tirto.id -
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) meminta Kemendikbud mengkaji kembali wacana Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dimasukkan kembali di kurikulum sekolah. FSGI memandang, wacana penghidupan PMP bertolak belakang dengan semangat reformasi pendidikan Indonesia.
"Menghidupkan kembali PMP jadi matpel baru, sangat bertolak belakang dengan semangat reformasi dan menyalahi UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 yang sekarang masih berlaku," kata Sekjen FSGI Heru Purnomo dalam keterangan tertulis, Rabu (28/11/2018). Heru menyinggung pasal 37 (ayat 1) UU Sisdiknas yang menjelaskan kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat (b) Pendidikan Kewarganegaraan, tidak akan ditemukan nama PMP. Kemudian aturan tersebut dikuatkan dalam semua Permendikbud tentang Standar Isi dan aturan teknis penyelenggaraan Kurikulum 2013 lainnya, tidak akan menemukan nama PMP. "Jadi apa yang dilakukan Kemdikbud ini sudah keliru secara yuridis”, ungkap Heru yang saat ini menjadi kepala sekolah di salah satu SMPN di Jakarta Timur.
Kemudian, metode belajar yang diterapkan PMP di era Orde Baru bertabrakan dengan mata pelajaran PPKN. Heru menjelaskan, PMP lahir pada tahun 1975 yang kemudian berubah menjadi Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) tahun 1978.
Pada saat itu, materi yang diajarkan bermuatan nilai-nilai normatif Pancasila, yang harus dihafalkan oleh para siswa di ruang kelas. Materi tersebut dinilai tidak jauh berbeda dengan PPKN saat ini.
Hal senada juga diungkapkan Satriwan Salim, Wasekjen FSGI. Satriwan menganggap isi PMP sama dengan PPKN. Saat ini, PPKN sudah memuat nilai penting dari PMP yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. "Jadi sangat aneh jika Kemdikbud ingin menghidupkan kembali PMP. Membuang-buang tenaga, energi dan pikiran. Lagipula hal tersebut jelas-jelas salah secara konsep akademis dan filosofisnya," kata Satriwan yang juga Pengurus Asosiasi Profesi PPKn Se-Indonesia (AP3KnI). FSGI menilai pemerintah justru salah sasaran dengan menerapkan kembali PMP. Mereka memandang, permasalahan
dalam dunia persekolahan (pendidikan) adalah beban yang terlampau banyak, yang mesti dipikul guru dan siswa. Keberadaan PMP akan menjadi beban baru bagi siswa. Mereka menilai, pemerintah sebaiknya berfokus pada perubahan kurikulum yang notabene masih bermasalah. Sampai saat ini, sistem pendidikan nasional Indonesia masih bersifat kebijakan yang reaksioner, emosional, dan terkesan simbolis, mengutamakan merek atau nama. Kebijakan pendidikan yang tidak berkelanjutan (diskontinu), formalistik, dan mementingkan nama ketimbang isi tersebut, adalah perusak masa depan pendidikan anak bangsa kita sesungguhnya.
"Mestinya Kemdikbud itu fokus saja memberi pelatihan Kurikulum 2013 (revisi) yang masih membingungkan bagi banyak guru, disain pembelajaran abad 21, keterampilan berpikir, praktik literasi, penilaian dan lainnya. Inilah yang belum dirasakan secara penuh oleh para guru. Pelatihan yang Berbobot, Berkualitas, Bermanfaat, Berkelanjutan dan Evaluatif (4B 1E). Bukan yang asal pelatihan tanpa evaluasi dan berkelanjutan," kata Satriwan. tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri