tirto.id - Sulit dipercaya bahwa rentetan aksi bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya pada Minggu pagi (13/5/2018) dilakukan oleh pasangan suami-istri, Dita Oeprianto dan Puji Kuswati, beserta keempat anaknya. Alasannya sederhana: keluarga Dita disebut ramah kepada tetangga dan tidak tertutup dengan lingkungan sosial tempat tinggalnya.
Dita, contohnya, bekerja sebagai wiraswasta dengan menjual produk herbal minyak kemiri. Dalam menjalankan usahanya itu, ia dibantu istrinya—yang pernah bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit swasta di Surabaya. Keluarga mereka tinggal di komplek Wisma Indah, Kelurahan Wonorejo, Surabaya, perumahan yang jauh dari kesan kumuh dan padat.
Jika waktu liburan tiba, mereka biasa pelesir ke beberapa tempat, salah satunya di Kabupaten Banyuwangi: mulai dari Pantai Grajakan, Pantai Muncah, hingga Pulau Merah. Di rumah, pasangan suami-istri ini menyediakan internet dan komputer untuk anak-anaknya yang hobi bermain gim.
Pendek kata, pengeboman yang dilakukan keluarga besar Dita mematahkan asumsi umum yang selama ini berkembang bahwa terorisme kerap disebabkan oleh faktor kemiskinan dan kurangnya pendidikan.
Berdasarkan keterangan polisi, Dita Oeprianto adalah pemimpin Jamaah Ansharut Daulah (JAD) wilayah Surabaya. Sejak November 2017, polisi menetapkan JAD sebagai kelompok teroris karena menjadi pendukung utama Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Indonesia.
Peneliti dari Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Solahudin, mengatakan proses radikalisasi agama berlangsung sangat cepat tanpa pandang status pendidikan, sosial bahkan ekonomi seseorang.
Dalam proses radikalisasi, para kelompok teroris kerap menjual berbagai macam narasi tentang kenikmatan hidup di bawah naungan khilafah dan penerapan syariat Islam, serta memposisikan negara-negara Barat sebagai musuh yang membuat umat Muslim tak dapat menjalankan kewajibannya dengan tenang. Tak ketinggalan, Solahudin mengatakan, mereka juga selalu menegaskan tentang nubuat akhir zaman di mana Suriah disebut-sebuh sebagai tempat paling diberkati.
Berubahnya Teror dan Konteks Radikalisasi
Sejarah mencatat, terdapat perubahan konteks dan definisi tentang terorisme. Dulu, teror lekat dengan keberadaan kelompok anarkis seperti yang terjadi pada era 1900an ketika mereka membunuh Presiden AS William McKinley. Theodore Roosevelt, yang menggantikan McKinley, lantas menyerukan aksi sapu bersih terhadap para anarkis di AS.
Namun, sekarang, narasinya berubah. Teroris tak lagi identik dengan kelompok anarkis, melainkan dengan kelompok agama—dalam hal ini Islam.
Di era modern sendiri, menurut hasil penelitian David C. Rappoport yang termaktub lewat "Four Waves of Teror," (PDF, 2002) gelombang aksi terorisme muncul dalam empat babak. Kelompok teroris gelombang pertama, lahir pada kurun waktu 1880-1920an yang bertujuan memenangkan reformasi politik sipil ancaman rezim otokratik. Contohnya dapat dilihat pada aksi pembunuhan terhadap Tsar Rusia Alexander II. Metode bom bunuh diri telah digunakan pada periode ini.
Terorisme gelombang kedua muncul dalam rentang waktu 1920 sampai 1960an. Pada periode ini, kelompok-kelompok yang berusaha memperjuangkan kedaulatan nasional, seperti Irish Republican Army (IRA) di Irlandia, dan Front Liberation Nationale (FLN) di Aljazair, muncul ke permukaan. Rappoport menjelaskan, masa gelombang kedua berlangsung hampir 40 tahun dan surut ketika imperium kolonial bubar.
Gelombang ketiga terorisme mekar pada 1970an. Pelopornya adalah kelompok yang berideologi kiri revolusioner, seperti Brigade Merah Italia (Red Brigades) dan Japanese Red Army. Mereka menganggap dirinya sebagai pembela kepentingan negara Dunia Ketiga melawan kekuatan kapitalisme global.
Lalu, gelombang terakhir diramaikan oleh kelompok-kelompok teroris yang digerakkan ideologi revolusioner serta dorongan religius. Misalnya, Al-Qaeda. Karakteristik terpenting dari kelompok gelombang ini adalah mereka tidak ragu mengorbankan warga sipil. Karakteristik lainnya yaitu ada usaha dari mereka untuk membentuk jaringan terorisme global yang terorganisir.
Rappoport menerangkan, kelompok gelombang terakhir berbeda dengan tiga generasi sebelumnya yang cenderung membutuhkan dukungan masyarakat luas sebelum meluncurkan aksi terornya. Tiga generasi kelompok sebelumnya pun juga begitu hati-hati dalam melakukan teror. Mereka berupaya agar tak jatuh korban dari kalangan sipil.
Dari sini lantas muncul pertanyaan. Bagaimana proses radikalisasi kelompok teroris ini berlangsung?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui terlebih dahulu apa definisi radikalisasi. Anne Aly dan Jason-Leigh Striegher dalam “Examining the Role of Religion in Radicalization to Violent Islamist Extremism” (2012) yang diterbitkan Studies in Conflict & Terrorism menyebut radikalisasi merupakan proses di mana individu “diperkenalkan pada pandangan dunia tertentu yang dianggap radikal atau ekstrem.” Definisi lain mengatakan bahwa radikalisasi punya kecenderungan untuk mendukung atau menggunakan kekerasan sebagai jalan yang diperbolehkan guna mencapai tujuan yang dimaksud.
Dalam “Radicalization in the West: The Homegrown Threat Prepared” (PDF) yang disusun oleh Mitchell D. Silber dan Arvin Bhatt, proses radikalisasi dibagi menjadi empat tahap. Hasil tersebut mereka simpulkan setelah mengamati serangkaian kasus teror di Madrid (2004), London (2005), Australia (2005), dan Toronto (2006).
Empat tahapan itu antara lain fase pra-radikalisasi, identifikasi diri, indoktrinasi, dan jihadisasi. Pra-radikalisasi adalah periode awal proses radikalisasi yang menggambarkan kondisi individu terkait sebelum jadi teroris garis keras. Lalu, identifikasi diri kerap diartikan sebagai fase ketika individu mulai terpapar paham ideologi radikal yang membuat mereka menafsirkan kembali arti agama dan kehidupan.
Setelah proses identifikasi diri selesai, individu akan masuk ke tahap indoktrinasi. Proses ini merupakan momentum saat yang bersangkutan mulai meyakini bahwa tindakan jihad dibenarkan untuk mewujudkan tujuan yang dibawa kelompok tersebut. Dan terakhir ialah fase jihadisasi atau tahapan di mana individu sudah masuk ke eksekusi teror. Identitas mereka juga beralih rupa jadi “pejuang suci agama.”
Aly dan Striegher, masih dalam “Examining the Role of Religion in Radicalization to Violent Islamist Extremism,” menyatakan ada dua faktor yang menunjang proses radikalisasi. Pertama, faktor luar atau sekuler yang meliputi konteks politik, ekonomi, dan sosial. Kedua, faktor agama yang didasarkan pada interpretasi teks Islam, keyakinan untuk berjuang untuk agama, serta anggapan bahwa jihad dengan kekerasan adalah kewajiban setiap Muslim.
Tapi, menurut Aly, penyertaan narasi agama sebagai pendukung radikalisasi merupakan sesuatu “yang dibesar-besarkan.” Aly menegaskan, sejauh ini, tak ada bukti empiris yang menyatakan bahwa agama—tak hanya Islam—adalah penyebab utama munculnya terorisme-ekstremisme yang menonjolkan kekerasan. Agama hanya berfungsi menjadi perantara yang menebalkan mentalitas “kita lawan mereka” dan pembenaran untuk tindak kekerasan terhadap pihak yang dianggap “musuh.”
Yang perlu diperhatikan lagi, perkara radikalisasi makin mendapatkan tempat dengan keberadaan media sosial. Dengan adanya media sosial macam Facebook, Twitter, YouTube, dan lainnya, proses radikalisasi yang dilakukan kelompok teroris-ekstremis menjadi lebih efektif serta mampu menjangkau orang banyak di seluruh belahan dunia.
Frederic Lemieux dalam “How Radicalization and Who Is at Risk” yang dipublikasikan The Conversation berpendapat ISIS berupaya menumbuhkan jumlah pendukungnya dengan menggunakan propaganda media sosial. Mereka memanfaatkan YouTube untuk ajang promosi ideologi serta alat penyebar nilai-nilai radikalisasi.
Brookings Institute dalam laporannya berjudul “The ISIS Twitter Census” (PDF) bahkan menyebut ISIS menggunakan metrik media sosial (Twitter) untuk memetakan persebaran geografis para pendukungnya. Tak hanya itu saja, mereka juga juga menganalisa pola tweeting, rasio pengikut, dan jumlah akun yang diikuti dari masing-masing individu yang menjadi target perekrutan. Lewat taktik dan perhitungan semacam ini, ISIS lantas merumuskan strategi untuk menjaring anggota baru.
Ditangkis dengan Deradikalisasi
Anne Aly dalam tulisannya yang dimuat di The Guardian menyebutkan dua langkah yang bisa diambil untuk meredam radikalisasi. Pertama, memahami alasan maupun latar belakang mengapa individu bersangkutan terpapar gagasan radikalisme-terorisme. Kedua, melakukan intervensi baik secara persuasif maupun hukum.
Di Indonesia sendiri, langkah penanggulangan radikalisasi sebetulnya sudah ditempuh oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Menurut Direktur Jenderal Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris, program yang diambil seperti pembinaan terhadap narapidana terorisme melalui assesment atau penilaian.
Selain assesment, Irfan mengatakan, langkah-langkah deradikalisasi dari BNPT sudah diupayakan semaksimal mungkin. Setiap narapidana terorisme diidentifikasi dan direhabilitasi. Tidak sedikit juga dari mereka yang dibantu untuk berbisnis agar bisa kembali ke masyarakat.
Nasir Abbas, mantan narapidana terorisme dari kelompok Jamaah Islamiyah, mengatakan kepada Tirto bahwa upaya BNPT cukup membantu karena aparat mencoba melakukan pendekatan pribadi dalam melakukan deradikalisasi. Ia menyebutkan langkah-langkah yang dilakukan aparat untuk membebaskannya dari doktrin ekstremisme. Salah satunya dengan mengajak berbincang tentang ideologi dan menghadirkan anggota keluarga untuk memulihkan kondisinya selama 11 bulan ditahan.
Tak hanya menghadirkan keluarga, Nasir yang kini menjadi konsultan senior di Division for Applied Science Psychology Research (DASPR) Daya Makara Universitas Indonesia ini mengaku pemerintah memberikan bantuan keuangan untuk sekolah. Ia pun menyebut salah satu poin penting dalam proses deradikalisasi terletak pada pemahaman petugas lapas yang baik. Nasir merasa, program deradikalisasi baru bisa efektif apabila petugas lapas mempunyai kemampuan untuk membujuk napi secara personal.
Meski begitu, tak semua penanganan yang dilakukan pemerintah melalui BNPT dirasa berjalan efektif. Faisal Margie, periset senior dari DASPR Daya Makara Universitas Indonesia, mengatakan langkah deradikalisasi berupa pembauran antara tahanan dan narapidana terorisme malah menjadi perdebatan karena dianggap bakal memperkuat radikalisasi.
“Ada yang menyebutkan bahwa lebih baik disatukan agar potensi penyebaran ideologi menjadi minimum, sedangkan lainnya berpendapat bahwa lebih optimal jika dipencar agar tidak membentuk kelompok,” ujarnya.
Menurut Faisal, deradikalisasi sebenarnya bisa dilakukan di mana pun dengan jumlah peserta acak, asalkan ada penilaian (assessment) yang tepat. Penilaian ini harus bisa memisahkan narapidana teroris yang cenderung benar-benar radikal dan yang fanatik semata.
Menangkal radikalisasi pada hakikatnya perlu upaya yang berkesinambungan dan tak hanya mengandalkan satu pihak saja—pemerintah, misalnya. Harus ada sinkronisasi dan koordinasi antarinstansi terkait agar upaya ini terus berjalan. Jika tidak, alih-alih efektif, proses radikalisasi justru makin beringas.