tirto.id - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebut ada tujuh perguruan tinggi negeri terpapar radikalisme. Hal ini jadi pembicaraan kisruh di internal Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Pihak Institut Pertanian Bogor, misalnya, mendesak penjelasan BNPT usai kampus itu disebut dalam temuan tersebut. Apalagi, tuduhan BNPT itu masih berbentuk pernyataan tanpa sandaran yang diklaim sebagai hasil riset.
“Supaya bisa fair, supaya lebih enak, kalau itu berdasarkan hasil kajian, apa kriterianya, metodenya bagaimana, pengambilan data seperti apa?” ujar Rektor IPB Arif Satria pada 6 Juni. Menurutnya, pernyataan BNPT itu menimbulkan stigma terhadap IPB sebagai kampus radikal.
Stigma radikal pada perguruan tinggi memang jadi pembahasan khusus di Kementerian. Menteri Ristekdikti Mohamad Nasir memanggil para rektor untuk menyikapi tudinghan BNPT; di sisi lain, ada langkah penonaktifan para dosen di tiga kampus negeri karena dianggap mendukung Hizbut Tahrir Indonesia, organisasi politik berbentuk perkumpulan yang diakui tahun 2014 tetapi kemudian dilarang pemerintahan Joko Widodo pada 2017.
Direktur Kemahasiswaan dari Kemenristekdikti Didin Wahidin berkata pernyataan BNPT berimbas buruk pada beberapa kampus. Misalnya, ada orangtua mahasiswa mengajak anak mereka keluar untuk belajar ke kampus lain.
Begitu juga terhadap mitra dari luar negeri, yang memutus kerja sama, karena enggan dikaitkan ikut mendukung perguruan tinggi radikal. “Kalau kita menyebut perguruan tinggi terpapar radikalisme itu efeknya besar,” ujar Didin kepada Tirto, Jumat pekan ketiga bulan ini.
Redaksi Tirto meminta hasil riset kepada BNPT, yang menjadi sandaran mereka menyatakan ada tujuh perguruan tinggi terpapar radikalisme. Namun, Direktur Deradikalisasi BNPT Profesor Irfan Idris berkata hasil penelitian itu masih terus berkembang.
"Ada beberapa data yang tidak bisa diberikan dan ada di masing-masing bagian,” katanya pada 7 Juli lalu.
Ia menjelaskan definisi paham radikal yang menjangkiti lingkungan kampus adalah kelompok-kelompok yang menyebarkan ideologi anti-Pancasila dan berambisi mendirikan negara khilafah dan terkait dengan jaringan teror global Negara Islam (ISIS).
"Melawan pemerintah, menolak demokrasi -- itulah subtansi yang dikenalkan oleh kelompok radikal kepada generasi muda,” ujar Irfan.
Radikalisme Agama di Perguruan Tinggi
Isu perguruan tinggi terpapar paham radikal bukanlah baru sekarang saja, terutama sejak gerakan radikalisasi agama disebut-sebut berkembang masif di ruang kampus. Subjek ini diteliti lewat profil para pelaku teror dari latar belakang pendidikan, usia, keluarga, hingga jaringan organisasi.
Dari penelusuran berita, setidaknya sejak 2009 sudah ada 17 pelaku terlibat aksi teror dikaitkan dengan latar belakang kampus mereka, termasuk penangkapan tiga terduga teroris di Universitas Negeri Riau pada awal Juni 2018. Ke-17 orang ini berasal dari pelbagai kampus dan latar studi, baik negeri maupun swasta. Paling banyak pelaku terorisme dari jurusan humaniora, lalu program studi eksakta.
Aksi terorisme pertama kali dikaitkan dengan ruang kampus pada kelompok Pepi Fernando, otak pelaku teror bom buku dan bom Serpong pada 2011. Pepi adalah alumni Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain otak teror bom buku, ia disebut otak bom Cibubur yang menargetkan Presiden Ke-5 Susilo Bambang Yudhoyono.
Terbaru adalah aksi teror bom keluarga di tiga gereja Surabaya. Pelakunya, Dita Oepriarto, dikaitkan pernah menjalani pendidikan di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Kaitan ini berbarengan dengan isu dosen di ITS yang dituduh mendukung Hizbut Tahrir Indonesia.
Terorisme, buah radikalisme agama paling revolusioner, menurut cendekiawan muslim Azyumardi Azra, mulai berkembang ketika gerakan ini tak memiliki tandingan di ruang perguruan tinggi di saat apa yang disebut "kelompok Cipayung" kurang bertaji. Menurutnya, guna menangkal pemikiran paham Islam transnasional, kelompok-kelompok mahasiswa nasionalis macam HMI, PMII, PMKRI, GMNI dibantu negara untuk lebih aktif di kampus.
“Memang ada kekhawatiran ada politisasi di kampus-kampus,” kata Azyumardi. "Tinggal mengatur mekanismenya supaya politisasi itu jangan berlebihan."
Masykuri Bakri dan Anas Saidi dalam "Peta Radikalisme Agama di Indonesia" menyebut pertarungan gerakan radikalisasi agama memuncak pasca-Soeharto 1998. Gelombang demokrasi membangunkan elemen-elemen keagamaan setelah terkubur selama rezim otoriter Orde Baru.
Corak keislaman yang biasa disebut sebagai garis keras seperti Dewan Dakwah Islamiyah, Hizbut Tahrir Indonesia, Negara Islam Indonesia—persilangan antara kultur Masyumi dan tradisi Ikhwanul Muslimin—mendapatkan simpati di kalangan kampus. Apalagi ketika organ-organ kampus lain tengah lesu.
Berdasarkan penelitian di lima kampus di Jawa (UI, IPB, UGM, Unair, dan Unibraw), Bakri dan Saidi menyebut organisasi keislaman ini masuk ke kampus melalui masjid, salah satunya kelompok tarbiyah dan Hizbut Tahrir.
"Tawaran ideologis kembali pada Alquran dan sunat secara murni dan konsekuen, sebagai pra-syarat menuju Islam kafah, merupakan jargon yang paling mudah diterima, tanpa membutuhkan argumentasi yang rumit,” tulis mereka.
Azyumardi Azra dalam satu wawancara dengan Tirto berpendapat bahwa gerakan berpaham kanan akhirnya melahirkan bibit radikalisme. Guna menangkalnya, ia menyarankan agar pemimpin universitas mengawasi fasilitas kampus seperti masjid hingga ruang pertemuan mahasiswa.
“Karena masjid, musala, dan bahkan student center itu bisa digunakan kegiatan-kegiatan radikal,” ujar Azyumardi.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam