tirto.id - Selasa (16/10) lalu, seorang gadis usia tujuh tahun dikabarkan diperkosa. Saat itu, gadis yang ternyata adalah korban gempa di Palu itu sedang mengungsi di kota Makassar, Sulawesi Selatan Dikutip dari Tempo, ia diperkosa sekitar pukul 14.00 WITA.
“Korban dibawa ke belakang rumah kosong di sekitar kompleks itu,” ujar Juru Bicara Kepolisian Resor Kota Besar Makassar, AKP Diaritz Felle dilansir Tempo.
Felle menyebutkan bahwa pemerkosaan terhadap siswi kelas 1 SD itu berawal saat korban keluar rumah bersama seorang lelaki berinisial B. Ketika melihat korban, pelaku kemudian memanggilnya dan meminta B pulang.
Setelah memperkosa, pelaku mengantar si gadis pulang. Korban pun menceritakan kejadian yang dialaminya.
Pelaku telah ditangkap oleh polisi dan dikenai Pasal 81 juncto 276D atau Pasal 82 juncto 76E UU Nomor 17 tahun 2016 tentang penetapan perpu tahun 2016 tentang perlindungan anak.
Dilansir dari Antara, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto meminta polisi untuk mengusut tuntas kasus perkosaan anak korban bencana Palu oleh tiga pemuda di Makassar.
“Dalami kasus ini secara utuh, siapa pelakunya dan siapa saja yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung,” kata Susanto kepada Antara.
Selain itu, KPAI juga meminta pihak-pihak terkait untuk menangani korban seperti pemulihan rehabilitasi medis, psikis dan sosial sesuai kebutuhannya.
Susanto mengimbau masyarakat untuk mengawasi anak saat bermain, termasuk di lingkungan tempat tinggal dan pengungsian.
“Pastikan anak aman dan tidak menjadi korban kekerasan seksual,” tegasnya.
Keamanan Anak di Pengungsian
Sebagaimana dicatat oleh UNICEF dalam “Child Protection in Emergencies” (PDF, 2015), perlindungan anak dalam keadaan darurat bertujuan untuk mencegah dan merespons penyalahgunaan, penelantaran, eksploitasi, dan kekerasan terhadap anak pasca-bencana. Panduan UNICEF juga menegaskan bahwa anak-anak berhak menerima semua bantuan kemanusiaan yang diperlukan untuk keselamatan dan kesejahteraan mereka.
Perlindungan anak adalah pekerjaan multi-sektoral yang melibatkan berbagai aktor yang bergerak di bidang layanan sosial, keadilan, penegakan hukum, kesehatan, dan sektor pendidikan. Dalam keadaan darurat, seluruh lembaga terkait harus bekerja sama dan melibatkan kelompok-kelompok masyarakat seperti LSM setempat dan organisasi perlindungan anak.
Tak hanya itu, sebelum bencana melanda, pemerintah wajib melakukan kampanye untuk pencegahan pelanggaran hak anak di pengungsian. Kampanye tersebut bisa dilakukan baik di sekolah maupun ruang ramah anak yang efektif demi membangun kesadaran tentang kekerasan, eksploitasi, pelecehan, dan pengabaian. Pada tahap ini, anak juga perlu diajarkan cara untuk melindungi diri sendiri.
Pemantauan perlindungan anak adalah tahapan penting untuk merancang dan menjamin pelaksanaan kebijakan tanggap darurat. Dalam hal ini, pemerintah Inggris patut dicontoh. Dikutip dari Devex, saat terjadi Topan Haiyan, pemerintah Inggris telah meminta semua mitranya untuk mengukur risiko kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, serta memenuhi kebutuhan khusus mereka. Pemerintah Inggris juga mengutus “spesialis perlindungan” perempuan dan memberikan pasokan khusus seperti lampu darurat dengan pengisi daya ponsel yang terintegrasi untuk memastikan agar perempuan dan anak perempuan aman dan mudah berkomunikasi.
Menteri Pembangunan Internasional Inggris Justine Greening menekankan bahwa wacana perlindungan perempuan dan anak perempuan belum digarap serius dalam perencanaan bencana.
Kepada Devex, Elise Young, Wakil Presiden Kebijakan dan Urusan Pemerintahan di Women Thrive Worldwide, menekankan bahwa pencahayaan di tempat pengungsian harus cukup terang. Selain itu, keperluan mandi dan kakus untuk perempuan dan anak perempuan juga harus aman dan privat. Program distribusi makanan pun wajib dikawal agar tidak disalahgunakan untuk transaksi seks.
Selama di pengungsian, pemerintah juga dituntut untuk membangun ruang ramah anak dan remaja, sehingga anak perempuan bisa bersosialisasi, belajar, bermain, mendapatkan informasi penting tentang kesehatan seksual, dan diajarkan untuk mengenali tanda-tanda bahaya pelecehan seksual.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa sebelum terjadinya bencana, pemerintah semestinya membangun jaringan dan merancang program-program komunitas untuk menangani kekerasan seksual (PDF).
Dalam upaya tersebut, pemerintah juga diwajibkan untuk melibatkan laki-laki, perempuan, dan anak-anak dalam tahapan perencanaan, serta berhati-hati menimbang tiap masukan. Selain itu, penting pula bagi pemerintah untuk menggelar penyuluhan kepada masyarakat tentang layanan perawatan yang tersedia bagi korban pelecehan seksual.
Editor: Windu Jusuf