tirto.id - Harga telur ayam di level peternak hingga saat ini masih ada pada kisaran Rp15.800/kg. Padahal menurut Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 7 Tahun 2020 mengenai Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen, harga acuan pembelian telur ayam di tingkat peternak ditetapkan Rp19.000-Rp21.000/kg.
Ketua Paguyuban Peternak Rakyat Indonesia (PPRN) Alvino Antonio menjelaskan pemerintah perlu segera memperbaiki tata niaga ayam ras pedaging dan telur. Pasalnya saat ini harga pokok produksi (HPP) tinggi, namun harga jual ayam hidup dan telurnya murah sehingga sangat merugikan para peternak ayam mandiri.
“Kami meminta [pemerintah] naikkan harga ayam hidup dan telur minimal di HPP Peternak Rakyat Mandiri Rp20.000/kg. Harga DOC dan Pakan sesuaikan dengan harga acuan Permendag No.07/2020. Kami meminta pemerintah melakukan penyerapan ayam hidup dan telur disaat harga Farm Gate dibawah HPP Peternak Rakyat Mandiri sesuai Permendag No.07/2020 Pasal 3 ayat (1),” jelas Alvino kepada Tirto, Selasa (12/10/2021).
Adapun anjloknya harga telur di pasaran dipicu oleh melimpahnya produksi telur di dalam negeri saat ini.
Ketua Umum Asosiasi Peternak Layer Nasional, Ki Musbar Mesdi menjelaskan harga telur di tingkat Sentra Peternak Blitar anjlok menjadi hanya Rp14.400-Rp14.600/kg.
Anjloknya harga telur diperparah dengan meroketnya harga pakan jadi dan jagung harganya pada kisaran Rp6.800/kg dari harga eceran tertinggi jagung Rp3.150 Peraturan Menteri Perdagangan terbaru Nomor 7 Tahun 2020.
"Dengan kondisi harga pakan jadi saat ini Rp6.500-Rp6.800/kg membuat harga pokok produksi per kilogram telur menyentuh Rp22.000/kg. Kerugian di level peternak ada di kisaran Rp5.000/kg," terang dia.
Ratusan peternak beserta BEM dari empat universitas menggelar aksi damai di sejumlah lokasi di Jakarta, Senin (11/10/2021). Mereka muntuk menuntut kenaikan harga telur seiring dengan harga telur yang kian anjlok di tingkat peternak.
Massa menyampaikan tuntutan di sejumlah lokasi, yakni Lapangan IRTI Monas, Kementerian Perdagangan, Komplek DPR/MPR Senayan, Kementerian Sosial, Kantor Charoen Pokphand Indonesia, Japfa dan Kementerian Pertanian di Ragunan.
Adapun tuntutan utama dari para peternak adalah pemerintah melalui Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan agar dapat menyerap telur peternak rakyat minimal 1.000 ton selama minimal satu minggu.
Para peternak mengaku harga telur di kalangan peternak mencapai Rp12.500 sampai Rp13.500 atau jauh di bawah Harga Pokok Produksi (HPP) telur berkisar Rp21.500 hingga Rp22.500.
Dilansir dari Antara, Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) meminta pemerintah untuk mengkaji kembali kebijakan stabilisasi harga ayam hidup atau livebird dan telur agar bisa berdampak signifikan terhadap kesejahteraan peternak rakyat.
BPS mencatat angka konsumsi ayam masyarakat di masa normal sebesar 12,79 kg/kapita/tahun. Konsumsi ayam turun menjadi 9.08 kg/kapita/tahun di masa pandemi Covid-19. Melihat data supply-demand 2021, data Kementerian Pertanian menyebutkan kebutuhan karkas ayam sebanyak 3.129.660 sedangkan produksi ayam karkas 3.507.499 ton (setelah di-cutting). Sehingga terdapat surplus 377.839 ton (12,46 persen).
"Artinya setelah di-cutting pun masih terjadi oversupply. Seharusnya pemerintah mengurangi jumlah kuota impor GPS sebesar 30 persen ke masing-masing perusahaan, bukan melakukan pemusnahan ayam DOC FS yang berpotensi melanggar animal welfare," kata Ketua Pataka Ali Usman dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Senin (12/10/2021).
Pataka juga menyebut telur ayam juga terjadi over supply karena beberapa perusahaan perunggasan besar membudidayakan ayam petelur. Padahal, kata Ali, menurut Permentan 32/2017 pelaku usaha integrasi melakukan budidaya hanya 2 persen sedangkan 98 persen ditujukan untuk peternak rakyat.
Ali mengatakan saat ini pelaku usaha integrasi menguasai ayam petelur mencapai 15 persen secara nasional. Pasokan telur berlebih yang menyebabkan harga telur anjlok sejak awal September membuat banyak peternak ayam melakukan afkir dini karena tidak mampu menanggung kerugian yang berkepanjangan.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Bayu Septianto