuat berbagai kerajinan. Dengan adanya model upah Hari Orang Kerja (HOK), M4CR memberi mereka penghasilan langsung melalui aktivitas konservasi.
“Yang dulu hanya di rumah, sekarang bisa bekerja dan menghasilkan uang,” ujar Riza.
Melalui skema demikian, di Desa Kuala Selat, perempuan telah bertransformasi dari sekadar pekerja informal yang hanya membantu suami, menjadi mitra aktif dalam restorasi ekosistem mangrove dan ekonomi lokal.

Meski begitu, tantangan yang dihadapi para perempuan ini tidaklah sedikit. Di lapangan, mereka sering kali berhadapan dengan risiko digigit ular berbisa, disengat lebah, digerayangi koloni semut, hingga didatangi gelombang pasang tiba-tiba. Jam kerja di zona pasang yang sangat bergantung ritme alam, kadang memaksa mereka bekerja dalam kondisi ekstrem.
Pada saat bersamaan, modal usaha untuk memperluas kapasitas produksi olahan mangrove menjadi salah satu kebutuhan mendesak bagi mereka. Riza mengharapkan adanya infrastruktur pemecah ombak agar abrasi tak kembali mengancam bibit dan lahan konservasi.
Restorasi mangrove memang memiliki manfaat ekosistem yang besar. Mangrove adalah barier alami terhadap gelombang dan abrasi. Selain menyaring intrusi air laut dan menjaga kesuburan tanah di belakangnya, hutan mangrove bisa menjadi habitat bagi biota laut yang kemudian dimanfaatkan sebagai sumber penghidupan alternatif.
Secara global, mangrove juga berperan penting dalam mitigasi perubahan iklim. Sebagai ekosistem yang menyimpan banyak karbon, kehilangan mangrove menyebabkan pelepasan karbon ke atmosfer dan berdampak pada perubahan iklim. Karenanya, restorasi mangrove adalah investasi ekologis sekaligus ekonomi jangka panjang.
Namun demikian, kegiatan rehabilitasi tidak selalu berjalan mulus. Perempuan KTH Mekar Bersama biasanya turun ke lapangan berlumpur memanggul ember bibit yang akan ditanam di zona pasang. Bukan hal mengejutkan jika beberapa bibit tersapu gelombang selepas ditanam, terutama saat apitan musim hujan datang tiba-tiba. Pasang surut yang ekstrem juga terkadang membingungkan warga.
Untuk mencegahnya, M4CR memberikan solusi penanaman dengan metode rumpun berjarak. Rumpun berjarak merupakan metode penanaman mangrove dengan mengelompokkan bibit dalam rumpun-rumpun kecil yang berjarak satu sama lain, menggunakan bantuan pagar bambu sebagai penahan ombak, sampah, atau kayu mati agar tidak merusak bibit mangrove yang baru ditanam.
“Kebun kelapa masyarakat hilang karena intrusi air laut. Melalui M4CR, kami memulihkan ekosistem sekaligus membuka peluang ekonomi baru,” ungkap Joko Yuni Purwanto, Kepala UPT KPH Mandah, Kamis (25/9/2025).

Kini, 27 kelompok masyarakat di Riau mendapat dukungan usaha berbasis mangrove, dari olahan makanan hingga kerajinan, agar mereka tak hanya menanam, tetapi juga menikmati hasil ekonomi yang ditimbulkan konservasi.
Dalam kondisi demikian, Nurjaya menegaskan pentingnya program M4CR.
“Lahan kami sudah tak bisa jadi kebun lagi, tanahnya asin dan berlumpur. Satu-satunya yang bisa hidup hanya mangrove. Karena itu kami minta sebagian lahan dijadikan hutan kembali. Mangrove bisa jadi bemper, menyaring air laut supaya tanggul kebun di belakang tidak hancur lagi,” katanya.
Bagi Rizawati dan para perempuan pesisir, rehabilitasi mangrove adalah urusan mendasar dan sebab itu sangat fundamental. Mangrove adalah benteng hijau, tempat bertautnya harapan memulihkan tanah serta memastikan anak-anak di Kuala Selat tetap punya masa depan.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis
Masuk tirto.id


































