tirto.id - Didin Tulus, seorang pegiat literasi di Bandung, Jawa Barat, 'dipolisikan' oleh Taufik Faturohman pada 6 Juli 2020 lalu atas dugaan pencemaran nama baik pasal 45 ayat 3 UU ITE. Dasar pelaporan ini adalah curahan hati yang bersangkutan di media sosial.
Ia pertama kali menjalani pemeriksaan di Mapolrestabes Bandung pada Rabu (18/9/2020). Didin diperiksa enam jam, pukul 10.00-16.00. Ia mengatakan mendatangi panggilan kepolisian dengan "perasaan takut, waswas, dan tanpa uang."
Ini bermula ketika Didin mengomentari status Facebook milik temannya yang bernama Aan Merdeka Permana pada 4 Juli 2020. Akun tersebut menuliskan rencana pembagian buku secara gratis di sebuah daerah. Dia berkomentar dengan menceritakan kisah anaknya, bersekolah di MI, harus membeli buku Bahasa Sunda untuk kebutuhan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Jika tidak, anaknya terancam tak naik kelas.
Didin bilang ini sulit karena keadaan ekonomi tengah morat-marit. Didin tidak memiliki penghasilan tetap. Untuk bisa bertahan hidup, dia berjualan buku, cangkir, kaldu jamur, dan gula semut kecil-kecilan. Kadang laku, kadang tidak. Kalaupun habis terjual, tak seberapa hasilnya.
Ditambah lagi ada pengeluaran tak sedikit untuk biaya transfusi darah anaknya yang menderita thalasemia.
"Dengan uang itu, saya bisa menebus obat anak saya dengan biaya besar setiap bulannya. Itu baru satu jenis obat. Belum lagi obat lainnya, sedikitnya ada tiga jenis obat tiap hari dan termasuk untuk biaya transfusi darah," tulis Didin.
Dalam komentar, Didin juga menandai (tag) seorang penulis buku, Tatang Sumarsono. Tatang membalasnya dengan menandai orang lain, yang tidak lain si pelapor, Taufik Faturohman. Taufik adalah penerbit Geger Sunten yang menerbitkan buku yang diunggah Didin. Didin sendiri tak mengenal Taufik.
Taufik menanggapi komentar Didin perihal buku yang diterbitkan olehnya. Didin tak merespons lagi setelahnya, tapi dia membalas lagi unggahan Aan dengan kalimat: "asa ningnang budayawan jadi mafia."
Entah kenapa Taufik merasa tersinggung dan meminta Didin menjelaskan apa yang dimaksud "asa ningnang budayawan jadi mafia." Didin tak menggubris. Taufik lantas mencaci-maki Didin dan melontarkan kalimat yang tidak pantas dan bernada kasar dalam bahasa Sunda. Pernyataan ini jadi dasar ia melapor ke polisi.
Taufik bahkan menyebarkan data pribadi Didin di Facebook, seperti identitas, nomor telpon, alamat, hingga salinan laporan polisi.
Pengacara Didin, Asri Vidya Dewi, mengatakan "asa ningnang budayawan jadi mafia" tak menunjuk siapa pun, apalagi Taufik yang sama sekali tak dikenal kliennya. "Dia komentar di statusnya Aan. Itu kan hanya ungkapan saja, curhatan, tidak ada nuduh orang jadi mafia," kata Asri kepada reporter Tirto, Kamis (24/9/2020).
"Secara hukum saya melihat tidak ada unsur-unsur penghinaan atau perbuatan pencemaran nama baik. Justru sebaliknya, dia (Taufik) yang kaya gitu kepada keluarga Pak Didin," katanya. "Ini menurut saya penzaliman, tidak punya hati nurani saja dari orang yang punya kuasa."
Asri bilang Didin ditanya banyak hal oleh polisi. "Pas ditanya maksudnya ke siapa 'budayawan jadi mafia', pak Didin bilang, 'tidak ada, saya tidak menuduh ke siapa pun'. Pak Didin itu orangnya polos, dia akan jawab apa adanya," katanya.
"Lagipula apakah pelapor itu budayawan? Kan dia penerbit buku."
Keluarga Didin juga mendapat teror lewat telepon sebanyak dua kali dari nomor tak dikenal, kata Asri. Oleh karena itu selain bantuan hukum ia juga meminta bantuan psikolog untuk memulihkan kembali psikis keluarga Didin. "Karena keluarga sampai sekarang masih syok dan ketakutan."
Status Didin kini masih saksi dan dalam tahap penyelidikan. Asri bilang dia mendorong polisi untuk melibatkan ahli hukum dan bahasa untuk menilai komentar yang dilontarkan oleh Didin maupun Taufik. Asri dan beberapa rekan lain juga berusaha agar Taufik mau mencabut laporannya. Polisi pun, kata dia, menyarankan agar permasalahan ini diselesaikan secara kekeluargaan.
"Ini butuh kerendahan hati dari pelapor," kata Asri.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan seharusnya polisi tidak perlu menggubris laporan Taufik. Pasalnya, Didin tidak menyebutkan secara spesifik siapa orang yang dia maksud.
"Dia (Taufik) siapa? Kan enggak disebut sama sekali namanya sama Didin dan tidak ada hinaan terhadap dirinya. Artinya enggak berhak mengadu," kata dia kepada reporter Tirto, Kamis.
Polisi pun semestinya lebih cermat, terutama memastikan apakah terdapat unsur pidana atau tidak. Ketika memanggil Didin selaku terlapor pun, polisi harus memiliki dasar, tidak memanggilnya tanpa alasan yang jelas.
"Karena polisi harus sadar itu bisa mengancam kebebasan berekspresi dan mengancam demokrasi. Kalau begini, polisi bikin takut masyarakat. UU ITE emang bermasalah sudah sampai ubun-ubun," pungkasnya.
Dukungan Pegiat Literasi
Apa yang dialami Didin memicu solidaritas dari para pegiat literasi lain. Pemerhati budaya Sunda, Hawe Setiawan, mengatakan ia bersama dosen Sastra Sunda Unpad Teddi Muhtadin dan rekan lain mencoba memediasi keduanya. Sayangnya Taufik belum merespons.
"Kebetulan kenal secara pribadi dengan kedua belah pihak. Saya sangat mengharapkan kasus ini tidak sampai berkepanjangan. Saya mengharapkan ada semacam perdamaian," kata dia kepada reporter Tirto, Kamis.
Pegiat literasi lain yang juga penerbit buku Ultimus, Biven Sandalista, juga memberikan solidaritas kepada Didin. Ia memanfaatkan popularitasnya di media sosial untuk terus menyuarakan kasus ini agar mendapatkan perhatian publik.
"Mencoba menyuarakan terus kasus ini dan menyatakan solidaritas kepada Didin, dengan tujuan supaya pelapor terdesak dan akhirnya bersedia dimediasi, berdamai, lalu mencabut laporan ke polisinya," ucapnya kepada reporter Tirto, Kamis.
Bilven bilang kebetulan saat menerima surat panggilan ia sedang bersama Didin. Sejak saat itulah dia, dengan dibantu pegiat literasi lain, terus memberikan pendampingan kepada Didin, baik dari segi hukum hingga psikis.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino