Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Pemilu Damai Jangan Hanya Wacana & Tak Perlu Tumpah Darah

Titi Anggraini menilai praktik pemilu Indonesia belum mengarah pada relasi politik gagasan yang terbiasa dengan dialektika dan diskursus ide.

Pemilu Damai Jangan Hanya Wacana & Tak Perlu Tumpah Darah
Header Pileg. tirto.id/quita

tirto.id - Kerawanan dalam pemilihan umum (Pemilu) 2024 yang dikhawatirkan sejumlah kalangan, akhirnya betul terjadi. Intimidasi, disinformasi, dan tindak kekerasan mewarnai jalannya pesta demokrasi kali ini. Kerawanan ini punya potensi terpercik di akar rumput. Sebabnya, gesekan antarpendukung dan relawan para kontestan semakin memanas.

Pernyataan pemilu damai tidak cukup berhenti pada level wacana dan harapan. Eskalasi konflik sosial nyatanya masih berpotensi terjadi. Kurang dari dua bulan menuju jadwal pencoblosan capres-cawapres, dugaan kasus kekerasan terkait relawan dan simpatisan justru kian kencang.

Sekitar tujuh orang relawan paslon capres-cawapres nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, menjadi korban pengeroyokan. Lakon kekerasan yang terjadi, Sabtu (30/12/2023), diduga dilakukan belasan aparat TNI AD Yonif 408/Suhbrastha Kompi Senapan B. Kasus yang menimpa relawan Ganjar-Mahfud itu terjadi di Boyolali, Jawa Tengah, dua orang korban pengeroyokan harus dilarikan ke rumah sakit.

Capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo, menjelaskan peristiwa ini terjadi usai para relawan menghadiri acaranya di Boyolali. Mereka diadang anggota TNI dan dipukuli tanpa peringatan. Menurut dia, aksi pemukulan terjadi di dua lokasi, yakni di jalan raya dan di dalam markas Yonif Rider 408.

“Ini cerita rakyat yang harusnya bisa diingatkan. Siapa pun tidak boleh mengatasnamakan apa pun dengan semena-mena. Kami akan urus itu,” kata Ganjar usai mengunjungi kedua korban di rumah sakit, di Boyolali, Minggu (31/12/2023).

Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud juga menegaskan akan mengawal kasus ini hingga tuntas. Mereka berkomitmen melakukan pendampingan hukum dan bantuan pembiayaan perawatan pada korban. Teranyar, Denpom IV/Surakarta resmi menetapkan 6 anggota menjadi tersangka kasus pengeroyokan ini.

Kapendam IV Diponegoro, Kolonel Richard Harison, menyatakan pihaknya masih bekerja untuk mengungkap dan mengembangkan proses penyelidikan dan penyidikan kasus ini.

“Proses hukum mulai dari Pom, Odmil sampai dengan Dilmil berjalan secara independen, pihak TNI maupun Kodam IV/Dip tidak bisa melakukan intervensi,” Kata Richard kepada reporter Tirto, Selasa (2/1/2024).

Peristiwa bentrokan disertai dugaan kekerasan yang berkaitan dengan simpatisan paslon Ganjar-Mahfud juga terjadi di Sleman, DIY. Tim TPN Ganjar-Mahfud melaporkan adanya relawan yang diduga mengalami kekerasan oleh pendukung paslon lain. Mereka dipukuli hingga harus dirawat di rumah sakit.

Satu tewas setelah mengalami koma usai kejadian brutal ini. Peristiwa ini terjadi sehari sebelum perayaan Natal 2023, atau 24 Desember 2023. Pihak kepolisian setempat sudah membekuk dua orang pelaku pengeroyokan, sementara dua pelaku lain masih buron.

Sebelumnya, pendukung capres-cawapres nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, ditembak orang tak dikenal di Sampang, Madura. Kepolisian menegaskan bahwa kejadian ini tidak ada sangkut pautnya dengan politik. Kendati demikian, tercatat dua peristiwa penembakan serupa yang terjadi di Sampang pada 2018 dan 2019, atau ketika tahun politik dilangsungkan.

Di sisi lain, intimidasi kian marak dalam beragam rupa pada pesta demokrasi kali ini. Capres-cawapres nomor urut 1, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (AMIN) misalnya, menjadi sasaran perusakan baliho yang menampilkan wajah mereka di sejumlah daerah.

Selain itu, melalui rilis resmi, Selasa (2/1/2024), Jubir Timnas AMIN, Usamah Abdul Aziz, menegaskan pihaknya akan mendampingi proses hukum jika ada kekerasan dan intimidasi yang menimpa relawan dan pendukung AMIN.

Usamah juga menyinggung perihal dugaan kasus intimidasi yang dialami simpul relawan AMIN di Lampung. Diduga terjadi kasus perusakan tempat tinggal dan pembantaian sapi milik simpatisan AMIN. Dia menyatakan masih memperdalam kasus ini.

“Soal pelemparan batu kami belum ter-update. Soal sapi sedang didalami oleh tim hukum,” kata Usamah.

Mencari Akar Kekerasan

Sejumlah dugaan kekerasan yang mewarnai Pemilu 2024 menandakan pekerjaan rumah mewujudkan pesta demokrasi yang aman dan damai masih jalan di tempat. Kasus kekerasan yang terjadi hampir pada setiap tahun politik, sudah semestinya mendapatkan mitigasi serius dari seluruh pihak. Pesta demokrasi tidak boleh dijadikan arena tarung bebas yang brutal dan penuh kekerasan. Tidak perlu ada pertumpahan darah hanya karena beda jagoan kontestan.

Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, menilai kekerasan dalam pemilu tidak akan terjadi jika semua pihak, khususnya aparatur negara, menjunjung tinggi prinsip pemilu yang jujur, bebas dan adil.

Misalnya, dalam kasus kekerasan aparat keamanan terhadap relawan, hal ini tidak terjadi dalam ruang yang kosong. Peristiwa ini harus dibaca dalam konteks dugaan ketidaknetralan negara dalam kontestasi politik elektoral hari ini, bukan sekadar akibat kesalahpahaman di jalan atau arogansi.

“Yang utama menurut saya adalah sikap aparatur negara yang seringkali partisan, sehingga memunculkan tindakan-tindakan yang berlebihan terhadap pihak lain yang dipandang sebagai lawan politik,” kata Gufron kepada reporter Tirto, Rabu (3/1/2023).

Gufron meminta semua pihak, termasuk penyelenggara pemilu dan kontestan, agar patuh dan tunduk pada aturan kepemiluan. Dia menegaskan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan elektoral.

“Khusus untuk penyelenggara pemilu, harus tegas dan berani menindak siapapun yang melakukan pelanggaran. Nggak boleh ada pemihakan terhadap salah satu paslon,” ujar Gufron.

Peneliti dari Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, menyebut kekerasan dalam konteks pemilu seringkali berakar pada faktor-faktor psikologis dan sosial-politik. Faktor psikologis misalnya, meliputi identifikasi kelompok yang kuat, di mana individu merasa sangat terikat dengan kelompok atau partai politik mereka sehingga berpotensi mengarah pada perilaku antagonis pada kelompok lain.

“Dari sisi sosial-politik, kekerasan seringkali dipicu oleh ketidakpuasan terhadap sistem politik, manipulasi oleh elit politik, atau propaganda yang memicu ketakutan dan kebencian,” ujar Wawan kepada reporter Tirto, Rabu (3/1/2024).

Menurut Wawan, kontestan pemilu dan partai politik pengusung memiliki tanggung jawab signifikan dalam menjaga pesta demokrasi yang damai. Beberapa cara bisa dilakukan seperti mendorong dialog konstruktif, mengutamakan pendidikan politik, dan menghindari bahasa yang memicu polarisasi atau kebencian.

“Mereka harus berkomitmen pada etika politik yang bertanggung jawab, menghormati prinsip demokrasi, dan mengakui legitimasi oposisi,” tutur Wawan.

Dia menambahkan, kekerasan yang berulang dalam pemilu terkait dengan struktur dan dinamika politik yang tidak berubah secara signifikan dari waktu ke waktu. Ketidakstabilan politik, lemahnya penegakan hukum, dan impunitas terhadap pelaku kekerasan masa lalu, menciptakan lingkungan di mana kekerasan menjadi alat politik yang berulang.

Menanti Ketegasan dan Pengawasan

Pakar Kepemiluan dan Hukum dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, menyatakan praktik pemilu Indonesia belum mengarah pada relasi politik gagasan yang terbiasa dengan dialektika dan diskursus ide. Dengan begitu, upaya mencegah praktik kekerasan berulang dalam pemilu, harus dilakukan melampaui fase pesta demokrasi itu sendiri.

“Kondisi masyarakat, budaya hukum, dan penegakan hukum hal yang sangat menentukan,” ujar Titi kepada reporter Tirto, Rabu (3/1/2024).

Titi menilai, pengawasan dan penegakan hukum saat ini belum efektif. Akar kekerasan di masyarakat masih sangat kuat sehingga dendam dan konflik di luar pemilu bisa ikut terbawa di tahun politik. Maka, penyelenggara pemilu harus bekerja profesional dan berintegritas agar tidak memicu terjadinya kecurigaan antarkelompok.

“Harus diakui, kekerasan juga bisa dipicu oleh keraguan terhadap integritas penyelenggara pemilu atau karena penyelenggara pemilu yang dianggap tidak netral dan berpihak pada salah satu peserta,” terang Titi.

“Publik perlu meyakini bahwa setiap pelanggaran dan kecurangan pasti akan ditindak sepadan oleh pengawas dan penegak hukum pemilu,” tambah dia.

Hal senada diungkapkan Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Ihsan Maulana. Ia menyampaikan bahwa penyelenggara pemilu perlu serius membuat mitigasi risiko, khususnya pada tahapan-tahapan krusial pemilu. Di antaranya mitigasi risiko pada tahapan kampanye, pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi suara.

“Peserta pemilu harus mengubah cara-cara lama, pendekatan yang sudah jadul untuk mengambil simpatisan publik,” kata Ihsan kepada reporter Tirto.

Dia menambahkan, perlu ada efek jera diberikan kepada peserta pemilu yang terbukti menyalahi UU Pemilu dan melakukan tindak pidana pemilu sehingga memancing kekerasan di akar rumput. Sanksi berupa diskualifikasi perlu diambil, untuk memberikan efek jera dan tidak lagi menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan aturan.

“Dan ini semua bisa diatur oleh KPU melalui Peraturan KPU tentang kampanye dan Bawaslu melalui Peraturan Bawaslu tentang Pengawasan Kampanye,” ujar Ihsan.

Respons Penyelenggara Pemilu

Komisioner Bawaslu, Puadi, menyatakan pihaknya telah memprediksi potensi pelanggaran dan kerawanan Pemilu 2024. Bawaslu menilai, politik intimidasi masih mengancam pemilih untuk memilih kontestan tertentu.

Selain itu, praktik politik permusuhan yaitu menyebarkan ujaran kebencian pada kontestan tertentu juga masih terjadi.

“Hal ini terbaca pula pada indeks kerawanan Pemilu 2024 yang telah diluncurkan Bawaslu,” kata Puadi kepada reporter Tirto, Rabu (3/1/2024).

Dia menyampaikan, Bawaslu telah memperingati kontestan pemilu untuk tidak melakukan politik intimidasi. Hanya saja, kata dia, harus diakui efektivitasnya kembali kepada penerapannya di masyarakat.

“Terkait dengan literasi politik yang masih perlu ditingkatkan bersama melalui upaya kolaboratif semua stakeholder pemilu,” tambah Puadi.

Hingga berita ini ditulis, Tirto sudah mencoba meminta tanggapan KPU ihwal persoalan ini lewat Komisioner KPU, August Mellaz dan Idham Holik. Namun permintaan wawancara yang dikirimkan ke ponsel keduanya belum mendapatkan respons.

Di sisi lain, Komisioner KPU, Betty Epsilon Idroos, sempat menjawab pesan permintaan wawancara Tirto dengan berujar akan menjawab dalam waktu yang agak lama. Dia mengaku belum sempat menjawab karena masih memimpin rapat.

Namun hingga berita ini ditulis, konfirmasi ulang yang dilayangkan ke ponsel Betty belum berbalas. “Saya slow respons ya, sedang mimpin rakor via zoom,” ujar Betty.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Politik
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz