Menuju konten utama

Panas Tak Lagi Musim: Warga dan Cuaca yang Kian Tak Menentu

Panas terik yang di sejumlah wilayah selatan Indonesia, dirasakan banyak orang. Tapi menurut BMKG ini bukan terjadi karena adanya gelombang panas ekstrem.

Panas Tak Lagi Musim: Warga dan Cuaca yang Kian Tak Menentu
Warga menyeberang jalan di tengah cuaca terik di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Rabu (15/10/2025). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkap fenomena cuaca panas yang melanda sebagian besar wilayah Indonesia disebabkan posisi gerak semu matahari yang pada Oktober berada di selatan ekuator dengan suhu maksimal 36,7 derajat celsius, dan diprakirakan akan terjadi hingga November 2025. ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/rwa.

tirto.id - “Neraka lagi bocor apa ya?”

Kalimat itu berasal dari seorang emak-emak—pelanggan Bagus Raka—pengemudi ojek online yang saban hari mangkal di kawasan sekitar Universitas Pancasila, Jakarta Selatan. Saat mendengar keluh itu, Raka menimpali, “Saya cari tukang tambal neraka dulu dah ya Bu. Ngeri banget panasnya”.

Sepekan terakhir, beberapa wilayah di Indonesia tak terkecuali Jakarta, disergap panas yang menyengat tak seperti biasanya. Saking panasnya, Raka mesti bolak-balik ke indekosnya untuk mandi tiap kali terik matahari siang menyergap.

“Badan lepek banget, banjir keringat. Enggak enak aja kalau dibilang bau sama customer kan. Pas saya pulang buat mandi, disangka males sama bini. Terus saya bilang, 'coba aja keluar 5 menit',” cerita Raka saat ditemui Tirto, Jumat (17/10/2025). Berlindung dari teriknya hari itu, dia berteduh di bawah pohon depan kampus, sambil melayani obrolan.

Saat berbincang dengan Raka, suhu di kawasan Jaksel itu berada di angka 34°C menurut situs Windy.com. Raka biasa berteduh sembari bersantai di bawah pohon kalau tubuhnya sudah tak kuat menahan paparan sinar matahari. Tapi, kalau sedang mengangkut penumpang, dia sebisa mungkin melawan rasa menyengat matahari.

Puyeng kepala jadinya. Apalagi kena panas kalau lagi macet. Nyut-nyut rasanya kepala tuh,” kata Raka, yang sudah dua tahun terakhir bergantung hidup sebagai ojol.

Newsplus Apa Musabab Kenaikan Suhu di Indonesia

Raka, ojol yang saban hari mangkal di sekitaran Universitas Pancasila, Jakarta Selatan. tirto.id/Rohman Wibowo

Bukan cuma kepala dibikin pusing, Raka juga merasakan gejala khas panas dalam, seperti tenggorokan tak nyaman saat menelan makanan. Tapi apapun itu, Raka bilang tetap ‘gas’ demi memenuhi target pendapatan seraya menafkahi istrinya. Baginya, panas terik matahari belum seberapa.

“Panas di dalam rumah lebih panas dibanding di jalan. Kompor aja bisa keluarin panas, padahal enggak ada isinya,” kelakar bapak 34 tahun itu, mencairkan suasana di hari yang kian panas itu.

Pelik akan terik matahari juga dirasa Muhammad Luthfi (28), asal Kota Semarang, Jawa Tengah. Terik panas di Semarang menjadi yang terpanas di Indonesia pada 16 Oktober kemarin. Dari informasi Windy.com per pukul 12:05 WIB, suhu di Semarang tembus 36°C. Satu hari berselang dengan jam yang sama, suhu di kota itu mencapai 34°C.

Bagi Luthfi yang bekerja lebih banyak di lapangan, sengatan matahari bak makanan sehari-hari. Tapi, panas sepekan terakhir dirasanya berbeda. Merasa panas lebih menyengat, dia pun terpaksa menyiasati siklus kerjanya.

“Beberapa hari terakhir, saya keluar kantor atau rumah untuk kunjungan ke konsumen—yang telat bayar—mesti di atas jam 2 biar enggak terpapar panas banget,” tutur pekerja berposisi bagian penagihan di perusahaan multifinance itu kepada Tirto, Jumat (17/10).

Setelah disergap sinar matahari beberapa hari belakangan, Luthfi mulai merasa meriang. Udara yang dia hirup pun terasa sekadarnya ketika berada di dalam ruangan. “Terasa sumuk kalau di ruangan yang tidak pakai AC,” ujarnya.

Newsplus Apa Musabab Kenaikan Suhu di Indonesia

Salah satu ruas jalan di Kota Semarang saat kenaikan suhu Oktober 2025. (FOTO/Dok. Pribadi)

BMKG Sebut Kombinasi 3 Faktor

Kepada Tirto, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan, setidaknya ada tiga faktor penyebab kenaikan suhu belakangan waktu ini, terlebih di wilayah Indonesia bagian selatan.

Pertama, minimnya tutupan awan. Dwikorita menjelaskan minimnya tutupan awan membuat sinar matahari mencapai permukaan bumi secara maksimal tanpa banyak hambatan. Padahal secara alami, awan berfungsi seperti “payung” atau tameng yang memantulkan dan menyebarkan sebagian radiasi matahari.

“Saat awan minim, panas lebih banyak diserap oleh permukaan bumi, sehingga suhu udara terasa lebih tinggi pada siang hari,” kata Dwikorita, Jumat (17/10).

Faktor berikutnya adalah gerak semu matahari ke arah selatan. Soal ini, Dwikorita menekankan bahwa pada Oktober ini posisi matahari berada di wilayah Lintang Selatan, sehingga wilayah Indonesia bagian selatan mulai dari Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara menerima penyinaran matahari lebih intens.

“Akibatnya, suhu udara siang hari terasa lebih terik,” ujar dia.

Fenomena cuaca panas diprakirakan hingga November 2025

Warga mengenakan penutup kepala saat cuaca terik di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Rabu (15/10/2025). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkap fenomena cuaca panas yang melanda sebagian besar wilayah Indonesia disebabkan posisi gerak semu matahari yang pada Oktober berada di selatan ekuator dengan suhu maksimal 36,7 derajat celsius, dan diprakirakan akan terjadi hingga November 2025. ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/rwa.

Kondisi ini diperparah dengan pengaruh kelembapan udara atau suhu yang terasa oleh manusia. Sebab, kelembapan udara juga berpengaruh terhadap sensasi panas yang dirasakan tubuh.

Di daerah dengan kelembapan tinggi, panas terasa lebih gerah karena keringat sulit menguap dari kulit. Sementara itu, udara terasa lebih menyengat di daerah berkelembapan rendah. Ini lantaran efek pendinginan alami tubuh berkurang.

Ditambah, ada faktor penguatan angin timuran atau Monsun Australia (angin yg bertiup dari daerah gurun di Benua Australia) yang membawa massa udara kering dan hangat. Efeknya, pembentukan awan minim serta radiasi matahari dapat mencapai permukaan bumi secara maksimal.

“Dengan masih aktifnya Monsun Australia yang bersifat kering, maka mengakibatkan kondisi udara di wilayah Indonesia bagian selatan saat ini juga kering (dalam kondisi kelembapan udara rendah). Sehingga panas matahari juga terasa lebih menyengat,” tuturnya.

Akibatnya, kata dia, kombinasi suhu dan kelembapan ini disebut “suhu terasa” (heat index), yang bisa membuat suhu 34°C terasa seperti 38–40°C. Kombinasi antara langit cerah, posisi matahari di selatan, dan variasi kelembapan udara inilah yang membuat masyarakat merasakan panas terik beberapa hari terakhir.

“Fenomena ini bersifat musiman dan alami, umum terjadi pada masa pancaroba atau peralihan musim kemarau ke musim hujan, bukan akibat terjadinya gelombang panas ekstrem,” kata dia. Lebih lanjut BMKG menyebut memperkirakan kondisi panas ini masih dapat berlangsung hingga akhir Oktober atau awal November 2025, tergantung awal masuknya musim hujan di masing-masing wilayah.

Fenomena hot spells

Profesor Klimatologi dan Perubahan Iklim, Pusat Riset dan Atmosfer BRIN, Erma Yulihastin mengatakan kenaikan suhu belakangan waktu ini disebut fenomena hot spells. Fenomena alam ini dianggap berlangsung apabila suhu rerata harian tembus melebihi 27,8°C dan terjadi berturut-turut minimal tiga hari.

Sementara itu, fenomena gelombang panas atau heatwave seperti yang terjadi di India, kecil kemungkinan akan melanda Indonesia.

“Karena Indonesia dipisahkan oleh laut sebagai negara kepulauan dan ini membantu redam tensi atau suhu. Kalau pun terjadi heatwave, itu menusuk ke arah selatan, maka yang terkena adalah Batam, Tanjung Pinang atau yang masuk Kepulauan Riau. Kecil kemungkinan Indonesia terkena heatwave secara masif,” urai Erma kepada Tirto, Jumat (17/10).

Erma mewanti-wanti terjadinya fenomena hot spells semacam ini berkelindan dengan isu perubahan iklim yang menjadi momok bagi kelangsungan bumi.

Dalam hitungan yang disepakati dunia internasional kenaikan suhu telah mencapai 1,4°C per Maret 2025. Proyeksinya temperatur global akan naik lagi hingga 1,5°C pada 2029. Padahal, prediksi kenaikan suhu hampir 2°C itu, sebelumnya diperkirakan baru terjadi pada Desember 2034.

Seturut itu, Indonesia tidak akan terlepas dari dampak perubahan iklim. “Dari proyeksi kami akan terjadi hot spells sampai 2050 dan kenaikan suhu. Daerah Jawa Timur yang paling sensitif merespons perubahan iklim,” kata dia.

Menurut kajian BRIN, wilayah Jawa Timur bakal terdampak kenaikan suhu atau perubahan temperatur. Di sisi lain, temperatur minimum mengalami penurunan di sebagian besar Pantai Utara, Jawa Tengah dan Jawa Timur serta bagian tengah Jawa Barat.

“Di Jawa Tengah dan Jawa Barat responsnya adalah menurunnya suhu minimum. Ketika terjadi penurunan suhu minimum di area pegunungan atau dataran tinggi, itu akan menyebabkan fenomena embun beku sering terjadi,” kata Erma.

Fenomena cuaca panas diprakirakan hingga November 2025

Warga menggunakan payung saat cuaca terik di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Rabu (15/10/2025). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkap fenomena cuaca panas yang melanda sebagian besar wilayah Indonesia disebabkan posisi gerak semu matahari yang pada Oktober berada di selatan ekuator dengan suhu maksimal 36,7 derajat celsius, dan diprakirakan akan terjadi hingga November 2025. ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/rwa.

Seturut itu, peneliti memprediksi Sumatra Selatan hingga Lampung bakal dalam kondisi peningkatan kekeringan yang signifikan akibat perubahan iklim. Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan juga diproyeksikan dengan kondisi alam serupa. Sementara kawasan Kalimantan Timur, yang mewadahi IKN diramalkan secara sains terancam kekeringan.

Adapun Sumatra Barat dan bagian tengah Pulau Sumatra (Jambi hingga Pekanbaru) diperkirakan dilanda peningkatan kejadian hujan ekstrem. Sehingga, kata Erma, perlu penanganan yang bersifat komprehensif untuk menghadapi perubahan iklim di depan mata.

“Jadi diperlukan bukan hanya intervensi kebijakan pengurangan karbon, tapi bagaimana Indonesia menciptakan mikro iklim. Jadi memodifikasi iklim agar semuanya turun satu derajat. Fokusnya di aksi lokal di ruang terbuka hijau diperluas di masing-masing kota,” ujar dia.

Baca juga artikel terkait FENOMENA CUACA PANAS atau tulisan lainnya dari Rohman Wibowo

tirto.id - News Plus
Reporter: Rohman Wibowo
Penulis: Rohman Wibowo
Editor: Alfons Yoshio Hartanto