tirto.id - Kecenderungan memaafkan dalam sebuah hubungan dapat dimiliki siapa saja. Bahkan, ketika seseorang mendapat perilaku terburuk sekalipun. Bagaimana kecenderungan ini bisa terjadi?
Penelitian yang dipublikasikan di Journal Nature Human Behavior menemukan, otak manusia membentuk kesan sosial yang memungkinkan ia mudah memberi pengampunan kepada orang lain.
"Otak membentuk kesan sosial dengan cara yang dapat memungkinkan pengampunan atas sebuah kesalahan orang lain," kata Molly Crockett penulis penelitian.
Penelitian ini dilakukan dalam serangkaian percobaan pada lebih dari 1500 subjek. Crockett dan rekan-rekannya mengamati pilihan dua orang asing yang menghadapi dilema.
Kasus yang diberikan adalah apakah orang yang dipilih bersedia mengejutkan orang lain dengan kejutan listrik yang menyakitkan demi imbalan uang.
Orang asing yang "baik" kebanyakan menolak untuk mengejutkan orang lain demi uang, sementara orang asing "jahat" cenderung memaksimalkan itu demi keuntungan mereka meskipun ada konsekuensi yang menyakitkan.
Subjek [korban] kemudian ditanyai kesan mereka tentang karakter moral orang asing dan seberapa yakin mereka tentang kesan itu.
Subjek dengan cepat membentuk kesan positif dan stabil dari orang asing yang baik dan sangat percaya diri dengan kesan mereka.
Namun, subjek tidak sepenuhnya percaya bahwa orang asing itu benar-benar buruk. Misalnya, ketika orang asing yang jahat sesekali membuat pilihan yang murah hati, kesan subyek langsung meningkat.
"Kami pikir temuan kami mengungkapkan kecenderungan dasar untuk memberi maaf orang lain, bahkan orang asing. Pikiran manusia dibangun untuk menjaga hubungan sosial, bahkan ketika pasangan terkadang berperilaku buruk," kata Crockett
Penelitian ini dapat membantu menjelaskan gangguan kejiwaan yang melibatkan kesulitan sosial, seperti Borderline Personality Disorder.
"Kami telah mengembangkan alat baru untuk mengukur pembentukan kesan, yang dapat membantu meningkatkan pemahaman kami tentang disfungsi relasional,” kata Jenifer Siegel, peneliti yang lain seperti dilansir Yale News.
Editor: Yulaika Ramadhani