tirto.id - Presiden PKS Mohamad Sohibul Iman meminta kadernya medengungkan20 persen kampanye negatif dan sisanya 80 persen untuk kampanye positif. Hal itu dia sampaikan dalam Konsolidasi Nasional PKS, di Hotel Bumi Wiyata, Depok, Minggu (14/10/2018).
Kampanye negatif yang dimaksud Iman ialah membeberkan celah atau kelemahan Jokowi-Ma’ruf. Hal itu boleh dilakukan asalkan, kata Iman, ada faktanya.
Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Pipin Sopian menjelaskan, arahan kampanye negatif dari Iman bukanlah untuk menyebar fitnah dan hoaks terhadap pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin di Pilpres 2019.
"Kampanye negatif adalah mengungkap kegagalan-kegagalan lawan Pak Prabowo selama memimpin dengan fakta yang benar," kata Pipin saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (18/10/2018).
Menurut politikus PKS tersebut, arahan melakukan kampanye negatif tersebut dikeluarkan Sohibul lantaran, selama ini masyarakat hanya mengonsumsi informasi-informasi positif saja dari pemerintahan Jokowi.
"Media-media juga hanya memberitakan yang baik-baik saja. Padahal kegagalannya banyak. Jadi ini kritik kepada pemerintah dan media mainstream," tuturnya.
Lagi pula kata Pipin kampanye negatif juga bisa menjadi pendidikan politik bagi masyarakat. Sehingga nanti di pemilu bisa melihat kedua pasangan calon dengan objektif.
Pipin menyatakan, DPP PKS juga telah memberi arahan kepada seluruh kader partainya untuk menyaring terlebih dulu segala informasi yang didapat sebelum membagikannya ke publik. Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi mengarah ke kampanye hitam.
Rawan Terjerumus Hoaks
Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Johnny G Plate menganggap kampanye negatif ala Iman berpotensi berimbas buruk pada demokrasi. Menurutnya hal tersebut tak perlu dilakukan.
"Tidak akan akan memberikan kontribusi untuk peningkatan kualitas demokrasi kita," kata Johnny saat ditemui di Kompleks Parlemen DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (17/10/2018).
Hal serupa juga diungkapkan Jubir TKN Jokowi-Ma'ruf Amin, Tubagus Ace Hasan Syadzily. Menurutnya lebih baik setiap pasangan calon memperkuat visi dan misinya. Sebab menurutnya kampanye negatif erat kaitannya dengan kabar yang susah diuji kebenarannya.
“Konsisten saja dengan cara berpikir masing-masing parpol itu,” kata Ace saat dihubungi reporter Tirto.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ilham Syahputra mengakui kampanye negatif memang tak dilarang. Namun rawan mengarah kepada hoaks yang berujung pelanggaran Pemilu.
"Namanya menyebarkan hoaks itu harus di-banned kalau dia melalui media sosial,” kata Ilham di kantornya, KPU RI, Jakarta Pusat. Meski begitu Ilham mengaku belum paham secara penuh kampanye negatif ala Iman.
Ilham menjelaskan, KPU telah mengatur beberapa larangan dalam berkampanye. Hal itu termuat dalam Peraturan KPU Nomor 23/2018 tentang Kampanye Pemilu 2019.
Pasal 20 butir d peraturan itu menyatakan, materi kampanye harus memberikan informasi yang benar, seimbang, dan bertanggung jawab sebagai bagian dari pendidikan politik. Sementara, butir f pasal itu menyatakan, materi kampanye juga mesti menghormati perbedaan suku, agama, ras, dan golongan di masyarakat.
Selanjutnya pada Pasal 21 butir a PKPU tercantum, materi kampanye wajib disampaikan dengan cara yang sopan, yaitu menggunakan bahasa atau kalimat yang santun dan pantas ditampilkan kepada umum.
Pada butir b pasal yang sama, materi kampanye wajib disampaikan secara tertib, atau tidak menganggu kepentingan umum. Adapun butir c menyatakan, kampanye harus bersifat mendidik atau memberikan informasi yang bermanfaat dan mencerdaskan pemilih.
Batasan-batasan tersebut juga diamini peneliti Perludem, Fadli Ramdhanil. Menurutnya kampanye negatif adalah hal lumrah dilakukan kandidat pemilu asalkan tidak melanggar aturan yang ditetapkan KPU tersebut.
"Jadi harus berdasarkan data dan fakta yang jelas dan pasti, bukan hoaks, memprovokasi, menyerang pribadi dan SARA," kata Fadli kepada reporter Tirto. Fadli menjelaskan, jika kampanye negatif berisi konten-konten tersebut, akan terjerumus pada kampanye hitam atau black campaign yang dilarang KPU.
"Siapapun yang melakukan kampanye hitam, ya harus disanksi," imbuhnya.
Fadli menjelaskan jika kampanye negatif yang dimaksud Iman adalah mencari kelemahan lawan berdasarkan data dan fakta yang riil, maka akan menguntungkan pemilih. Menurutnya dengan begitu pemilih akan lebih rasional menentukan siapa kandidat yang layak dipilih.
"Karena kampanye negatif itu kan mengungkap kelemahan lawan. Seperti rekam jejaknya selama menjadi pejabat publik, pernyataan-pernyataannya yang tidak memihak rakyat, dan lainnya dengan data dan fakta," terangnya.
Fadli pun tak menganggap kampanye negatif sesuai data dan fakta tak akan merusak kampanye damai selama Pilpres 2019. Menurutnya justru berpeluang membuat kedua kandidat menajamkan programnya sendiri.
"Yang membuat gaduh itu kampanye hitam. Kalau kampanye negatif justru memperlihatkan dialektika pemilihan demokratis," jelasnya.
Lagipula, kata Fadli, kampanye negatif juga dilakukan di negara-negara lain yang lebih maju ketimbang Indonesia dan tak berdampak buruk. Seperti misalnya dalam Pemilu Amerika Serikat (AS) 2016 antara Hilary Clinton dan Donald Trump.
Pada Pemilu AS saat itu, kedua kandidat memang sama-sama melakukan kampanye negatif. Misalnya Hilary menyatakan, bahwa program-program Trump berbanding terbalik dengan demokrasi AS.
"Tapi poinnya adalah, kampanye negatif ini harus benar-benar didasari fakta," kata Fadli.
Tak Beri Keuntungan Secara Elektoral
Direktur Populi Centre Usep S. Ahyar menilai meskipun kampanye negatif dilakukan dengan data dan fakta, tetap saja tidak banyak memberi keuntungan kepada pasangan Prabowo-Sandiaga yang didukung PKS.
"Paling hanya menebalkan dukungan pemilih loyal mereka saja," kata Usep kepada reporter Tirto.
Sebaliknya, kata Usep, pemilih rasional yang sampai saat ini masih dalam kategori swing voters justru membutuhkan kampanye positif untuk menentukan pilihannya. Terlebih kebanyakan calon pemilih, menurut Usep, sudah sama-sama tahu rekam jejak kedua kandidat.
"Mungkin kalau 2024 nanti ada pengaruhnya, karena semua kandidat baru," pungkasnya.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana