Menuju konten utama

Pemerintah Evaluasi Dampak Larangan Ekspor CPO ke Ekonomi

Kemenkeu menyebut akan melakukan evaluasi berkala terkait dampak ekonomi dari pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng beserta turunannya.

Pemerintah Evaluasi Dampak Larangan Ekspor CPO ke Ekonomi
Pekerja mengumpulkan kelapa sawit di Desa Mulieng Manyang, Kecamatan Kuta Makmur, Aceh Utara, Aceh, Rabu (3/11/2021). ANTARA FOTO/Rahmad/hp.

tirto.id - Pemerintah akan melakukan evaluasi secara berkala terkait dampak ekonomi dari pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng, crude palm oil (CPO) dan turunannya. Kebijakan larangan ekspor CPO sendiri bersifat sementara dan sudah berlaku efektif sejak 28 April 2022.

"Ini akan terus kami evaluasi. Yang jelas, tadi seperti saya sampaikan di depan prioritas pemerintah itu jelas menjaga momentum pertumbuhan ekonomi," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu dalam bincang media, Jumat (13/5/2022).

Febrio mengatakan fokus pemerintah saat ini adalah menjaga daya beli masyarakat miskin dan rentan serta menjamin ketersediaan bahan pokok untuk mengakselerasi pemulihan ekonomi terus menguat. Pemerintah juga meletakkan APBN sebagai shock absorber atau penahan guncangan di saat ekonomi tengah dalam proses pemulihan.

"Prioritas-prioritas tersebut di atas ini terus akan kami lihat dan evaluasi hari demi hari, minggu demi minggu memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi, beli masyarakat, serta ketersediaan bahan pokok di Indonesia juga tetap terjaga," ujar Febrio.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira sebelumnya menyoroti larangan ekspor CPO dan produk turunannya akan merugikan Indonesia. Sebab pemerintah akan kehilangan devisa dari hasil ekspor komoditas tersebut.

Berdasarkan catatan Bhima, pada Maret 2022 ekspor CPO nilainya mencapai 3 miliar dolar AS. Jika larangan ini dilakukan selama kurun waktu satu bulan penuh, maka negara akan kehilangan devisa sebesar Rp43 triliun. Di mana angka itu setara 12 persen dari total ekspor nonmigas.

"Ini bisa ganggu stabilitas rupiah juga karena devisa ekspornya terganggu," kata Bhima kepada Tirto.

Belum lagi, kata Bhima, jika larangan ini efektif dilakukan kapasitas industri di dalam negeri tidak sanggup menyerap kelebihan pasokan CPO. Sehingga hal ini berdampak terhadap kelebihan pasokan atau over supply.

Mengutip data Indeks Mundi, tahun lalu produksi minyak sawit Indonesia mencapai sebanyak 44,5 juta ton. Sementara merujuk data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) angkanya lebih besar lagi, yakni tembus 46,8 juta ton. Dari total tersebut, kebutuhan dalam negeri untuk penggunaan minyak goreng hanya sekitar 10 persennya saja.

“Penggunaan untuk minyak goreng hanya 5-6 juta ton alias 10 persennya. Sisanya mau disalurkan kemana kalau setop ekspor?" kata Bhima mempertanyakan.

Di samping itu, Bhima khawatir kebijakan larangan ekspor CPO ini akan menimbulkan gelombang protes dari negara-negara tujuan ekspor Indonesia. Apalagi, India, Cina, dan Pakistan merupakan tiga negara importir CPO terbesar dari dalam negeri.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor CPO ke Negeri Tirai Bambu tersebut mencapai 4,55 miliar dolar AS sepanjang Januari-November 2021 lalu. Nilai tersebut mencapai 17,47 persen dari total nilai ekspor minyak sawit Indonesia.

Negara tujuan ekspor CPO terbesar berikutnya adalah India, yakni sebesar 3,11 miliar dolar AS (11,96 persen). Diikuti Pakistan sebesar 2,46 miliar dolar AS "[Mereka] merasa dirugikan dengan kebijakan ini," imbuh Bhima.

Baca juga artikel terkait LARANGAN EKSPOR CPO atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Restu Diantina Putri