tirto.id - Kosmopolitanisme dalam bisnis global juga dapat kita telaah dari arus tenaga kerja yang sangat cair. Hal ini dapat terlihat dari posisi petinggi-petinggi dari sebuah perusahaan seperti komisaris, direktur, chief executive officer (CEO), atau chief operating officer (COO) yang dijabat oleh orang dari berbagai bangsa. Kita mengenal nama-nama seperti berdarah India seperti Sundar Pichai yang menjabat sebagai CEO Google atau Satya Nadella sebagai CEO Microsoft sebagai contoh.
Hal yang sama juga bisa ditemui di Indonesia. Jajaran manajemen di beberapa perusahaan publik terbesar di negeri ini seperti Indosat Ooredo, XL Axiata, dan PT Gudang Garam Tbk turut dihiasi oleh nama-nama dari mancanegara. Beberapa di antaranya bahkan menempati posisi-posisi paling vital yang menentukan kinerja perusahaan seperti presiden direktur, komisaris, atau chief financial officer (CFO).
Pasang-surut Peran Ekspatriat
XL Axiata merupakan salah satu perusahaan yang banyak mendayagunakan tenaga asing di jajaran manajemennya dengan memasang 7 warga asing. Sejumlah 4 orang menduduki posisi komisaris: Azran Osman Rani (Malaysia), Chari TVT (India), Dato Sri Jamaluddin bin Ibrahim (Malaysia), serta Peter J.Chambers (Australia) sebagai Komisaris Independen.
Posisi Presiden Komisaris di XL Axiata juga ditempati oleh seorang warga negara Malaysia, Tan Sri Dato'Ir.Muhammad Radzi bin Haji Mansor. Selain itu, dua warga asing juga menjabat sebagai direktur di XL Axiata: Willem Lucas Timmermans (Belanda) dan Mohamed Adlan bin Ahmad Tajudin (Malaysia).
Dari sisi pendapatan, Dewan Komisaris di XL Axiata—yang beranggotakan 7 orang-- diganjar dengan total remunerasi (imbal jasa atas keuntungan perusahaan) dan tunjangan sebesar Rp8.512.866.666 pada 2015. Masih di tahun yang sama, Dewan Direksi perusahaan ini—berjumlah 4 orang-- mendapatkan total remunerasi sebesar Rp39.989.573.851.
Performa XL Axiata selama berada di bawah pimpinan para petinggi asing ini relatif stabil. Pada tahun 2013, XL Axiata membukukan pendapatan sebesar Rp 21.350 miliar. Angka ini sempat naik menjadi Rp 23.569 miliar pada 2014 dan kembali turun ke angka Rp22.960 miliar pada 2015.
Kompetitor XL Axiata di sektor telekomunikasi, Indosat Ooredo, tercatat memiliki lima orang direksi yang berasal dari India. Kelima orang itu antara lain: Prashant Gokarn di posisi Chief New Business & Innovation Officer, Caba Pinter (Direktur & Chief Financial Officer), John Martin Thompson (Direktur & Chief Technology Officer), Dr. Andreas Gregori (Chief Marketing Officer), dan Thomas Chevanne (Chief Strategy & Experience Officer).
Nama-nama direksi Indosat Ooredo tersebut menempati posisi-posisi yang sangat berpengaruh terhadap kinerja perusahaan secara umum. Apabila ditilik dari tingkat keuntungan Indosat Ooredo yang yang selalu meningkat selama tiga tahun terakhir, dapat disimpulkan bahwa kinerja para direksi asing ini sangat baik. Indosat Ooredo berhasil membukukan pendapatan sebesar Rp23.855,3 miliar pada 2013 yang meningkat ke angka Rp24.085,10 miliar pada 2014. Pendapatan Indosat Ooredo kembali melesat ke angka Rp26.768,5 pada 2015.
Keberadaan ekspatriat di jajaran pimpinan perusahaan tidak selalu berdampak positif terhadap kinerja perusahaan. Apa yang terjadi pada PT Bank Danamon Indonesia bisa menjadi contoh. Meskipun memiliki dua orang Komisaris dari Singapura (Gan Chee Yen & Ernest Wong Yuen Weng) dan Presiden Komisaris dari negara yang sama (Ng Kee Choe) serta Presiden Direktur dari Singapura (Sng Seow Wah) dan Direktur asal Kanada (Satinder Pal Singh Ahluwalia), mereka tidak bisa menolong Danamon dari penurunan laba.
Bank Danamon membukukan pendapatan Rp4.159 miliar pada 2013. Angka ini kemudian melorot drastis menjadi Rp2.683 miliar pada 2014. Pendapatan Bank Danamon kembali turun menyentuh angka Rp2.469 pada 2015.
Pro-kontra Ekspatriat di Pucuk Pimpinan
Posisi ekspatriat sebagai petinggi perusahaan, khususnya chief executive officer (CEO), sempat mendapatkan gugatan dari pemerintah. Menteri Tenaga Kerja masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Muhaimin Iskandar, menerbitkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 40 Tahun 2012 tentang jabatan-jabatan tertentu yang dilarang diduduki tenaga kerja asing. Aturan tersebut memuat 19 posisi yang tidak boleh ditempati oleh ekspatriat, termasuk CEO.
Keputusan Muhaimin tersebut langsung mendapatkan reaksi negatif dari kalangan pengusaha. Hal ini dianggap dapat mempengaruhi kinerja perusahaan. Pelarangan ini juga diklaim menciptakan preseden buruk di mata investor asing.
Muhaimin Iskandar segera berusaha meredam polemik yang muncul. Ia mengaku, publik telah salah mengartikan peraturan yang dikeluarkannya itu.
“CEO yang dimaksud di sini bukan CEO yang top manajemen tapi kepala kantor dalam bidang personalia dan administrasi,” dalih Muhaimin seperti dikutip dari hukumonline.com.
Perdebatan serupa juga sempat muncul pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Dalam satu kesempatan, Ketua Umum Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) Fransiscus Welirang, menyuarakan keberatannya atas larangan komisaris perusahaan terbuka berasal dari ekspatriat kepada presiden. Fransiscus menyatakan, larangan itu bersumber dari Surat Keputusan Kementerian Tenagakerjaan No.35 tahun 2015.
Presiden Joko Widodo mengaku terkejut atas pengakuan Fransiscus. Ia menegaskan, pemerintah telah mengganti ketentuan tersebut sehingga perusahaan nasional bisa tetap memakai komisaris asing.
"Saya kira dua bulan yang lalu sudah diberesin, katanya (Menteri Ketenagakerjaan) ngomong ke saya sudah beres, kalau belum beres, ada konsekuensinya, coba saya cek lagi dan saya sudah baca, enggak masuk SK ini," papar presiden seperti dikutip dari Tribunnews.
Keberadaan ekspatriat di pucuk pimpinan perusahaan nasional tidak bisa dihindari di era tanpa batas seperti sekarang. Indonesia butuh ekspatriat di pucuk pimpinan perusahaan sebagai sumber pembelajaran. Selain itu, keberadaan para ekspatriat di jajaran direksi atau komisaris seringkali berperan sebagai perwakilan dari para pemegang saham yang berasal dari luar Indonesia.
Kinerja Gemilang CEO Lokal
Perusahaan di Indonesia sendiri kebanyakan masih mempercayakan pucuk pimpinan perusahaan kepada orang lokal. Hasilnya pun tak kalah mengesankan. Performa para CEO lokal tampaknya masih cukup memadai untuk mengerek performa perusahaan.
Hal ini bisa kita lihat dari berbagai daftar CEO terbaik di Indonesia. Sebagian besar daftar tersebut diisi oleh nama-nama lokal. Daftar Top 10 CEO Indonesia 2015 versi Bisnis Indonesia seluruhnya diisi oleh nama-nama lokal seperti Alex J. Sinaga (Telkom), Arif Wibowo (Garuda Indonesia), dan Budi Karya Sumadi (Dirut Angkasa Pura II, sekarang Menteri Perhubungan).
Hal yang sama juga tampak dari Top 10 CEO versi Warta Ekonomi 2015 yang menyertakan nama-nama seperti Abiprayadi Riyanto (Mandiri), Anthoni Salim (Indofood), dan Handojo Selamet Muljadi (Tempo Scan Pacific). Sementara itu, dalam daftar Top 10 Indonesian Company 2015 yang dirilis Forbes Indonesia, seluruh CEO dari perusahaan-perusahaan yang berhasil masuk daftar merupakan orang Indonesia.
Nama CEO asing baru bisa kita temui di daftar 10 CEO dengan pendapatan tertinggi versi Warta Ekonomi 2015. Dalam daftar tersebut, terpampang dua nama CEO ekspatriat: Jason Fitzgerald Murphy (CEO Bentoel Investama) di peringkat tujuh dengan kekayaan Rp 13 miliar per tahun dan Paul Norman Janelle (CEO PT HM Sampoerna) di peringkat sembilan dengan pendapatan tahunan sebesar Rp11,5 miliar. Angka-angka itu masih terpaut hampir dua kali lipat dari CEO terkaya Indonesia yang jatuh ke tangan Jahja Setiaatmadja (BCA) dengan perolehan Rp27,5 miliar.
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti