tirto.id - Muhammad Dasuki merasa kliennya, Suteki, dicopot dari jabatannya "tanpa mekanisme yang benar." Karena itu Dasuki memutuskan menggugat pihak yang membebastugaskan kliennya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, Rabu (21/8/2019) kemarin.
Suteki juga sudah melaporkan kasus ini ke polisi pada Mei lalu dengan delik pencemaran nama baik.
Suteki dipecat--atau bahasa hukumnya dibebastugaskan--oleh Rektor Universitas Diponegoro (Undip) Yos Johan Utama karena dianggap melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 53/2010 tentang disiplin pegawai negeri sipil pada Juni tahun lalu.
Suteki adalah Guru Besar Fakultas Hukum Undip yang dikenal sebagai pakar Filsafat Pancasila. Jabatannya yang dipreteli adalah Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum, Ketua Senat Fakultas Hukum, dan anggota senat akademik.
Kepada reporter Tirto, Juli tahun lalu, dia bilang tahu jabatannya dicopot "lewat media."
Menurutnya dia tidak dicopot karena tidak disiplin sebagai PNS. "Aneh," katanya, kalau alasannya itu. "Saya yakin semua aparatur sipil negara pernah membolos."
Suteki mengatakan alasan utama dia dibebastugaskan adalah karena jadi ahli dalam uji yudisial Perppu Ormas di Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan Hizbut Tahrir Indonesia--ormas yang kini status badan hukumnya telah dicabut.
"Saat saya jadi ahli," katanya, "posisi saya berada di seberang pemerintah." Meski demikian di depan hakim dia menegaskan bahwa keterangannya di MK dan PTUN "bukan sebagai ASN, tapi sebagai pribadi sesuai keahlian saya."
Dia juga menegaskan bahwa kebebasannya dalam berpendapat diatur dalam undang-undang.
Ringkasnya, Suteki merasa dia dicopot karena dianggap berideologi yang sama dengan HTI.
Dasuki mengemukakan hal serupa. "Suteki dituduh berafiliasi dengan HTI dan anti-Pancasila."
Dasuki berharap dalam sidang nanti Rektor Undip bisa membuktikan bentuk pengkhianatan atau pemberontakan yang dilakukan kliennya. Jika tidak, Dasuki meminta PTUN membatalkan surat pembebastugasan yang diterbitkan Rektor Undip.
Tidak Tepat
Pengajar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia Defny Holidin mengatakan jika benar dasar pemecatan adalah pandangan politik, maka keputusan rektor tidak dapat diterima.
"Itu kan hanya sekadar pandangan saja, dan pandangan tidak boleh dihakimi," katanya kepada reporter Tirto, Jumat (23/8/2019). Lagipula itu belum terbukti. "Mengajar Pancasila dan kewarganegaraan saja sudah bisa membantah dosen itu punya pandangan yang melawan Pancasila."
"Kecuali kalau rektor memiliki bukti kalau dia mengajarkan yang salah dengan Pancasila," katanya. "Tapi," kata Defny melanjutkan, "kalau selama ini dosen tersebut tidak dikeluhkan saat mengajar, sebetulnya tidak perlu dipersoalkan."
Suteki sendiri sebetulnya telah menegaskan "tidak berhubungan dan bukan HTI." Dia juga mengaku aneh dianggap pendukung khilafah karena "sudah mengajar Pancasila dan Filsafat Pancasila selama 24 tahun."
Kepala Bidang Advokasi Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) Faisal Santiago menegaskan seharusnya pembebastugasan tidak bisa dilakukan sebelum ada keputusan pengadilan. Kecuali, katanya, jika memang ada aturan tertulis dalam statuta kampus yang menyebutkan dosen tidak boleh berideologi tertentu.
"Kecuali tidak ada mekanisme seperti itu, tentu [Suteki] bisa membela," kata Faisal kepada reporter Tirto.
Reporter Tirto sudah menghubungi Rektor Undip sejak Kamis kemarin hingga hari ini melalui WhatsApp dan telepon. Namun hingga berita ini tayang yang bersangkutan tidak merespons.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino