tirto.id - Sri Puguh Utami, Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, membenarkan jika rumah tahanan terletak di dalam Markas Komando Korps Brigade Mobil Polri merupakan cabang rutan Salemba. Dasar pendiriannya, kata dia, Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Tentang: Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana.
“Jadi di PP itu menteri bisa membentuk cabang Rutan (Rumah Tahanan),” ujar Sri Puguh Utami melalui sambungan telepon kepada Tirto, Kamis malam (10/5/2018). Ia menyebut jika tanggung jawab pengelolaan rutan itu berada di bawah Kementerian Hukum dan HAM.
Ketika disinggung siapa yang bertanggung jawab atas kericuhan di Blok Khusus Tahanan Pidana Tindak Terorisme Rutan Salemba Cabang Mako Brimob Kelapa Dua, ia tak bisa menjawab dengan tegas. “Mestinya kita yang bertanggung jawab mengenai itu (kericuhan),” kata Sri.
Sri menjawab dengan hati-hati terkait pertanyaan ini. Ia menjelaskan bahwa selama ini pengelolaan dan pengawasan tahanan justru dipegang Brimob dengan alasan berada dalam wilayah milik Polri. Ia pun mengaku tak mengetahui berapa jumlah tahanan non tindak pidana teroris yang kini di kurung di Rutan Salemba Cabang Mako Brimob.
“Kalau pengelolaan dan pengawasan itu saat ini ada di bawah Brimob, karena kita kekurangan pegawai,” kata Sri meyakinkan jika kericuhan mengakibatkan lima orang anggota polisi tewas dan satu terdakwa tindak pidana terorisme itu, mau tak mau, juga menjadi tanggung jawab Kementerian Hukum dan HAM.
Carut Marut Pengelolaan Rutan Mako Brimob
Pernyataan Sri mengungkapkan tumpang tindih kewenangan selama di Rutan Salemba Cabang Mako Brimob. Jika merujuk pada aturan yang dijadikan dasar, seperti disebut Sri, seharusnya rutan dikelola dan diawasi Kementerian Hukum dan HAM.
Pernyataan Sri diperkuat pasal 21 ayat 1 peraturan Nomor 27 Tahun 1983 yang menyebutkan rutan dikelola Departemen Kehakiman, nama lama sebelum menjadi Kementerian Hukum dan HAM. Meski kewenangan ini juga sempat disinggung Wakil Kepala Polri, Komisaris Jenderal Syafruddin, namun pada kenyataannya justru bertolak belakang dengan fakta di lapangan.
Syafruddin, Kamis kemarin, mengatakan kewenangan tanggung jawab dibawah Kementerian Hukum dan HAM, dalam hal ini Direkrotat Jenderal Pemasyarakatan.
"Jadi yang bertanggungjawab adalah Kemenkum HAM dalam hal ini Dirjen PAS. Jadi bukan rutan anggota Polri," ujar Syafruddin, Kamis kemarin.
Tapi faktanya, rutan itu justru dikelola seluruhnya di bawah pengawasan Kepolisian. Masih merujuk pasal 22 ayat 1 Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1983, kepala rutan sudah seharusnya ditunjuk Menteri. Namun di Rutan Salemba Cabang Mako Brimob, baik kepala maupun pengelolaannya, justru di bawah Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri. Hal ini pula yang kemudian memunculkan adanya tumpang tindih kewenangan kelembagaan dalam pengelolaan rutan.
“Kejadian ini menjadi pelajaran bagi kami untuk membuat aturan lebih baik,” kata Sri.
Ia pun menegaskan, terkait pemindahan 145 tahanan tindak pidana terorisme ke tiga Lapas Nusakambangan, kini tanggung jawabnya sepenuhnya berada di Kementerian Hukum dan HAM.
Banyak Pelanggaran
Adrianus Meliala, Komisioner Ombudsman sekaligus mantan Anggota Komisi Kepolisian Nasional, mengatakan insiden kericuhan di Rutan Salemba Cabang Markas Brimob menjadi tamparan bagi Polri, terlebih insiden itu terjadi di dalam area markas pasukan elite Kepolisian.
“Insiden yang amat mahal untuk perubahan kebijakan,” ujar Adrianus kepada Tirto.
Ia menegaskan sudah seharusnya kebijakan tumpang tindihnya kewenangan pengelolaan segera menjadi perhatian. “Seharusnya sejak jauh-jauh hari,” katanya.
Terkait insiden ini, Adrianus menyebut, sejak awal peruntukan rutan di dalam Markas Korps Brimob memang diperkirakan menuai permasalahan. Ide pendirian rutan itu dulunya diperuntukkan sebagai tempat penahanan bagi para perwira tinggi Polri yang melakukan pelanggaran disiplin. Kebijakan itu kemudian diubah Polri dan menjadikan Rutan Mako Brimob menjadi rutan cabang yang bisa diisi narapidana sipil.
Ia pun menyebut sempat terjadi permasalahan terkait keberadaan rutan di dalam Markas Brimob. “Sejak kasus Gayus bisa berpergian dari tahanan, rutan ini jadi sorotan. Tapi sampai saat ini masih berjalan,” tutur Adrianus. Dia mengatakan ide pengubahan status rutan dari internal menjadi rutan cabang itu sempat ditolak Kementerian Hukum dan HAM.
Pada kenyatannya, kata Adrianus, ketika ruang tahanan bagi internal Polri itu berubah status menjadi rutan cabang, struktur pengelolaan termasuk pengawasannya tak diubah oleh Polri. Kementerian Hukum dan HAM, instansi yang seharusnya berwenang mengelola rutan itu justru sama sekali tak diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan. Adrianus pun menyebut banyak pelanggaran yang terjadi dalam pengelolaan dan pengawasan rutan.
“Betul-betul tidak ada akuntabilitas,” kata Adrianus. Dia pun mendorong dengan kejadian kericuhan menewaskan lima orang anggota Polisi, sudah seharusnya menjadi momentum pembenahan agar kejadian serupa tidak terulang.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Arbi Sumandoyo