tirto.id - Herizal Deputi Bidang Klimatologi Badan meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengatakan curah hujan ekstrim lebih dari 150 milimeter (mm) per hari yang turun cukup merata di wilayah DKI Jakarta menjadi salah satu pemicu banjir besar seperti 2015 dan 2007 lalu, Jumat (3/1/2020).
Menurut Herizal meningkatnya resiko dan peluang adanya curah hujan ekstrem yang memicu banjir besar tersebut karena adanya perubahan iklim.
"Pengkajian data historis curah hujan harian BMKG selama 150 tahun (1866 – 2015), terdapat kesesuaian tren antara semakin seringnya kejadian banjir signifikan di Jakarta dengan peningkatan intensitas curah hujan ekstrem tahunan sebagaimana terjadi kemarin pada 1 Januari 2020," ujar Herizal.
Ia juga mengatakan di wilayah Jabodetabek (data 43 tahun terakhir), curah hujan harian tertinggi per tahun mengindikasikan tren kenaikan intensitas 10 hingga 20 milimeter per-10 tahun.
Analisis statistik ekstrem data series 150 tahun Stasiun Jakarta Observatory BMKG untuk perubahan risiko dan peluang terjadinya curah hujan ekstrem penyebab kejadian banjir dengan perulangan seperti periode ulang kejadian 2014, 2015 (termasuk bila kejadian 2020 diperhitungkan) di Jakarta menunjukkan peningkatan 2 hingga 3 persen bila dibandingkan dengan kondisi iklim 100 tahun lalu.
"Hal ini menandakan hujan-hujan besar yang dulu jarang, kini lebih berpeluang kerap hadir pada kondisi iklim saat ini," ujar Herizal.
Menurut Herizal curah hujan ekstrem awal 2020 ini merupakan salah satu kejadian hujan paling ekstrim selama ada pengukuran dan pencatatan curah hujan di Jakarta dan sekitarnya (berdasarkan batasan persentil 99 persen dan 99.9 persen).
Curah hujan ekstrem tertinggi selama pencatatan hujan sejak 1866.
Menurut Herizal curah hujan ekstrem ini merupakan yang tertinggi sejak pencatatan hujan 1866.
Sementara, berdasar pencatatan tersebut, curah hujan tertinggi menurut BMKG juga terkonsentrasi di wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Barat.
"Pengukuran BMKG menunjukkan curah hujan tertinggi tercatat di Bandara Halim Perdana Kusuma: 377 mm/hari, di TMII: 335 mm/hari, Kembangan: 265 mm/hari; Pulo Gadung: 260 mm/hari, Jatiasih: 260 mm/hari, Cikeas: 246 mm/hari, dan di Tomang: 226 mm/hari," kata Herizal.
Sebaran curah hujan ekstrem tersebut lebih tinggi dan lebih luas daripada kejadian banjir – banjir sebelumnya, termasuk banjir Jakarta 2007 dan 2015.
"Curah hujan 377 mm/hari di Halim PK merupakan rekor baru curah hujan tertinggi sepanjang ada pencatatan hujan di Jakarta dan sekitarnya sejak pengukuran pertama kali dilakukan tahun 1866 pada zaman kolonial Belanda," ujar Herizal.
Ia menambahkan, kejadian banjir dan curah hujan ekstrem tidak hanya terjadi di DKI Jakarta, beberapa wilayah di Bekasi, Kota/Kabupaten Bogor, serta Kabupaten Lebak (Jawa Barat) juga terdampak banjir bandang. Pantauan radar cuaca menunjukkan awan potensi hujan cukup tebal terjadi di sebagian wilayah Banten, Jawa Barat, dan DKI Jakarta.
Analisis meteorologis pada 01 Januari 2020 pagi hari menunjukkan curah hujan tinggi tidak biasanya tersebut dipengaruhi oleh penguatan aliran monsun Asia dan indikasi jalur daerah konvergensi massa udara atau pertemuan angin monsun intertropis (ITCZ) tepat berada di atas wilayah Jawa bagian utara.
ITCZ memicu pertumbuhan awan yang sangat cepat, tebal, dan masif akibat penguapan dari lautan sekitar Pulau Jawa yang sudah menghangat dan menyuplai kelimpahan massa uap air bagi atmosfer di atasnya.
Sejarah curah hujan ekstrem dan banjir Jakarta.
Analisis beberapa kejadian banjir besar di Jakarta pada masa lalu, misal yang terjadi pada 1918, 1979, 1996, 2002, 2007, 2013, 2014, dan 2015 memang dapat dikaitkan dengan kejadian curah hujan ekstrim 1 hingga 2 hari dan fenomena meteorologis yang membentuknya.
Herizal mengatakan, besaran dampak banjir yang ditimbulkan juga dapat dikaitkan dengan wilayah dimana curah hujan tinggi tersebut terkonsentrasi. Intensitas curah hujan ekstrem 1-2 hari sendiri dapat berkontribusi hingga 30 persen dari total curah hujan pada bulan tersebut.
Beberapa aspek fenomena meteorologis yang biasanya menyertai curah hujan tinggi di Jakarta, dapat sebagai penyebab individual atau kombinasi antar beberapa fenomena atmosfer sekaligus, di antaranya: ITCZ, MJO, Suhu Muka Laut lebih hangat, penguatan aliran monsun lintas ekuator, La Nina, dan Seruakan dingin Asia (cold surge).
"Penyebab banjir di Jakarta sejatinya bukan hanya masalah curah hujan ekstrem dan fenomena meteorologis, terdapat beberapa faktor lain seperti besarnya limpasan air dari daerah hulu, berkurangnya waduk dan danau tempat penyimpanan air banjir, permasalahan menyempit dan mendangkalnya sungai akibat sedimentasi dan penuhnya sampah, rendaman rob akibat permukaan laut pasang serta faktor penurunan tanah (ground subsidence) yg meningkatkan risiko genangan air, akan tetapi curah hujan ekstrem paling dominan sebagai penyebab banjir di Jakarta," pungkasnya.
BMKG mengimbau agar semua pihak dan masyarakat tetap waspada terhadap peluang curah hujan tinggi yang masih mungkin mengingat puncak musim hujan diprakirakan akan terjadi pada bulan Februari hingga Maret.
Selain juga masih terdapat peluang fenomena gelombang atmosfer ekuator/Madden-Julian Oscillation (MJO) dan seruak dingin yang dapat terjadi sebagai variabilitas iklim dimusim hujan kali ini. BMKG mendefinisikan puncak musim hujan sebagai periode akumulasi curah hujan mencapai jumlah tertinggi pada suatu dasarian untuk tiap zona musim.
Penulis: Nur Hidayah Perwitasari
Editor: Agung DH