tirto.id - Human Rights Watch dalam laporannya menyatakan, Pemerintah Bangladesh sudah merelokasi hampir 20.000 pengungsi etnis Rohingya ke sebuah pulau terpencil bernama Bhasan Char tanpa perawatan kesehatan, mata pencarian, atau perlindungan memadai.
Atas hal itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan pemerintah negara-negara donor diminta untuk segera menyerukan penilaian independen atas keselamatan, kesiapsiagaan bencana, dan kelayakhunian di Bhasan Char selama musim hujan.
Dalam laporan berjudul “An Island Jail in the Middle of the Sea: Bangladesh’s Relocation of Rohingya Refugees to Bhasan Char", disebutkan, pihak berwenang Bangladesh memindahkan banyak pengungsi etnis Rohingya ke pulau itu tanpa persetujuan penuh, bahkan menghalangi mereka untuk kembali ke daratan.
Walaupun alasan pemerintah memindahkan 100.000 orang ke pulau berlumpur di Teluk Benggala untuk mengurangi kepadatan di kamp-kamp pengungsi Cox's Bazar, namun sejumlah ahli kemanusiaan mengatakan kalau langkah itu tidak melindungi dari topan parah dan gelombang pasang.
Para pengungsi di pulau tersebut melaporkan layanan kesehatan dan pendidikan yang tak memadai, pembatasan pergerakan yang berat, kekurangan makanan, minimnya kesempatan mendapatkan mata pencarian, serta pelanggaran yang dilakukan oleh pasukan keamanan.
“Pemerintah Bangladesh kesulitan menangani lebih dari satu juta pengungsi Rohingya, namun memaksa orang pindah ke pulau terpencil hanya menciptakan sejumlah masalah baru,” kata Bill Frelick, direktur hak pengungsi dan migran lewat keterangan tertulis yang diterima Tirto.
“Donor internasional semestinya tak hanya membantu Rohingya, tetapi juga mendesak Bangladesh untuk mengembalikan pengungsi yang ingin kembali ke daratan atau jika para ahli mengatakan kondisi pulau terlalu berbahaya atau tidak berkelanjutan,” lanjutnya.
Dalam periode Mei 2020 dan Mei 2021, Human Rights Watch mewawancarai 167 pengungsi Rohingya, termasuk 117 orang di Bhasan Char dan 50 orang di Cox’s Bazar, 30 di antara mereka lantas dipindahkan ke Bhasan Char.
Namun demikian, tanggung jawab utama atas situasi Rohingya tetap berada di tangan Myanmar. Pada 25 Agustus 2017, militer memulai kampanye pembersihan etnis yang brutal terhadap Muslim Rohingya.
Kampanye itu melibatkan pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pembakaran, yang memaksa lebih dari 740.000 orang mengungsi ke negara tetangga Bangladesh, yang telah menampung sekitar 300.000 hingga 500.000 pengungsi Rohingya yang tidak terdaftar dan telah melarikan diri dari penganiayaan sebelumnya.
Myanmar telah gagal mengakhiri pelanggaran yang meluas terhadap etnis Rohingya dan telah menolak mengondisikan pemulangan mereka secara aman, bermartabat, dan sukarela.
Meski Bangladesh dengan bangga membuka perbatasannya untuk orang-orang Rohingya, pihak berwenang belum menciptakan kondisi kamp yang benar-benar ramah, menambah tekanan agar mereka pindah ke Bhasan Char.
Pihak berwenang mematikan akses internet selama hampir satu tahun di kamp-kamp pengungsi, mengabaikan pendidikan formal bagi anak-anak, dan membangun pagar kawat berduri yang membatasi pergerakan dan akses ke sejumlah layanan darurat. Pasukan keamanan menghadapi tuduhan penangkapan sewenang-wenang, penghilangan paksa, dan pembunuhan di luar proses hukum.
Editor: Iswara N Raditya