Menuju konten utama

Napi Teroris Mako Brimob Rusuh, Program Deradikalisasi pun Dikritik

Meski ada kritik terhadap penanganan napi terorisme dan program deradikalisasi BNPT, cara Polri atasi kerusuhan mendapat apresiasi.

Napi Teroris Mako Brimob Rusuh, Program Deradikalisasi pun Dikritik
Rombongan bus yang mengangkut napi teroris Mako Brimob, diseberangkan ke pulau Nusakambangan melalui dermaga penyeberangan Wijayapura, Cilacap, Jawa Tengah, Kamis (10/5/2018). ANTARA FOTO/Idhad Zakaria

tirto.id - Pemerintah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 2010. Dalam situs resmi BNPT disebutkan lembaga ini bertugas memulihkan orang-orang yang sudah terpapar paham radikal. Namun, kerusuhan yang terjadi di Rumah Tahanan Cabang Kelapa Dua Mako Brimob Depok memicu kritik terhadap kinerja BNPT.

"Program deradikalisasi itu gagal. Meskipun enggak gagal total, tapi secara umum itu gagal," kata peneliti terorisme dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh Lhokseumawe Aceh Al Chaidar kepada Tirto, Jumat (11/5).

Chaidar mengatakan bukti kegagalan tampak dari para mantan narapidana terorisme yang kembali bergabung ke dalam kelompok teroris. Kegagalan itu menurutnya terjadi karena BNPT tidak memiliki pendekatan yang tepat. BNPT, kata Al Chaidar, cenderung mengandalkan seminar-seminar Pancasila untuk mengikis radikalisme.

“Menghafal Pancasila, mana mau mereka. Ini ada tahap-tahapnya. Harusnya diturunkan dulu dari misalnya teroris ke radikal, radikal ke fanatik,” katanya lagi.

Walhasil, usaha BNPT melibatkan keluarga teroris dalam program deradikalisasi dan memberi bantuan uang untuk modal berwirausaha tidak efektif. “Jadi bubarkan saja BNPT. Tidak jelas kerjanya,” ujar Chaidar.

Chaidar menilai BNPT belum bisa membuat program yang tepat untuk proses deradikalisasi. Seharusnya, deradikalisasi dibuat dengan melibatkan kalangan akademisi di bidang psikologi dan antropologi. “Jadi ini [kerja BNPT] tidak bisa dipertanggungjawabkan secara teoretis," ujarnya.

Kekeliruan Mengumpulkan Narapidana Teroris

Chaidar menjelaskan ratusan narapidana terorisme di Rutan Cabang Salemba Mako Brimob juga menjadi sebab gagalnya program deradikalisasi. Sebab menurutnya pengumpulan itu justru berpotensi membuat narapidana yang sudah tidak radikal menjadi malu dan tak berani berubah. “Dengan dikumpulkan dalam bentuk focus group discussion saja itu sudah salah,” ujarnya.

“Lebih efektif atasannya [tokoh para napi teroris] dibentuk dulu agar tidak radikal.”

Selain itu, mengumpulkan narapidana teroris dalam satu lapas terang berbahaya. Karena ini justru membuat militansi perlawanan mereka lebih kencang. “Mereka bahkan bisa membuat universitas. Enggak boleh mereka disatukan di satu tempat. Mereka harus dipandang secara manusia, individu,” tegasnya.

Chaidar mengakui kadar radikalisme dalam diri seseorang tidak bisa dinilai secara tepat. Sehingga sulit memprediksi apakah narapidana terorisme yang telah bebas akan kembali mengulangi perbuatannya atau tidak. Ia meminta narapidana terorisme yang sudah keluar dari lapas juga perlu mendapat pengawasan ketat. “Itu enggak bisa diukur secara statistik,” kata Chaidar.

"Ada juga yang meledakkan diri disuruh temannya. Jadi, macam-macam sebab orang bisa menjadi radikal."

Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Ditjen Pemasyarakatan, Ade Kusmanto, mengatakan dalam perjanjian kerja sama antara Kemenkumham dan Polri, Rutan Cabang Salemba Mako Brimob memang diarahkan untuk menampung narapidana dari Rutan Salemba, Jakarta. Namun, untuk perkara penanganan di Rutan Cabang Salemba ada di tangan Polri karena berada di lingkungan Mako Brimob.

Ade setuju narapidana terorisme di Rutan Cabang Salemba Mako Brimob terlalu pepak. Seharusnya, para narapidana teroris dipisahkan antara yang radikal dan yang sudah bertaubat. Untuk kasus di Mako Brimob, ia meyakini proses itu sedang berlangsung.

"Januari awal kami memindahkan 18 narapidana teroris untuk disebar," jelasnya.

"Mereka memang tidak seharusnya bersama di satu tempat karena nanti malah saling mempengaruhi, terutama yang radikal."

Ade mengaku tidak mudah untuk memulihkan narapidana terorisme yang sudah menjadi radikal. Menurutnya, butuh waktu yang terkadang lebih dari setahun melunakkan pikiran mereka.

"Mayoritas di dalam lapas, yang masih kuat pahamnya mengasingkan diri, menutup diri, tidak mau menyatu dengan napi lainnya dalam hal apapun. Beribadah pun mereka tidak mau bergabung dengan orang lain yang bukan kelompoknya. Mereka menganggap orang lain thogut [penyembah berhala]," jelas Ade kepada Tirto.

Ade mengatakan deradikalisasi di kalangan narapidana terorisme merupakan kewenangan BNPT. BNPT juga mempunyai keleluasaan untuk membina napiter setelah bebas.

“Ditjenpas hanya memfasilitasi BNPT, biasanya BNPT datang ke lapas beserta para ustaz mantan teroris yang sudah kembali ke NKRI [tidak radikal]," tegasnya.

Direktur Jenderal Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris menegaskan penilaian terhadap para narapidana terorisme sudah dijalankan. Beberapa narapidana terorisme bahkan sudah dikirimkan ke Pusat Deradikalisasi di kawasan Sentul, Bogor untuk mendapat binaan maksimal.

Namun, untuk narapidana teroris di Mako Brimob Kelapa Dua, Irfan menjelaskan bahwa tidak semuanya menjalani binaan karena kebanyakan belum mendapat putusan hukum tetap. Oleh sebab itu, deradikalisasi di Mako Brimob juga tidak berjalan.

"Yang kami prioritaskan pada 108 lapas lainnya yang dihuni 270 narapidana teroris," katanya pada Tirto.

Untuk langkah-langkah deradikalisasi, Irfan mengaku sudah mengupayakan semaksimal mungkin. Setiap narapidana teroris tentunya akan diidentifikasi dan direhabilitasi. Tidak sedikit juga dari mereka yang dibantu untuk berbisnis agar bisa kembali ke masyarakat.

"Kami juga sudah perketat. Nanti napiter yang dipusatkan itu tergantung assessment. Kalau misal yang radikal tentu dipisahkan dari yang lain," katanya. "Kalau yang di Mako Brimob kan itu baru tahu."

Irfan menegaskan, tim dari BNPT sedang menuju Mako Brimob untuk meminta berkas narapidana teroris agar bisa dilakukan penilaian secepatnya.

Apresiasi

Sekretaris Jenderal DPP PKB Abdul Kadir Karding mengapresiasi kerja Polri yang berhasil mengeluarkan 155 tahanan dan terpidana kasus terorisme dari Rutan Cabang Salemba di Mako Brimob Kelapa Dua pada Kamis (10/5) tanpa kontak senjata.

Menurutnya, pendekatan persuasif yang dilakukan Polri akan mengubah pandangan para teroris. “Pendekatan persuasif yang dilakukan Polri menunjukkan profesionalisme mereka dalam bekerja yang tidak terpancing oleh emosi,” kata Karding saat dihubungi Tirto.

Anggota Komisi III DPR RI ini mengatakan pendekatan persuasif yang dilakukan kepolisian bisa menjadi model baru dalam proses deradikalisasi di kalangan teroris. Ini karena nyaris tidak ada yang menyangka proses penyelesaian kerusuhan di Rutan Cabang Salemba dilakukan dengan damai. Apalagi ada lima prajurit Polri yang gugur di tangan teroris.

“Saya turut berbela sungkawa atas gugurnya prajurit Polri. Semoga pendekatan profesional yang dilakukan Polri bisa mengubah pandangan kebencian para teroris terhadap kepolisian kita,” ujar Karding.

Baca juga artikel terkait KERUSUHAN MAKO BRIMOB atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Muhammad Akbar Wijaya & Maulida Sri Handayani