tirto.id - Direktur Eksekutif Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengingatkan pemerintah perlu berhati-hati dalam menerapkan pajak bisnis digital (e-commerce).
Menurut dia, risiko pertama yang perlu diperhatikan pemerintah ialah perusahaan perintis (startup). Perlakuan khusus perlu diberikan untuk startup agar tidak mati sebelum berkembang akibat pajak.
Dia berpendapat pemerintah juga harus menyadari e-commerce tidak hanya memiliki model bisnis unik, namun juga ekosistem, yang berbeda dengan sektor usaha konvensional.
“Menurut saya di sini adalah tentang apa yang dipajaki, berapa bebannya, dan siapa yang memungut. Perlu ada administrasi yang baik sebelum ke sana, supaya orang bisa dengan mudah dan murah mengurus administrasinya,” kata Yustinus di kawasan Cikini, Jakarta pada Rabu (11/10/2017).
Karena itu, pengenaan pajak harus menyesuaikan kondisi riil di lapangan. Besaran pajak yang dikenakan pun tak semestinya memberatkan pelaku industri e-commerce.
“Tapi terus jangan sampai juga yang asing tidak bayar (pajak). Lalu (jangan sampai) yang di dalam negeri beralih ke model lain seperti media sosial,” kata Yustinus.
Yustinus berpendapat persentase pajak e-commerce yang ideal semestinya berada di kisaran 2-4 persen. Tapi, dia juga mempertanyakan informasi pasti mengenai pihak yang menjadi objek pajak itu. Sebab, sampai saat ini, Ditjen Pajak belum mengumumkan skema pasti soal pajak e-commerce.
“Belum diputuskan juga bagaimana cara memungutnya. Apakah pemilik platform, penjual, atau kurirnya? Tantangannya di situ, masing-masing punya kelebihan dan kekurangan,” ujar dia.
Paling efektif, menurut Yustinus, pajak mungkin bisa dibebankan kepada konsumen saja. Pasalnya jika dikenakan kepada kurir, tidak terlalu tepat karena tugasnya hanya pada jasa pengiriman.
“Kalau pemilik platform, belum tentu bisa karena mereka tidak tahu siapa yang berjualan,” kata dia.
Yustinus menambahkan sebenarnya pajak e-commerce bakal lebih mudah diimplementasikan apabila pemerintah memiliki Gerbang Sistem Pembayaran Nasional (National Payment Gateway/NPG).
“Misalnya pada kartu kredit atau debit, sudah termasuk pajak. Itu lebih simple dan terjamin nggak bocor. Dapat meringankan beban platform dan pelanggan,” kata dia.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan kini sedang mengkaji pembuatan aturan pajak e-Commerce. Meskipun belum ada kejelasan soal penerbitan aturan itu, DJP mengisyaratkan dalam waktu dekat regulasi itu akan terbit.
Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi mengklaim pemerintah tidak sedang mencari objek baru, namun memajaki objek yang belum terpajaki. Ken mengklaim DJP telah memikirkan strategi pengenaan pajak, baik untuk barang yang bersifat fisik maupun digital, secara matang.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Addi M Idhom