tirto.id -
“Kami melakukan studi sistemik tentang ini setiap tahun, secara keseluruhan rerata ada 31 persen masyarakat Islam Indonesia yang cenderung intoleran,” kata Burhanuddin Muhtadi ketika mengisi diskusi toleransi dan intoleransi kita di Kios Ojo Keos, Kamis (29/11/2018).
Burhan menjelaskan cara mengukur sikap intoleransi yang dilakukan ialah dengan memberi pertanyaan kepada masyarakat mengenai sikap mereka terhadap non-muslim terkait dengan hak sipil mereka. Misal berupa hak politik maupun terkait ibadah.
“Misal kami mengajukan pertanyaan bagaimana pendapat mereka tentang umat non-muslim yang membangun rumah ibadah di sekitar mereka. Kemudian bagaimana pendapat mereka tentang umat non-muslim yang mengadakan kegiatan keagamaan di sekitar mereka. Hingga pendapat mereka tentang umat non-muslim jadi pemimpin pemerintah di berbagai tingkat, dan pertanyaan lain-lain,” jelas Burhan.
Burhan kemudian membagi intoleransi tersebut dalam dua kategori, pertama, intoleransi dalam hal politik lalu intoleransi dalam hal ibadah (religius-kultural). Hasilnya, intoleransi dalam hal politik umat Islam Indonesia kepada non-muslim sebanyak 59,3 persen, sedangkan intoleransi dalam hal ibadah sebanyak 49,2 persen.
“Hasil intoleransi secara keseluruhan 31 persen. Itu kelihatannya besar, namun jika dibandingkan dengan negara lain. Tingkat intoleransi Indonesia jauh lebih rendah. Bisa dibilang sedikit lebih baik,” tambahnya.
Ia mengatakan di Yunani ada 60 persen masyarakat yang punya pandangan negatif terhadap Islam. Di Polandia dan Jerman juga tinggi.
“Kami ingin melihat, bagaimana jika situasinya dibalikkan. Karena kalau di Indonesia Islam itu mayoritas, kalau di negara lain non-muslim itu mayoritas. Hasilnya negara kita tidak terlalu buruk," ujarnya.
Selain membandingkan dengan negara yang mayoritas non-muslim, Burhan juga membandingkan dengan negara yang mayoritas masyarakat beragama Islam. Hasilnya, tingkat intoleransi Indonesia masih jauh di bawah Bangladesh dan Malaysia.
“Kami baru saja melakukan survei di empat negara Asia Tenggara yakni Thailand, Filipina, Malaysia, dan Indonesia. Kesimpulannya intoleransi di Indonesia masih lebih baik dibanding 3 negara tadi, terutama di Thailand dan Filipina. Poin yang ingin saya sampaikan, meskipun nilainya kelihatan tinggi namun jika dibandingkan secara luas, Indonesia tidak buruk-buruk amat.”
Selain intoleransi, Burhan juga meneliti tentang radikalisme. Ia menjelaskan cara mengukur radikalisme yang digunakan dengan bertanya mengenai tindakan atau keinginan responden melakukan perusakan rumah ibadah agama lain.
Kemudian keinginan untuk mendemonstrasi kelompok yang dianggap memecah agama, seperti Syiah dan Ahmadiyah. Lalu pertanyaan tentang adakah menyumbang ke organisasi yang akan mewujudkan negara islam, dan lain hal.
“Hasilnya, ada yang sudah melakukan hal yang di atas namun jumlahnya kecil sekitar 0,3 persen, ada juga yang belum pernah melakukan dan itu jumlahnya besar. Namun kami tanya lagi, jika ada kesempatan untuk melakukan berbagai hal tersebut, bersedia atau tidak bersedia. Responden yang bersedia kami sebut willing to radical, totalnya 11 persen,” kata Burhan.
Skor radikal 0,3 dari 100 memang terlihat jumlah yang kecil, tapi jika dilihat populasi umat islam yang berjumlah 160 juta, ada sekitar 700 ribu orang yang sudah melakukan tindakan.
Tak hanya berfokus pada umat Islam, penelitian juga dilakukan terhadap kalangan non-muslim untuk melihat seberapa tingkat intoleransinya. Dengan pertanyaan yang sama yang diajukan kepada umat Islam, hasilnya secara umum kalangan non-muslim jauh lebih toleran dibanding umat Islam Indonesia.
“Jika dibandingkan, intoleransi dalam hal ibadah umat muslim 49,2 persen, sedangkan tingkat intoleransi non-muslim 15,4 persen. Lalu intoleransi berdasarkan politik, muslim 59,3 persen dan non-muslim 11,4 persen,” jelas Burhan.
“Jadi polanya, umat Islam itu lebih intoleran secara politik, sementara non-muslim lebih intoleran dalam hal ibadah. Jadi polanya kebalik.”
Hasil penelitian ini ternyata berkorelasi dengan tingkat mayoritas suatu golongan di suatu wilayah. Indikator Politik Indonesia melakukan penelitian di seluruh wilayah Indonesia. Ada wilayah yang umat Islamnya mayoritas, di wilayah lain justru non-muslim yang mayoritas.
Kesimpulannya, mau muslim atau non-muslim, kalau dirinya merasa mayoritas maka mereka cenderung intoleran. “Kalau kami tanya misalnya non-muslim di papua itu lebih intoleran dibanding non-muslim yang tinggal di rembang. Karena posisinya berbeda, jadi faktor keistimewaan mayoritas [majority privilage] menjelaskan mengapa seseorang jadi intoleran," pungkasnya.
Penulis: Rizky Ramadhan
Editor: Maya Saputri