tirto.id - Satu malam di musim semi 1547. Orang-orang sedang merayakan penobatan Raja Henry II sebagai raja baru Perancis. Ia diberikan hadiah oleh rakyatnya sebagai bentuk doa baik. Hadiah-hadiah itu berupa hewan-hewan dari segala penjuru dunia yang tak pernah dilihat di seluruh kerajaan Perancis sebelumnya.
Satu-satunya yang begitu mencuri perhatian Sang Raja malam itu ialah sesosok makhluk serupa manusia-serupa monyet yang dikurung dalam kandang besi. Makhluk itu membangkitkan ingatan orang-orang yang melihatnya pada mitos “Manusia Liar”—legenda tentang makhluk buas berbulu lebat di sekujur tubuhnya yang tinggal di hutan dan suka makan anak-anak. Legenda itu terekam sebagai dongeng sebelum tidur pada masa itu, gambarnya juga diabadikan dalam sejumlah lukisan. Tapi Raja Henry tak pernah melihat langsung bentuk si Manusia Liar secara langsung seperti malam itu.
Ia putuskan untuk mengurung si Manusia Liar di tempat teraman di kastilnya, yakni di ruang bawah tanah. Di sana, Sang Raja ingin mempelajari makhluk itu untuk membuktikan sendiri mitos-mitos yang beredar.
Betapa terkejut sang raja ketika ternyata makhluk itu tak sebuas yang ia kira. Manusia Liar yang dihadiahkan padanya itu ternyata masih anak-anak dan punya nama: Pedro Gonzales. Ia pun memutuskan untuk mengajari si Manusia Liar jadi manusia yang sebenarnya. Pedro Gonzales lalu diberi nama pribumi: Petrus Gonzalvus. Ia diajari membaca, bahasa lain, dan segala hal yang diajarkan pada bangsawan pada masa itu.
Ketika Raja Henry II mangkat, nasib Gonzalvus dan tahta Kerajaan Prancis diambil alih Catherine de Medici, ratu yang terkenal kejam. Gonzalvus dinikahkan oleh sang Ratu pada seorang gadis jelita anak pelayan kerajaan yang juga bernama Catherine. Alasan pernikahan itu bukan agar Gonzalvus bahagia selamanya, melainkan supaya ia bisa beternak Manusia Liar.
Rupa Gonzalvus memang unik. Tubuhnya dipenuhi bulu sampai ke muka. Catherine sendiri, sang calon istri, tak tahu akan dinikahkan Ratu dengan siapa sampai hari pernikahan itu tiba. Ia tentu saja terkejut setengah mati ketika tahu kalau pria yang akan jadi kawan hidup selamanya adalah Gonzalvus. Tapi Catherine tak bisa menolak, kecuali ia ingin berakhir mati dipenggal Sang Ratu.
Meski awalnya takut, tapi kebaikan hati dan sikap lembut Gonzalvus akhirnya membuat Catherine jatuh cinta pada sang suami. Mereka akhirnya punya anak pertama. Tak seperti keinginan Sang Ratu, anak Gonzalvus dan Catherine lahir sehat walafiat seperti sang ibu. Pun begitu dengan anak kedua. Sang Ratu mulai frustrasi dan mengancam hidup pasangan itu jika masih gagal memberikannya anak Manusia Liar.
Gonzalvus dan Catherine rupanya berumur panjang, sebab anak ketiga sampai ketujuhnya lahir persis seperti sang ayah. Bulu lebat hadir di sekujur tubuh mereka.
Anak-anak itu di kemudian hari dipisahkan dari orang tuanya dan oleh Sang Ratu dijadikan hadiah kerajaan untuk bangsawan-bangsawan tetangga. Gonzalvus dan Catherine tak kuasa menolak. Mereka sendiri bahkan sempat jadi tontonan satu negeri saat Sang Ratu menitahkan mereka untuk berkeliling wilayah kekuasaan.
Pasangan ini akhirnya wafat di pengasingan di Italia. Gonzalvus diperkirakan meninggal pada tahun 1618, 40 tahun setelah pernikahannya dengan Catherine. Sementara sang istri wafat pada 1623. Kisah ini kemudian didokumentasikan Smithsonian Channel pada 2016 lalu.
Kisah Beauty and the Beast Zaman Kini
Konon, kisah inilah yang menginspirasi Gabrielle-Suzanne Barbot de Villeneuve menulis novelnya yang paling laris berjudul La Belle et la Bête atau Beauty and The Beast atau Si Cantik dan Si Buruk Rupa, yang hingga kini masih jadi dongeng pengantar tidur di seluruh dunia.
Kisah cinta Gonzalvus dan Catherine ia gubah menjadi kisah cinta antara Si Cantik yang terkurung dalam kastil Si Buruk Rupa, yang kelak akan jadi pangeran tampan selepas diciumnya. Bulan ini, kisah itu kembali diangkat ke layar lebar untuk ketiga kalinya dalam sejarah, penuh dengan kontroversi yang ternyata tak patut dihebohkan.
Sayangnya, kisah hidup Gonzalvus dan Catherine memang tak berakhir seindah kisah Si Cantik dan Si Buruk Rupa.
500 tahun selepas roman Gonzalvus dan Catherine berakhir, ada kisah cinta kurang-lebih serupa yang juga dialami Larry Gomez, warga keturunan Meksiko dari era ini. Ia lahir dengan kondisi persis Gonzalvus. Tapi, sedikit lebih beruntung dari Gonzalvus, karena Gomez lahir di zaman ketika kondisi tersebut sudah dikenali oleh dunia medis modern.
Apa yang menimpa Gomez dan Gonzalvus disebut hipertrikosis atau hypertrichosis yang dalam bahasa Latin berarti “terlalu banyak rambut”. Sederhananya, ia adalah kelainan kromosom yang membuat rambut tumbuh di bagian tertentu tubuh yang mestinya tak ditumbuhi rambut secara lebat. Penyakit ini langka, baru ada kurang dari 100 kasus yang tercatat di seluruh dunia.
Kelainan seperti yang dialami Gomez tentu saja jadi bahan gunjingan orang-orang sekitarnya. Namun orang-orang sudah tidak terlalu terkejut karena seorang sepupunya sudah lahir lebih dulu dalam kondisi serupa.
“Tentu saja ada olok-olokan, dan tak semua orang mengerti. Tapi sepupuku lebih dulu lahir. Jadi saat aku lahir, orang-orang sudah tak seterkejut itu lagi,” ungkapnya.
Gomez sendiri cukup percaya diri dengan kondisinya. Ia merasa tak ada yang berbeda dengan orang-orang kebanyakan, kecuali perilaku orang-orang itu padanya. Seperti Gonzalvus, Gomez juga menemukan cintanya, dan bahkan punya seorang anak bernama Micheal yang terlahir sehat tanpa hipertrikosis. Sayang pernikahan pertamanya kandas, namun ia kembali menemukan cintanya September lalu, saat menikahi Alicia Martinez.
Problem yang Belum Terpecahkan
Hipertrikosis sendiri hingga sekarang belum ada obatnya. Jumlah pengidapnya yang langka membuat perkembangan riset tentang penyakit ini di dunia medis menjadi lambat.
Profesor Pragna Patel dari University of Southern California jadi salah satu peneliti yang fokus pada penyakit ini. Salah satu perkembangan yang mereka tahu adalah bahwa hipertrikosis terjadi sejak dalam kandungan. Sebab pindahnya sekeping DNA ke kromosom lain yang bukan induknya, sehingga membuat informasi yang dimuat dalam DNA tersebut salah dibaca tubuh. Hal ini yang menyebabkan rambut bisa tumbuh di tempat yang tidak seharusnya.
Dalam jurnal yang dikeluarkan Departemen Dermatologi dari University Hospital of Zurich di Swiss, 2002 lalu, para ilmuwan menemukan cara untuk membuang rambut yang tumbuh di wajah pengidap hipertrikosis. Penggunaan laser jadi satu-satunya cara ampuh yang ditawarkan, meski ia sebenarnya tak menghilangkan rambut secara permanen. Serta punya efek samping menimbulkan kanker kulit.
Hingga kini, cara lain yang lebih tak berisiko belum ditemukan. Namun, tampaknya fakta itu tak membuat Larry sedih. Ia yang percaya diri dan optimistis menjalani hidup serta telah menemukan Si Cantiknya, setidaknya membuktikan pesan moral yang terselip dalam kisah setua waktu—tale old as time— Beauty and The Beast: bahwa keindahan yang hakiki bukan terpancar dari rupa menawan, melainkan hati yang hasan.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Zen RS