tirto.id - Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme (RUU Terorisme) yang saat ini dibahas di DPR memiliki kesamaan dengan Internal Security Act (ISA) Singapura dan Malaysia. Salah satu kesamaan tersebut terdapat pada Pasal 28.
Pasal tersebut dalam draf yang diajukan pemerintah ke DPR menyatakan “penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme dalam waktu paling lama 30 hari.” Atau, menghapus frasa “bukti permulaan yang cukup” dalam UU sebelumnya.
Pasal 73 ayat (1) ISA Malaysia menyebutkan bahwa polisi bisa menahan seseorang selama 60 hari tanpa surat perintah dan bantuan hukum. Setelah 60 hari, Kementerian Dalam Negeri Malaysia bisa memperpanjang masa tahanan tanpa sidang sampai dengan dua tahun. Itu semua bisa dilakukan tanpa menyertakan bukti apapun.
Hal sama juga tertulis dalam ISA Singapura yang menyatakan memberikan kekuasaan aparat hukum untuk menangkap dan menahan terduga pelaku kejahatan tanpa batas waktu penahanan. Kebebasan itu juga disertai dengan penangkapan tanpa tuntutan dan koreksi hukum.
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham, Enny Nurbaningsih, yang mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU Terorisme mengakui kesamaan tersebut karena rancangan itu memang merujuk pada ISA Singapura dan Malaysia.
Karena, menurut Enny, pemerintah menginginkan penanggulangan tindak pidana terorisme yang sigap dan tegas sebagai bentuk pencegahan dini.
“Pencegahan dini seperti menangkap mereka yang terafiliasi dengan jaringan teroris, penambahan masa penyidikan, program deradikalisasi, dan perlindungan pada korban sebelumnya tidak ada, sekarang ditambah,” kata Enny kepada Tirto, Minggu (13/5/2018).
Akan tetapi, kata Ketua Pansus RUU Terorisme, M Syafii, rancangan tersebut dalam perjalanan pembahasan tidak disepakati oleh beberapa fraksi di DPR dan membuat pembahasan RUU Terorisme berjalan alot.
Syafii secara pribadi menilai, rancangan tersebut perlu dievaluasi karena berpotensi terjadi salah tangkap dan melanggar HAM, seperti halnya yang terjadi pada kasus Siyono, terduga teroris yang meninggal setelah ditahan Densus 88 Antiteror Polri sebelum terbukti.
“Kami dari Gerindra meminta juga agar penahanan dikurangi jadi 7 hari,” kata Syafii kepada Tirto, Senin (14/5/2018).
Sementara, Anggota Pansus F-PKS, Nasir Djamil menyatakan penolakan fraksinya pada pasal tersebut karena akan membuat penindakan tindak pidana terorisme akan keluar dari jalur hukum dan rawan digunakan rezim untuk melakukan kesewenangan.
“Yang semacam ini pernah dipraktikkan di Singapura dan Malaysia. Ya, kalau pemerintah memang maunya langsung tangkap dan tembak seperti Duterte, ya silakan. Kami masih mau menjunjung HAM,” kata Nasir kepada Tirto, Senin (14/5/2018).
ISA Singapura dan Malaysia memang bermasalah. Pada 2002, U.S. State Department's Country mengeluarkan laporan perihal pelaksanaan hak asasi manusia di Malaysia. Negara jiran itu dianggap menggunakan ISA untuk menangkap oposisi pemerintah tanpa tuntutan dan pengadilan.
Pemerintah Amerika merasa perlu mengawasi hal itu karena Malaysia mengadopsi ISA berdasarkan hukum pencegahan terorisme Amerika. Namun, Perdana Menteri Malaysia saat itu, Mahathir Mohamad, menganggap ISA sudah tepat sasaran karena menangkap kelompok pemberontak yang berpotensi melawan negara.
Human Right Watch (HRW) melaporkan, target penyalahgunaan ISA adalah minoritas Syiah, mantan Wakil Perdana Menteri Anwar Ibrahim, serta anggota oposisi pemerintah saat itu dari Partai Islam Se-Malaysia. ISA juga memungkinkan pemerintah menutup sekolah jika digunakan tempat pertemuan organisasi terlarang. Begitu pula saat ada yang dianggap membahayakan kepentingan negara atau publik, termasuk dugaan terorisme.
Sepanjang 2014 sampai tiga bulan pertama 2015, menurut laporan Amnesty International pada Maret 2015, setidaknya 29 orang telah ditangkap terkait protes sipil. Parlemen Malaysia sendiri sedang berusaha mengamandemen ISA dan membentuk Badan Pencegahan Terorisme.
Undang-undang baru tersebut diharapkan bisa lebih efektif mencegah terorisme terjadi. Namun, Amnesty International tetap memberi catatan karena undang-undang baru juga memungkinkan seseorang bisa ditangkap tanpa surat perintah dan tuntutan.
Dari risalah rapat awal yang diterima Tirto, rancangan yang menghapus frase "bukti permulaan yang cukup" tersebut disetujui oleh PDIP, Hanura dan Golkar. Sementara, fraksi lainnya menolak, termasuk beberapa fraksi yang merupakan koalisi pemerintah seperti PKB dan Nasdem.
Anggota Pansus dari F-Golkar, Dave Laksono, membenarkan persetujuan fraksinya. Menurutnya, Golkar menilai penanganan terorisme butuh percepatan tindakan dan bukti awal intelijen saja sudah cukup untuk melakukan penangkapan.
"Kalau tunggu bukti yang cukup mereka keburu melakukan teror. Ini kan kejahatan luar biasa, jadi harus special juga peraturannya," kata Dave kepada Tirto.
Akibat perdebatan itu, pada akhirnya, Pasal 28 dalam draf RUU Terorisme 17 April 2018, DPR menyepakati frasa “berdasarkan bukti permulaan yang cukup” tetap ada. Masa penahanan pun dikurangi menjadi 14 hari. Tambahan dari DPR dalam pasal ini terdapat pada ayat (3) bahwa penahanan “harus dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip HAM.”
Saat ini RUU Terorisme masih belum disahkan karena masih menyisakan pembahasan mengenai definisi. DPR ingin terdapat tambahan frasa “tujuan politik, motif politik atau ideologi” dalam definisi tindakan terorisme. Sementara pemerintah tidak setuju. Belum diketahui pula kapan pembahasan selanjutnya akan dilakukan.
Jokowi akan Terbitkan Perppu
Ledakan bom bunuh diri yang terjadi di tiga gereja di Surabaya, Minggu pagi (13/5/2018), membuat agenda pembahasan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme kembali menguat. Presiden Joko Widodo bahkan memberikan ultimatum agar DPR RI dan kementerian terkait dapat menyelesaikan RUU tersebut pada sidang mendatang, yaitu 18 Mei 2018.
“Kalau nantinya di bulan Juni pada akhir masa sidang hal ini belum segera diselesaikan, saya akan keluarkan Perppu,” kata Presiden, seperti dikutip laman resmi setkab, Senin (14/5/2018).
Jokowi menegaskan pemerintah akan membasmi aksi terorisme hingga tuntas ke akar permasalahannya. “Saya tegaskan lagi, kita akan melawan terorisme, dan kita akan basmi terorisme sampai ke akar-akarnya," kata Presiden.
Presiden mengatakan dirinya telah memerintahkan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian untuk tegas dan tidak berkompromi dalam menindak untuk menghentikan aksi teror tersebut.
Kepala Negara menjelaskan, insiden ledakan bom yang kembali terjadi di Kota Surabaya, tepatnya di gerbang Mapolresta Surabaya, Jawa Timur sebagai tindakan yang tidak boleh dibiarkan.
“Ini adalah tindakan pengecut, tindakan yang tidak bermartabat, tindakan yang biadab,” kata Jokowi menegaskan.
Hal senada juga diungkapkan Kapolri Tito Karnavian. “Kami mohon dukungan teman-teman di DPR cepat jangan revisi terlalu lama, korban sudah berjatuhan,” ujarnya saat memberikan keterangan pers di RS Bhayangkara Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5/2018).
Menurut Tito, negara membutuhkan dukungan lebih terutama masalah pasal-pasal khusus dalam Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Ia mencontohkan, pihaknya tak bisa berbuat banyak dengan mereka yang baru kembali dari Suriah. Padahal Jumlahnya diperkirakan sekitar 500 orang, termasuk di antaranya satu keluarga yang diduga menjadi pelaku pengeboman tiga gereja di Surabaya.
“Kami tidak bisa berbuat apa-apa kalau [mereka] tidak melakukan pidana, kalau mereka gunakan paspor palsu kami bisa proses hukum, tapi kalau mereka tidak melakukan apa-apa sepertinya hanya tujuh hari kewenangan untuk tanyai, interview mereka hanya bisa tujuh hari setelah itu dilepaskan,” kata mantan Kepala BNPT ini.
Karena itu, Tito berharap, UU Terorisme tersebut dapat segera direvisi. “Kami harap UU ini direvisi dan bila perlu kalau terlalu lama direvisi, kami mohon ke Bapak Presiden untuk mengajukan Perppu,” kata Tito.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Abdul Aziz