Menuju konten utama

PageRank dan Konten SEO Butut: Sang Simalakama Google

Cara kerja PageRank membuat susah memberantas situs yang melakukan praktik Google Bomb.

PageRank dan Konten SEO Butut: Sang Simalakama Google
Kantor Google di Silicon Valley. FOTO/istockphoto

tirto.id - "Google Search Sekarat."

Akun Twitter @dkb868 menulis judul provokatif itu melalui blog pribadinya, DKB, 15 Februari 2022 lalu.

Tulisan itu akhirnya menjadi perbincangan hangat di sub-forum teknologi Reddit dengan lebih dari 1.900-an komentar, dan bergulir ke sub-forum Reddit lainnya. Di tulisannya, DKB menyebut Google memang masih memberikan hasil pencarian lebih baik ketimbang pesaingnya, seperti Bing dan Yahoo. Namun, hasilnya kian buruk.

"Jika kamu mencoba cari resep masakan, atau ulasan produk, baru-baru ini, aku tak usah menjelaskan bagaimana hasil pencarian Google adalah 'sampah'. Kamu mungkin sudah sadar kalau hasil-hasil awal yang bukan merupakan iklan, adalah situs konten SEO yang berisi link sponsor dan iklan," tulis DKB.

Klaim @dkb868, meski tanpa data kredibel, diamini mayoritas Redditor (julukan pengguna Reddit). Banyak Redditor menambahkan kata kunci "Reddit" atau "site:reddit.com" jika sedang Googling. Hal ini memaksa Google menghasilkan pencarian dari situs Reddit, menghindari hasil pencarian berupa iklan dan, paling utama, konten-konten search engine optimization (SEO).

Praktik ini juga saya lakukan dengan, misalnya, menambah "site:twitter.com" atau "site:kaskus.co.id" untuk memperoleh hasil pencarian yang lebih personal. Juga menambah "site:nytimes" hingga "site:arstechnica.com" untuk memperoleh informasi akurat tentang segala hal, khususnya dari dunia teknologi; dan "site:stackoverflow.com" atau "site:github.com" untuk memperoleh jawaban teknis dari masalah-masalah pemrograman yang saya alami.

Google, tanpa dipaksa untuk menghasilkan jawaban dari situsweb spesifik, memang sering kali memberikan hasil pencarian yang membuat penggunanya kecewa. Masalah besar ini sudah menyelimuti Google sejak kelahirannya dan kemungkinan besar tak akan bisa diatasi. Mengelaborasi studi Greg Taylor berjudul "Search Quality and Revenue Cannibalization by Competing Search Engine" (2013), masalah ini berakar dari bagaimana Google menghasilkan uang serta bagaimana algoritma Google, PageRank, bekerja.

Page Rank yang Dilematis

Google lahir dari studi berjudul "The Anatomy of a Large-Scale Hypertextual Web Search Engine" (PDF) garapan duo akademisi Universitas Stanford bernama Larry Page dan Sergey Brin. Situs ini lantas menjelma jadi pengganti perpustakaan dalam mencari informasi. Saat ini Google adalah mesin pencari andalan 90,4 persen pengguna internet di seluruh dunia.

Merujuk studi yang dilakukan Page dan Brin, Google mengandalkan PageRank--algoritma yang didesain untuk memprioritaskan suatu laman web dibandingkan laman web lain. Setelah meriset 518 juta laman web, PageRank memberi kredit lebih tinggi bagi suatu laman yang paling banyak dirujuk (dibuktikan dengan pemberian link pada laman tersebut).

Ilustrasi sederhana: ada satu blog yang mengulas soal SARS-CoV-2 memberikan tautan dari situs Tirto.id sebagai rujukan. PageRank akan menganggap Tirto.id lebih berkualitas dibandingkan blog tersebut. Ketika lantas diketahui bahwa artikel SARS-CoV-2 yang terdapat di Tirto.id tersebut bersumber, dan disertai link, dari, misalkan, situs daily.jstor.org, maka PageRank akan menyatakan situs itu lebih hebat dibandingkan Tirto.

Alhasil, ketika seorang pengguna internet mengetik "SARS-CoV-2" di kolom pencarian, Google akan menempatkan daily.jstor.org sebagai yang pertama, diikuti Tirto.id kemudian baru blog.

Dari ide brilian Page dan Brin memberikan peringkat pada laman web ini, Hamza Barboucha, dalam risetnya berjudul "Comparative Study of PageRank Calculation" (2018), menyebut Google akhirnya dapat bertransformasi menjadi perusahaan raksasa.

Karena saat ini dunia maya diisi lebih dari 1,7 miliar situs web serta kenyataan Google menjadi pilihan utama masyarakat, laman web yang ditempatkan Google di posisi teratas hasil pencarian pun kebagian berkah yang tak kalah membahagiakan. Google menjadi penyumbang utama pengunjung ke situs web, karena lebih dari 63 persen pengguna Google Search hanya mau mengklik tiga teratas hasil pencarian.

Masalahnya: miliaran situs web yang ada di semesta internet ingin menempati posisi teratas hasil pencarian Google. Maka memaksimalkan Search Engine Optimization (SEO) jadi senjata pamungkas banyak situs untuk mendulang pengunjung.

Di satu sisi, maksimalisasi SEO sah-sah saja dilakukan. Situs web yang mempublikasikan konten berkualitas memang berhak menduduki posisi teratas pencarian. Sayangnya, di sisi lain, seperti dilaporkan Karen Wickre untuk Wired, SEO banyak dimanfaatkan oleh situs web yang hanya menginginkan pengunjung semata--tanpa mempedulikan kualitas konten.

Sejak 2003 silam, atau lima tahun setelah kelahiran Google, lahirlah konten-konten SEO butut yang dijuluki "Google Bomb" atau "Googlewashing." Konten-konten ini bukan hanya tidak mengandung link rujukan, tapi juga dipenuhi kata/frasa repetitif.

Yang terbaru, fenomena ini terjadi pada pertengahan Februari lalu. Saat itu banyak masyarakat yang mentah-mentah mengetik "ustadz Khalid Basalamah klarifikasi sekaligus minta maaf soal wayang" di kolom pencarian Google. Maka muncul pula laman-laman web yang mentah-mentah, copy-paste, menggunakan kata-kunci panjang tersebut sebagai judul konten--juga termuat berulang kali di dalam konten--demi menempati posisi teratas Google Search.

Hal ini yang pada akhirnya membuat Google Search dipenuhi konten tak berkualitas. Apalagi jika pengguna mengetik kata kunci terkait produk, semisal "asuransi mobil terbaik" yang berakhir dengan suguhan enam (dari sembilan total link di halaman pertama) konten SEO beriklan dari situs web penyedia asuransi.

Tentu, Google berupaya untuk mencegah konten-konten SEO tak berkualitas muncul di hasil pencariannya.

Jim Giles, dalam laporannya untuk majalah NewScientist (edisi 12 Desember 2011), menyebut raksasa internet ini rajin melakukan pembaruan terhadap PageRank. Tak hanya menjadikan link rujukan sebagai sumber utama Google untuk mengetahui seberapa berharga suatu situs web, mereka juga mengikutsertakan lebih dari 200 indikator, semisal berapa lama umur situs web hingga pelbagai indikator eksternal (atau dari sisi pengguna) seperti lokasi mengakses. Dan, ini selalu diagungkan Google: memakai kemutakhiran kecerdasan buatan (artificial intelligence) atau machine learning untuk memproses indikator yang banyak tersebut.

Masalahnya, serajin dan secanggih apapun mesin yang digunakan Google untuk membasmi konten-konten tak relevan, "Google Bomb" pun tak kalah rajin untuk berbenah--berupaya terus-terusan mengelabui PageRank.

Terlebih, seperti dipaparkan Greg Taylor dalam "Search Quality and Revenue Cannibalization by Competing Search Engine" (2013), ada dugaan Google sesungguhnya senang dengan konten-konten SEO dan iklan nongkrong di halaman pertama hasil pencarian.

Tak mengherankan, sebab menurut laporan fiskal Google tahun 2021, bisnis iklan Google Search menghasilkan USD149 miliar. Maka di sini Google menghadapi situasi simalakama.

Andai Google serius mengerahkan upaya hingga 100 persen untuk membasmi konten-konten SEO busuk dan iklan yang sekarang sering nongol di hasil teratas tiap pencarian, maka bisnis iklan Google Search akan turun. Sebaliknya, jika ingin terus mendapat pemasukan besar dari iklan Google Search, maka cara kerja seperti sekarang akan terus dilakukan.

Google, melalui PageRank dan caranya menghasilkan uang, akhirnya berada di posisi serba salah. Mereka kena tikung oleh pelbagai situs web yang menggunakan praktik "Google Bomb", dihantam Redditor karena dinilai tak memberikan hasil pencarian relevan, sembari terus berupaya mengamankan penghasilan.

Baca juga artikel terkait GOOGLE atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Nuran Wibisono