tirto.id - Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar memaparkan sejak 2014 hingga per 31 Agustus 2017 total defisit yang dialami BPJS Kesehatan mencapai Rp17 triliun. Angka defisit ini dinilai sebagai dampak dari adanya penerimaan iuran yang kurang optimal dan pembiayaan yang belum terkendali.
Dalam diskusi bertemakan "BPJS Tekor? Bagaimana Mengatasinya?" di Free Function Hall Hotel Ibis Harmoni, Jakarta Pusat, Timboel mengungkapkan bahwa defisit berkaitan dengan input dan output (pembiayaan). Penyebab defisit itu, terutamanya dari sisi input, yaitu iuran.
Dalam laporan keungan BPJS Kesehatan yang dipaparkan Timboel, dana jaminan sosial terhitung untuk Januari 2017 hingga per 31 Agustus 2017 defisit mencapai Rp8,52 triliun.
Sementara itu, per 30 Juni 2017, iuran yang bisa diterima BPJS Kesehatan selama satu semester hanya sebesar Rp35,96 triliun, namun pembiayaannya sebesar Rp41 triliun.
Dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan BPJS Kesehatan, ia menambahkan, pendapatan iuran yang direncanakan oleh direksi selama satu semester sebesar Rp40,4 triliun, namun iuarannya hanya Rp35,96 triliun, sehingga selisihnya Rp5 triliun.
“Jadi perkiraan Menteri Kesehatan, terhitung dari September sampai Desember 2017 nanti defisit akan bertambah menjadi Rp10 trliliun. Tapi saya berpikir ini bisa lebih dari Rp10 triliun, jika kondisinya tetap seperti ini,” tuturnya.
Timboel berpendapat, yang dapat memaksimalkan iuran adalah Peserta Penerima Upah (PPU) yang membayar 5 persen (4 persen dari pengusaha dan 1 persen dari pekerja).
PPU dianggap sebagai sumber pendapatan yang baik, karena merupakan pekerja-pekerja formal yang income pasti. Selain itu, mereka juga orang-orang yang relatif sadar dengan kesehatan sehingga utilitasnya rendah dibandingkan dengan PBB peserta mandiri.
"Hal itulah yang tidak dikejar, ini yang tidak dikerjakan hukum. Akhirnya persoalan kepesertaannya rendah."
Di sisi lain, Timboel menyatakan bahwa iuran Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebesar Rp23.000 per orang per bulan merupakan hambatan untuk meningkatkan pendapatan (iuran) BPJS Kesehatan.
Untuk itu, ia menyarankan pemerintah melihat kembali Perpres Nomor 111 Tahun 2013 atas perubahan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.
"Di Peprres tersebut Pasal 16i sangat jelas, iuran PBI harus ditinjau dua tahun sekali. Artinya APBD tahun 2018 harus dinaikan dari Rp23.000,” sambung Timboel.
Tahun 2014 – 2015 iuran PBI sebesar Rp19.225 per orang per bulan, di tahun 2016 naik menjadi Rp23.000 per orang per bulan, namun 2017 tetap Rp23.000.
Sementara itu, BPJS Kesehatan menekankan instansinya bukan sebagai badan usaha sehingga tidak mengenal istilah kerugian dan keuntungan. Walaupun pendapatan BPJS Kesehatan sebagian besar berasal iuran, besarannya memang berbeda.
"Bahwa tiap tahun, pada saat BPJS Kesehatan menganggarkan atau menyusun anggaran APBN, bukan BPJS Kesehatan sendiri yang buat, namun dikomunikasikan kepada kementrian dan lembaga yang terkait, seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, disitulah kita paparkan fakta berdasarkan data yang kita miliki,” papar Staf Ahli Direksi Bidang Komuikasi dan Partisipasi Masayarakat BPJS Kesehatan, Irfan Humaidi.
Lebih jauh, Irfan menanggapi usulan yang disampaikan BPJS Watch. Menurutnya pendapatan untuk meningkatkan ektabilitas BPJS Kesehatan dilakukan dengan kendali mutu dan kendali biaya, termasuk salah satunya lewat pendanaan pemerintah.
"Jadi apa yang dimiliki BPJS dan kemudahan-kemudahan peserta itu juga harapan meningkatkan jumlah peserta. Kalau meningkatkan jumlah peserta berarti meningkatkan pendapatan. Di sisi lain, jika iurannya belum stabil justru peningkatan peserta berpotensi adanya peningkatan biaya juga," tutup Irfan
Penulis: Suparjo Ramalan
Editor: Yuliana Ratnasari