tirto.id - Tiga belas hari sebelum penangkapan Andika Surachman-Anniesa Hasibuan oleh Bareskrim Polri, Umar Abdul Aziz alias Umar Bakadam menjual aset tak bergerak milik keluarga Andika kepada putranya, Halid Umar Bakadam.
Aset tersebut berupa rumah Sentul City seluas 1.072 meter persegi dan kantor pusat First Travel di Jalan Radar Auri, Kota Depok. Umar menjual aset tersebut atas dasar perjanjian utang-piutang tiket umrah antara First Travel dan PT Kanomas Arci Wisata, perusahaan penyedia travel umrah dan haji miliknya, pada 26 Juli 2016.
“Jadi kami bisa bertindak menjual atas nama penjual. PPJB awal sudah dikasih tahu seperti itu. Kapan pun kami bisa mengalihkan dan balik nama,” kata Husni Farid Abdat di kantor HFA Lawyers, Jakarta Selatan, Jumat (7/9/2018).
PPJB adalah Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Perjanjian ini merupakan pengikatan komitmen seseorang untuk melakukan penjualan dan pembelian yang bersifat sementara. Umumnya PPJB mengatur bagaimana penjual akan menjual tanahnya kepada pembeli.
Usai melakukan PPJB, Umar Bakadam membuat surat akta jual beli (AJB) kepada Halid Umar. Pada 8 Agustus 2017, rumah Sentul City berpindah ke tangan Halid dengan surat AJB Nomor 48/2017. Sementara pada 10 Agustus 2017 kantor pusat First Travel berpindah ke tangan Halid dengan surat AJB Nomor 870/2017. Tanggal-tanggal akta jual beli ini dilakukan ketika Andika sudah ditangkap Bareskrim Polri pada 8 Agustus 2017.
“Kebetulan tanggal AJB muncul pada bulan Agustus bertepatan proses pemeriksaan Andika di kepolisian,” dalih Husni. Namun, klaimnya, hal tersebut tak ada kaitannya karena PPJB sudah dibuat lunas pada 26 Juli 2017. Kalau PPJB lunas, pihaknya dapat melakukan AJB kapan saja kepada pembeli, dalam hal ini kepada putra Umar.
Namun, menurut Abdul Salam, ahli hukum perdata dari Universitas Indonesia, Perjanjian Pengikatan Jual Beli belum mengalihkan kepemilikan. "Karena itu baru perjanjian awal, walau di situ ada kuasa. PPJB baru pengalihan. Jadi tetap sepanjang belum AJB, tetap di tangan si Andika."
Batal demi Hukum
Bisakah sebuah aset hasil kejahatan pidana dipergunakan untuk pembayaran utang-piutang rekan bisnis First Travel? Bagaimana menilainya secara hukum perdata dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)?
Untuk mengetahui apakah suatu perjanjian itu sah atau tidak, perjanjian tersebut harus diuji dengan beberapa syarat. Ada empat syarat keabsahan kontrak yang diatur dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Pertama, ada kesepakatan kehendak. Unsur kesepakatan ini sah apabila tidak terjadi tindakan paksaan, penipuan, dan kesilapan. Kedua cakap hukum, ketiga objek, dan keempat sebab yang halal atau legal (dibuat dengan alasan sesuai hukum yang berlaku).
Jika merujuk salinan berkas putusan Pengadilan Negeri Depok (hlm. 363-364), perjanjian Umar Bakadam (rekanan bisnis travel), Usya Soemiarti Soeharjono (pengelola restoran Nusa Dua di London), dan Andika Surachman batal demi hukum sebab uang dan objek itu hasil tindak pidana penipuan perjalanan umrah oleh Andika, Anniesa Hasibuan, dan Siti Nuraida Hasibuan alias Kiki (adik Anniesa).
Hasil kejahatan itu digunakan untuk pembelian rumah Sentul City, kantor First Travel di Depok, rumah cluster Citra Residence Depok, lima mobil (Vellfire, Volkswagen Caravelle, Hummer, Fortuner, Pajero), dan Restoran Nusa Dua di London
“Inti dari perjanjian perdata klausulnya yang sah. Masalah perdata itu batal demi hukum karena yang dibayar ke Umar ternyata uang hasil penipuan,” kata Yenti Ganarsih, ahli tindak pidana pencucian uang dari Fakultas Hukum Universitas Trisakti kepada Tirto.
“Batal demi hukum kenapa? Karena perjanjian apa pun di perdata, salah satu klausul objeknya tidak bermasalah secara hukum. Klausulnya harus pas, objeknya harus pas,” tambahnya.
Yenti mengatakan ketika Andika bayar utang dalam keadaan menipu, situasi itu menunjukkan bahwa Andika sebenarnya tak mampu bayar utang. Penipuan terungkap karena hasil kejahatannya diserahkan kepada Umar. Mestinya, lanjut Yenti, uang itu dikembalikan kepada jemaah umrah. Dengan demikian, kondisi Andika berutang lagi secara perdata.
“Jadi, ketika itu uang hasil kejahatan,” ujar Yenti, “tidak ada alasan tak dirampas kembali.”
Menanggapi utang piutang antara Andika dan rekan bisnis First Travel, jemaah umrah First Travel Tri Nurhadi mengatakan harusnya jemaah lebih diutamakan dibandingkan rekan bisnis.
“Harusnya mementingkan jemaah dulu karena, bagaimanapun juga, vendor ada perjanjian khusus yang dibayarkan dengan uang hasil bisnis, bukan uang jemaah,” ujar Nurhadi kepada Tirto di Depok pada 10 September 2018.
Hilangnya Pasal 5 Pidana Pencucian Uang
Merujuk pada putusan Andika-Anniesa tingkat pertama, Jaksa Penuntut Umum yang diketuai Heri Jerman menetapkan dua dakwan terhadap pasutri bos First Travel. Dakwaan pertama yang dibacakan JPU dimuka persidangan tanggal 7 Mei 2018 adalah Andika-Anniesa melanggar pasal 378 KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP. Lalu dakwaan kedua melanggar pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP.
Tentu saja pasal-pasal dalam dakwaan penuntut umum itu menentukan pengungkapan kasus tindak pidana yang dilakukan Andika-Anniesa, khususnya perkara pidana pencucian uang.
Menurut Yenti Ganarsih, penegak hukum tak hanya melihat pelaku aktif—dalam hal ini Andika dan Anniesa—dengan pasal 3, tetapi juga penerima pasif—dalam hal ini Umar Bakadam, Usya Soemiatri, atau rekanan lain—dengan pasal 5 undang-undang pidana pencucian uang.
Merujuk pada putusan PN Depok, pasal 5 hilang dari dakwaan sehingga pihak yang diduga terlibat bisa lepas dari jeratan hukum.
Namun, tak semua penerima pasif bisa dipidanakan jika penerima tak mengetahui asal-usul objek atau uang tersebut. Tetapi, bila mereka menerima dan patut menduga mengetahui asal-usulnya dari hasil kejahatan pencucian uang, maka penerima pasif bisa dikenakan sanksi. Bagi penerima pasif yang tak mengetahui asal-usulnya, ia harus tetap mengembalikan objek/uang kepada jamaah.
“Kita berharap penerima pasif karena kepada mereka uang itu ada. Uang jemaah ada pada mereka, baik berupa aset maupun uang. Permasalahan ini adalah mereka yang menerima bisa menjadi atau patut menduga pelaku pasif,” kata Yenti.
Menanggapi hilangnya pasal 5 itu, Kepala Unit II Subdit V Dittipidum Bareskrim Polri Kompol Denan Purba beralasan waktu yang mepet membuat pihaknya tak mencantumkan pasal tersebut dalam dakwaan Andika-Anniesa.
“Masa penahanan kita mepet. Itu kan banyak konfirmasi yang harus dilakukan,” dalih Denan kepada Tirto pada 12 September 2018.
Yenti menilai “ada yang tidak optimal” dalam pengungkapan kasus First Travel dan mengingatkan bahwa penegak hukum “jangan bekerja setengah hati.”
“Tidak boleh meninggalkan masalah seperti ini. Kalau bisa masih ada money laundering lagi. Banyak pelaku, semakin banyak menyebar. Biar orang enggak main-main dengan hasil kejahatan,” kata Yenti.
Ia memandang, bagaimanapun, kasus ini harus melihat korban jemaah yang jumlahnya ribuan, sementara uangnya sedikit. Jika tak tuntas dan menyederhanakan masalah, pengungkapan kasus First Travel akan memberikan masalah baru kepada negara.
“Ini harus tuntas. Jika tidak, ini akan menjadi preseden buruk untuk yang akan datang,” kata Yenti, mengingatkan.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam