tirto.id - Upaya melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam penanggulangan terorisme kembali mengemuka sejalan pembahasan revisi UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. DPR dan pemerintah pun memberikan lampu hijau meskipun ada pihak yang menolaknya.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan misalnya, mereka menilai pelibatan militer dalam penanggulangan terorisme tidak perlu dimasukkan dalam revisi UU No 15/2003 ini. Alasannya, regulasi ini mengatur tentang tata cara penegakan hukum, sehingga yang perlu diatur adalah institusi-institusi terkait dengan penegakan hukum. Artinya, ketentuan keterlibatan TNI dalam RUU ini akan mengganggu sistem penegakan hukum dalam penanganan terorisme.
Selain itu, keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme juga sudah diatur dalam UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI. Pasal 7 ayat (2) dan (3) UU TNI, misalnya, militer dapat mengatasi terorisme dalam rangka tugas militer selain perang, jika ada keputusan politik negara.
Sementara yang dimaksud dengan ‘keputusan politik negara’ dalam penjelasan Pasal 5 UU TNI adalah keputusan Presiden dengan pertimbangan DPR. Artinya, tanpa memasukkan TNI dalam revisi UU Terorisme, militer masih bisa berperan dalam penanganan terorisme di Tanah Air.
Namun, pemerintah dan DPR berdalih keterlibatan militer dalam penanganan terorisme tetap penting diakomodir dalam revisi UU tentang Terorisme yang sedang dibahas oleh Pansus. Wakil Komisi I dari Fraksi Golkar, Meutya Hafid mengatakan, partainya mendukung penuh keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar TNI dilibatkan langsung dalam penanganan terorisme.
“Golkar mendukung pemikiran Presiden Joko Widodo terkait perlunya TNI dilibatkan. Tinggal nanti Pansus merumuskan bagaimana bentuk-bentuk keterlibatannya,” kata Meutya, di Jakarta, seperti dikutip Antara, 25 Januari lalu.
Ia mengatakan keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme tidak akan seperti rezim Orde Baru yang tertutup dan tidak bisa diawasi, karena era sekarang sudah transparan sehingga jika ada pelanggaran hak-hak sipil tidak bisa ditutup-tutupi.
Sementara itu, Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu mengatakan, penanggulangan aksi terorisme yang melibatkan TNI harus didasarkan pada skala ancaman, yakni mengancam pertahanan dan kedaulatan negara, seperti yang dilakukan ISIS.
Guna mengantisipasi ancaman aksi terorisme itu, kata Ryamizard, dibutuhkan kekuatan militer karena kelompok ISIS juga menggunakan peralatan militer di medan perang, seperti tank dan bom.
Ryamizard mengatakan soal konsep skema keterlibatan TNI dan Polri dalam mengatasi terorisme. TNI bertugas untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan negara, serta menangani segala ancaman terhadap dua hal tersebut. Sementara polisi bertugas menangani ketertiban masyarakat dan tindakan kriminal.
Ia mengatakan dalam skema tersebut, terdapat ruang antara Polri dan TNI bekerja sama, yakni untuk kasus yang mengancam kedaulatan negara dan ketertiban masyarakat sekaligus. Ia mencontohkan kasus penangkapan Santoso di Poso yang melibatkan TNI dan Polri.
“Ini ada abu-abu. Seperti di Poso dulu, kan, antara masalah hukum dan keamanan negara berbaur,” kata Ryamizard di Kompleks Senayan, Jakarta, pada Senin (29/1/2018).
Keterlibatan TNI Bukan Wacana Baru
Keinginan pemerintah dan DPR melibatkan militer dalam penanggulangn terorisme di Tanah Air bukan hal baru. Prayitno Ramelan dalam Intelijen Bertawaf: Teroris Malaysia dalam Kupasan (2009) menulis bahwa perdebatan soal melibatkan militer dalam revisi UU Terorisme sudah terjadi sejak 2003 hingga 2009.
Dalam rapat kerja, 31 Agustus 2009, antara Komisi I DPR dan Widodo AS yang saat itu menjabat sebagai Menkopolhukam sepakat bahwa terorisme merupakan kejahatan luar biasa. Namun, apakah penanganannya juga harus dilakukan secara luar biasa, salah satunya melibatkan TNI masih menjadi perdebatan.
Saat itu, sejumlah anggota Komisi I DPR mengusulkan agar UU No.15/2003 diamandemen, sehingga pelibatan TNI lebih jelas. Sebagian menilai bahwa dasar hukum pelibatan militer menangani terorisme sudah diatur dalam Pasal 7 UU No.34/2004, sehingga tak perlu lagi merevisi UU Terorisme.
Namun, maraknya aksi terorisme yang didalangi Noordin M Top mendorong pemerintah untuk segera merevisi UU terorisme. Alasannya, UU yang lahir setelah peristiwa Bom Bali I itu tidak membuat pemerintah memiliki cukup otoritas untuk melakukan tindakan pencegahan aksi terorisme.
Salah satu yang diinginkan dalam revisi UU No.15/2003 itu adalah meniru konsep Internal Security Act (ISA) yang diterapkan di Singapura dan Malaysia. Namun, usulan ini dikritik oleh sejumlah kalangan.
DS Narendra dalam Teror Bom Jamaah Islamiyah (2015) menulis, alasan penolakan sejumlah pihak karena UU No.15/2003 telah memberikan banyak memberikan kewenangan eksklusif kepada penegak hukum. Sehingga, polisi dapat dengan mudah melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan pemeriksaan terhadap siapa saja yang diduga menjadi bagian dari jaringan terorisme.
Sejumlah anggota Komisi I DPR, saat itu juga menolak konsep ISA diakomodir dalam revisi UU Terorisme ini. Namun, soal pelibatan TNI dalam penanganan terorisme ini mendapat dukungan dari Komisi I DPR. Namun demikian, hingga DPR periode 2004-2009 dan 2009-2014, upaya revisi UU Terorisme belum terealisasi.
Keinginan untuk merevisi UU Terorisme ini kembali mencuat pada DPR periode 2014-2019. Peristiwa bom yang terjadi di Sarinah, Jakarta, pada 14 Januari 2016 menjadi momentum bagi pemerintah untuk melakukan amandemen UU No.15/2003. Pada April 2016 pun, DPR telah resmi membentuk Pansus Revisi UU Terorisme ini.
Saat ini, pembahasan revisi UU Terorisme ini sudah memasuki tahap akhir. Meski demikian, pro kontra soal pelibatan militer dalam amandemen regulasi ini masih berlanjut. Di satu sisi, pemerintah dan Komisi I DPR telah memberikan lampu hijau, sementara Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai militer tidak perlu dilibatkan dalam ketentuan pada revisi UU terorisme yang masih berlangsung.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz