tirto.id - Minggu siang, 12 Agustus 2018, restoran Nusa Dua di pusat Kota London nyaris penuh. Sejak buka pukul 12.00, ada sekitar 50 pengunjung datang silih berganti hingga menjelang pukul 16.00. Saya pengunjung paling lama siang itu, duduk di sofa empuk di pojok restoran dengan sepiring gado-gado dan segelas es kelapa muda.
Laki-laki paruh baya lalu masuk dan duduk di kursi tepat di depan meja kasir. Tak seperti pengunjung lain yang segera didatangi pelayan, lelaki itu tak digubris. Ia duduk saja, menunduk, memandang layar ponsel.
Sekali melihat, saya langsung bisa mengenali bahwa ia adalah Yan Rizal Zainuddin, direktur dan pemegang saham Nusa Rasa Limited, nama perusahaan Nusa Dua. Perusahaan itu terdaftar di Companies House—pusat registrasi seluruh perusahaan di Britania Raya—sejak 12 Februari 2018.
“Is he the owner of this restaurant?” tanya saya kepada seorang pelayan.
“No, he is just the chef,” jawabnya.
Saya lalu menghampiri Yan Rizal. Setelah memberi tahu identitas diri serta beberapa dokumen yang saya ketahui, saya mengajaknya bicara di luar. Yan tampak ketakutan dan langsung setuju. Kami bicara di trotoar, sekitar lima meter dari pintu masuk Nusa Dua.
“Saya hanya chef di sini, dan tidak tahu apa-apa,” jawab Yan saat menjawab pertanyaan mengapa namanya muncul sebagai direktur Nusa Rasa Limited. Ia menolak bicara banyak dan meminta saya menanyakan langsung kepada pemilik restoran. Menurut keterangan Yan, restoran itu masih milik Usya Soemiarti Soeharjono.
Pertemuan di London
Pada 2014, Andika Surrachman dan istrinya, Anniesa Hasibuan, berlibur ke Inggris. Untuk transportasi selama di London, kedua bos First Travel ini menyewa mobil milik Usya dan suaminya, Firdaus Ahmad.
Firdaus bercerita tentang usaha restoran bernama Nusa Dua yang dirintisnya bersama istri dan mengajak Andika untuk berinvestasi. Singkat cerita, Andika dan Anniesa setuju. Restoran yang sebelumnya hanya ruko satu pintu pun dipindahkan ke lokasi baru dengan ukuran tiga kali lebih luas dan lokasi lebih strategis, tempat turis berlalu-lalang.
Untuk bisa pindah ke lokasi baru itu, Usya membeli hak berusaha atau restaurant leasing dari Love Health Limited yang saat itu menjalankan bisnis restoran Cina bernama Golden Day. Setelah melalui proses tawar-menawar, pihak Love Health Ltd., melepas restoran yang berlokasi di 180-200 Shaftesbury Avenue, London, seharga £280.000 atau sekitar Rp5,6 miliar.
Pada 23 Januari 2015, kedua pihak menandatangani Business Sales Agreement di hadapan Ozkutan & Co Solicitors LLP, yang bertindak sebagai kuasa hukum Love Health Ltd. (dalam salinan berkas putusan Andika Surachman dan Anniesa Hasibuan, tertulis "Love Helath Ltd" — yang kemungkinan keliru ejaan).
Hal yang diperjualbelikan dalam perjanjian itu bukanlah bangunan fisik dari restoran, melainkan hanya semacam izin menjalankan bisnis restoran dan menyewa gedung itu sampai 2034. Menurut Land Registry—pusat data pemilik properti di Inggris—properti tersebut milik Shaftesbury Chinatown Limited.
Artinya, Usya dan investor barunya adalah penyewa dan tetap harus membayar uang sewa gedung senilai £300.000 atau sekitar Rp5,7 miliar per tahun.
Pada Februari 2015, Andika mengirimkan Rp5,6 miliar ke rekening Usya untuk biaya pembelian restaurant leasing tersebut. Selanjutnya, secara bertahap, Andika mengirimkan uang lagi untuk biaya operasional restoran Nusa Dua hingga mencapai total investasi Rp12 miliar.
Di lokasi yang baru itu, ada keterangan “Part of FT Group” pada papan restoran, terletak tepat di bawah tulisan “Nusa Dua”.
Sepanjang 2014 hingga 2016, kedua bos First Travel mengirim uang sekitar Rp24 miliar. Selain untuk keperluan investasi, uang itu digunakan untuk biaya peragaan busana milik Anniesa dan biaya liburan di London.
Keterangan yang Simpang Siur
Pada 8 Agustus 2017, Andika dan Anniesa ditangkap pihak kepolisian karena kasus penipuan dan tindak pidana pencucian uang. Saat proses persidangan di Pengadilan Negeri Depok, Usya dihadirkan sebagai saksi. Kesimpangsiuran fakta tentang investasi bos First Travel di Nusa Dua pun terjadi.
Andika memberikan keterangan yang berbeda dari beberapa pernyataan Usya di pengadilan. Kepada majelis hakim, Usya mengatakan pihaknya dan Andika membagi saham Nusa Dua: Andika 60 persen dan Usya 40 persen (sebagai pengelola). Di pengadilan, Usya mengatakan perjanjian itu hanya lisan, tidak ada hitam di atas putih.
Kepada Tirto, Andika berulang kali menyebutkan bahwa ia pernah menandatangani surat perjanjian pembagian saham Nusa Dua di hadapan seorang pengacara di London. Ia tidak lagi memegang salinannya karena semua dokumen miliknya disita polisi. Ia juga tidak ingat nama dan alamat pengacara itu. Yang diingat Andika hanya bentuk kantor dan wajah si pengacara.
Tim Indepth Tirto mencari pengacara yang dimaksud Andika dan menemukan fakta bahwa saat menandatangani perjanjian jual beli dengan Love Health Ltd, pihak Usya diwakili oleh kantor hukum Christine Lee & Co.
Kantor hukum ini sebenarnya berkantor pusat di Birmingham, tetapi memiliki kantor di London, berjarak hanya 500 meter dari restoran Nusa Dua. Saat Tirto menunjukkan foto kantornya di London serta beberapa foto pengacara yang bekerja di sana kepada Andika, ia langsung yakin bahwa di kantor itulah ia menandatangani perjanjian pembagian saham dan di hadapan seorang pengacara bernama David Ho.
Ketika dihubungi via telepon, David Ho membenarkan ia adalah kuasa hukum Usya. Hanya saja, ia tidak bisa memberi keterangan apa-apa sebab tidak mendapatkan instruksi dari Usya.
“Saya tidak bisa bilang saya pernah bertemu mereka atau tidak karena ini terkait klien saya, dan saya tidak mendapat instruksi untuk bicara,” ujar David saat ditanya apakah ia pernah bertemu Andika dan Anniesa.
Menurut ketentuan hukum, David memang tidak bisa bicara tentang kliennya tanpa persetujuan si klien. Akan tetapi, fakta Usya tidak memberikan instruksi kepada David agak janggal.
Sehari sebelum menghubungi David, saya kembali ke Restoran Nusa Dua dan, tanpa sengaja, bertemu dengan Usya.
“Saya menyesal pernah bertemu mereka [Andika dan Anniesa],” jawab Usya ketika saya menyinggung soal investasi First Travel di restoran Nusa Dua. Matanya tampak berkaca-kaca.
Usya banyak bicara tentang hal-hal yang tak berhubungan dengan pertanyaan saya. Ia bicara panjang lebar soal kesuksesan event "Hello Indonesia" pada 2015 dan 2016 yang digagasnya. Ia juga menjelaskan pelbagai upayanya untuk mempromosikan Indonesia termasuk dengan mendirikan restoran Indonesia di pusat Kota London.
Sayangnya, Usya tertutup saat saya membicarakan investasi bos First Travel di restorannya, meskipun tulisan “Part of the FT Group” masih terpampang di pelang restoran sampai saat ini.
Beberapa pertanyaan saya terkait investasi Andika dan upaya pengalihan aset hanya dijawab, “Saya tidak mau membahas itu, semuanya sudah saya ceritakan [di pengadilan].”
Ketika saya memverifikasi klaim Andika tentang surat perjanjian pembagian saham yang mereka tandatangani di hadapan pengacaranya, Usya tidak menjawab klaim itu benar atau salah.
“Pinter, ya, wartawan. Intinya saya tidak mau membahas tentang itu,” katanya.
Pertanyaan terakhir saya kepada Usya tentang kepemilikan restoran saat ini; nama dan pemilik perusahaan yang berganti sebanyak lima kali dalam enam tahun terakhir; juga tentang nama juru masak yang tercantum di dokumen sebagai pemilik restoran.
Lagi-lagi, Usya bungkam, “Saya merasa terpojokkan, silakan kamu bicara dengan pengacara saya."
Ternyata Usya tidak benar-benar ingin saya bicara dengan pengacaranya. Sebab, seperti yang dikatakan si pengacara keesokan harinya, Usya tidak memberinya instruksi untuk bicara.
Kalimat “Silakan bicara dengan pengacara saya” juga pernah dilontarkan suami Usya, Firdaus Ahmad. Agustus 2018, kepada Tim Indepth Tirto di Jakarta, ia mengirim alamat rumahnya dan minta ditemui di London.
Lalu, ketika saya menghubunginya, mencoba mengatur waktu untuk bertemu, Firdaus menghindar dan mengatakan, “Silakan bicara dengan pengacara saya.”
Dua kali Usya dan Firdaus meminta Tirto berbicara dengan pengacaranya. Namun hingga saat ini, Tirto belum mendapat keterangan apa pun dari pengacara sebab, dalam klaim pengacara, baik Usya maupun Firdaus tak memberi lampu hijau kepada si pengacara.
Gonta-ganti Kepemilikan dan Nama Perusahaan
Sejak 2012 hingga sekarang, setidaknya ada lima perusahaan berbeda yang terdaftar secara bergantian di Companies House. Kelima perusahaan itu menjalankan bisnis yang sama: Restoran Nusa Dua.
Polanya selalu sama: satu perusahaan terdaftar lalu mengajukan likuidasi. Tak lama kemudian, sebelum perusahaan itu dinyatakan ditutup, ada perusahaan baru dengan nama berbeda yang mendaftarkan diri.
Pada 30 April 2012, Nusa Limited terdaftar di Companies House. Saat itu, Nusa Dua masih di lokasi yang lama, 11 Dean Street, London. Nama Usya tercatat sebagai direktur dan satu-satunya pemegang saham.
Setahun kemudian, 3 Juli 2013, Usya mempailitkan Nusa Ltd., secara sukarela. Perusahaan ini baru resmi ditutup pada 25 Desember 2015.
Akan tetapi, pada 21 Juli 2014, ada perusahaan baru bernama Selera Limited yang terdaftar dengan alamat 118-120 Shaftesburry Avenue, lokasi restoran Nusa Dua sekarang. Nama Usya kembali tercatat sebagai direktur dan pemegang saham.
Dua tahun kemudian, 2 Agustus 2016, Selera Ltd., juga mengajukan kepailitan secara sukarela. Namun, dua pekan setelah pengajuan kepailitan itu, ada perusahaan baru bernama Ruby Rasa Limited yang terdaftar dengan alamat operasional yang sama. Saat itu, nama Usya tak muncul sebagai pemegang saham. Nama Firdaus Ahmad, suami Usya, yang dipakai dalam berkas pendaftaran.
14 Juli 2017, kurang dari sebulan sebelum Andika dan Anniesa ditangkap Bareskrim Polri, Firdaus mengajukan strike-off atas Ruby Rasa. Ini adalah pengajuan penutupan perusahaan dengan syarat: perusahaan tidak beroperasi dan menjalankan bisnis dalam tiga bulan terakhir; tidak punya persoalan utang piutang; serta tidak terancam bangkrut. Faktanya, Restoran Nusa Dua terus beroperasi.
Satu bulan sebelum Firdaus mengajukan penutupan tersebut, ada perusahaan baru bernama Surakarta Limited, yang bergerak dalam bisnis restoran dan beralamat di tempat restoran Nusa Dua. Nama Kasnawi Mangku Alam muncul sebagai direktur dan pemegang saham.
Pada 17 Mei tahun ini, Surakarta Limited mengajukan permohonan pailit sukarela. Lagi-lagi, ada perusahaan baru yang terdaftar pada Februari 2018, bernama Nusa Rasa Limited dengan Yan Rizal sebagai pemegang saham.
Seperti diceritakan di awal, Yan hanyalah juru masak dan bukan pemilik restoran.
Pendaftaran perusahaan terakhir ini agak janggal mengingat pada 30 November 2017, Usya telah menandatangani surat pernyataan bahwa; uang yang dipakai untuk membangun dan membeli hak berusaha restoran Nusa Dua seluruhnya berasal dari Andika Surrachman, dan menyerahkan hak berusaha tersebut kepada jaksa Heri Jerman dan Kombes Dwi Irianto.
Meskipun surat pernyataan tersebut telah ditandatangani sejak 30 November 2017, jaksa penuntut umum baru menyitanya pada 7 Mei 2018, tiga bulan setelah Nusa Rasa Ltd., terdaftar dan sepuluh hari sebelum Surakarta Ltd., mengajukan kepailitan. Ada rentang enam bulan sejak surat pernyataan itu ditandatangani.
Menurut keterangan Andika kepada Tirto, ia pernah didatangi Heri Jerman dan Dwi Irianto pada 7 Desember 2017 atau saat kasus First Travel dalam tahap pemberitahuan bahwa hasil penyidikan sudah lengkap (P-21). Heri secara terang-terangan meminta aset di London tersebut kepada Andika.
“Ya sudah, ambil saja, saya bilang. Terus kasus saya gimana? Aman, kata mereka,” ujar Andika mengulang pembicaraannya dengan Heri.
Lalu Heri dan Dwi menyodorkan dua surat kepada Andika. Surat pertama dari Kedutaan Besar RI di Inggris soal restoran di London. Surat kedua berisi pernyataan tanpa kop kejaksaan maupun Bareskrim.
“Isi surat itu adalah aset restoran di London milik saya dialihkan, dikelola, keuntungannya diberikan kepada Heri Jerman dan Dwi Irianto,” klaim Andika.
Saat dimintai konfirmasi, Heri Jerman membantah klaim Andika. “Mana ada saat P-21 jaksa bisa ketemu terdakwa? Dari penelitian berkas sampai P-21, jaksa hanya ketemu sama penyidik karena terdakwa masih status tahanan penyidik. Mustahil jaksa bisa ketemu dengan terdakwa,” kata Heri.
Pada Maret 2017, Usya menyerahkan apartemennya di Jakarta senilai Rp2 miliar kepada Andika. Ia menganggap hal itu sebagai "tukar guling" saham. Jadi, Andika sama sekali tak memiliki hak lagi atas Nusa Dua.
“Harusnya mereka paham kalau penyerahan apartemen itu bisa dilihat sebagai tukar guling saham,” kata Usya ketika saya temui di London.
Menurut keterangan Andika, penyerahan apartemen itu karena saat itu Andika butuh uang dan Nusa Dua tak kunjung memberikan imbal hasil.
Lalu, ketika ia dan istrinya ditangkap, Andika sempat menghubungi Usya dan Daus, meminta mereka untuk membuat penyerahan apartemen seolah "tukar guling" saham dengan memberikan apartemen milik Usya di Jakarta. Hal ini dilakukan untuk mengamankan aset di London, agar tak disita. Harga apartemen itu sendiri hanya Rp2 miliar, tak sebanding dari nilai uang yang telah diinvestasikan Andika kepada Nusa Dua sebesar Rp12 miliar.
Terlepas dari persoalan "tukar guling" saham itu, Pengadilan Negeri Depok sudah dengan jelas menyatakan restoran Nusa Dua di London "dirampas oleh negara". Putusan ini memang belum berkekuatan hukum tetap sebab, saat laporan ini dirilis, proses hukum Andika dan Anniesa baru tahap banding.
Pada 27 Agustus 2018, Pengadilan Tinggi Bandung menolak banding Andika dan Anniesa dalam kasus pencucian uang jemaah umrah First Travel. Keduanya tetap divonis 20 tahun dan 18 tahun penjara.
Saat ini, meski business leasing restoran sudah disita lalu dinyatakan dirampas oleh negara, dan berulang kali mengajukan likuidasi, Nusa Dua tak pernah berhenti beroperasi. Ia buka terus, tujuh hari dalam seminggu, dari jam 12 siang hingga 11 malam.
Di catatan resmi pemerintah Inggris, nama perusahaan diganti menjadi Nusa Rasa Ltd, dengan pemilik yang tak merasa dan mengaku sebagai pemiliknya.
======
Laporan ini diterjemahkan dalam bahasa Inggris:
The First Travel's Money Laundering Case: A Restaurant in London
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Fahri Salam