tirto.id - Sebelum saya memutuskan untuk memangkas 80 persen nasi putih dari piring makan pada Mei 2022, sedikitnya sekali sepekan saya menyiksa lambung pagi-pagi dengan turut antre di warung nasi uduk di depan kompleks perumahan. Ia bukan sembarang warung karena pasangan suami-istri penjualnya sudah berdagang lebih dari 25 tahun. Hampir setiap pagi kedai ini ramainya minta ampun.
Saya terpaksa menuliskan “hampir” lantaran warung ini memang pernah tutup beberapa kali: setiap tiga hari pertama setelah Idulfitri; ketika pemiliknya menunaikan ibadah haji; dan seingat saya sampai beberapa bulan setelah PPKM diberlakukan. Selebihnya, mereka buka, dan hanya tutup saat hari Kiamat.
Memori lidah saya samar-samar mengingat saat pertama kali ayah mengajak saya sarapan nasi uduk ini. Mungkin TK, mungkin SD kelas 1. Penjualnya tentu saja bertambah tua, tetapi citarasa nasi uduk mereka bertahan. Malah, ketika saya terakhir kali membeli satu porsi terakhir, ia terasa jauh lebih nikmat dibandingkan yang sudah-sudah, boleh jadi karena ada bobot nostalgia dan perpisahan panjang di sana.
Bayangkanlah saat termos nasi dibuka, wangi uap santan gurih segera menggoda Anda untuk kalap menunjuk lauk ini dan itu. Dengan sendokan nasi mendekati porsi tukang dayung perahu, ditambah bihun goreng, orek tempe kering, serta taburan bawang goreng yang sangat royal, ia adalah platform paripurna untuk berbagai lauk penyerta.
Tidak kurang dari 12 jenis lauk ditawarkan di etalase gerobak mereka. Tiga macam bakwan: sayur, tahu, dan jagung; tiga macam sambal goreng: udang petai, kentang, dan telur; dua macam semur: tahu dan jengkol; ayam pejantan goreng lengkap dengan ati ampela; sambal terasi atau sambal bajak; dan tentu saja, telur dadar yang tidak diiris, melainkan benar-benar sepotong utuh telur dadar yang bisa menutupi nasi serta lauk-pauk saat ditaruh di atasnya.
Dengan default tritunggal mahanikmat nasi uduk-bihun goreng-tempe orek, tambahan empat jenis lauk, disiram segelas teh tawar hangat buat menggerojok nasi dan lauk-pauk, porsi sarapan itu sanggup mengenyangkan perut sampai pukul 2 siang apabila disantap pukul 7 atau 8 pagi.
Formasi barisan lauk saya tidak tetap. Klasemen bakwan sayur, balado kentang, semur tahu, dan ayam goreng, dilengkapi sambal bajak, adalah yang paling sering turun gelanggang. Kalau datang sebelum 07.30, sambal goreng udang petai (yang masih utuh beserta kulit, ekor, dan sungutnya!) bisa ikut turun ke piring.
“Ini juaranya,” kata ibu penjual sambil menyendokkan dua ekor udang sebesar setengah telapak tangan ke piring, mengamini selera para pelanggan.
Setiap pagi, kedai nasi uduk ini menjadi panggung yang sangat dramatis: ibu-ibu berebut bakwan dengan bapak-bapak berseragam PDH, ditingkah wangi santan yang meruap gurih, bunyi sendok beradu pada wadah logam tempat lauk-pauk, bunyi stapler susul-menyusul di lipatan kertas nasi, tak ketinggalan sendawa-sendawa yang diikuti ucapan Hamdalah.
Adegan lain yang tidak kalah dramatis ialah supir-supir ojek daring berebut mendekati penjual, hanya untuk tepuk dahi dan buru-buru menelepon pelanggan mereka, mewartakan berita buruk bahwa sang sambal goreng udang petai telah keburu tandas. Sebaliknya, seorang bapak sedang menyantap sarapannya di belakang pengemudi ojek yang garuk-garuk kepala, menikmati setiap gigitan sambal goreng udang petai dengan senyum kemenangan Hannibal dari Karthago.
Oh, oh, oh, dan harganya?
Di kedai ini, Anda bisa kenyang sepertiga hari dengan kocek semahal-mahalnya Rp30.000. Sungguh makanan rakyat par excellence: lezat, murah, tersaji dalam porsi besar, dan yang terpenting bisa dinikmati sambil menertawakan dokter-dokter yang berkhotbah tentang bahaya kolesterol di acara kesehatan di televisi.
Berhubung dengan yang terakhir, gerai ini menjual pula lontong sayur customize, sehingga Anda tak perlu ragu menikmati lontong sayur berkuah merah kekuningan, dengan memilih varian lauk yang sama yang disediakan untuk nasi uduk. Harganya dibanderol tidak jauh berbeda: Rp17.000 untuk seporsi kenikmatan absolut yang bisa membuat biji mata pakar diet manapun meloncat keluar dari tempatnya.
Rasanya? Hanya ada dua rasa masakan di kedai ini: enak dan enak sekali. Lontong sayur maupun nasi uduk selalu kompak menjadi yang kedua.
Seporsi Melting Pot
Suatu ketika, saya terlambat, baru ikut antre pukul 9 kurang sedikit. Hanya beberapa lauk yang tersisa, dan saya memilih balado telur dan semur tahu, sambil menunggu Bu Isah, sang penjual, yang sibuk membalik bakwan sayur di atas penggorengan. Iseng saya nyeletuk, “Sambal goreng udang itu, idenya dari mana, Bu? Jarang, lho, nasi uduk lauk sambal goreng udang.”
“Itu resepnya dari tetangga ibu di Jatinegara, Dik. Orang Aceh, anak ulama. Ibu ‘kan orang Jawa, Bapak orang Karawang. Lauk-lauk ini belajar satu-satu, sambil dengerin maunya pembeli,” kisah sang ibu. Saat saya bertanya masakan yang paling pertama ia kuasai, “Jelas semur tahu, itu turun temurun sudah cara bikinnya, juga jengkol, itu diajari mertua, orang Betawi tulen.”
Cerita Bu Isah tentang nasi uduknya yang memiliki keragaman lauk dari Aceh sampai Karawang, seakan mengamini keragaman asal-usul orang Betawi sebagaimana ditulis Lance Castles dalam artikel legendaris, “The Ethnic Profile of Djakarta” yang dimuat jurnal Indonesia edisi April 1967.
“Jakarta adalah sebuah melting-pot di mana orang Sunda, Jawa, Tionghoa, dan Batak melebur jadi satu. Di Jakarta, Tuhan sedang membuat Indonesia!”
Sebagai sajian khas, catatan Akademi Kuliner Indonesia dalam Kuliner Betawi: Selaksa Rasa & Cerita (2016) menjelaskan ada dua gagrak besar dalam semesta pernasiudukan: gaya Tanah Abang dan gaya Rawa Belong.
“Di Tanah Abang, nasi uduk umumnya dinikmati bersama lauk gorengan seperti empal, babat, atau ayam. Sedangkan di daerah Rawa Belong, Kemandoran, lauknya berkuah seperti semur dan kari ayam,” (2016, hal. 29).
Representasi nasi uduk gagrak Tanah Abang yang dimaksud tentu saja nasi uduk Kebon Kacang. Dikemas dalam daun pisang segitiga yang habis dalam 7 suap, cara ini lazim dipakai oleh tukang jajanan keliling yang menjual nasi uduk bersama nasi ulam dan ketan urap.
“Ketiganya dijajakan bersama dalam satu tampah, dijinjing, dan dibawa berkeliling, dilengkapi dengan sambal. Penjaja itu kini sudah tidak ada, akan tetapi penjual nasi uduk dan nasi ulam dengan cara lain masih ada,” tulis Abdul Chaer dalam Tenabang Tempo Doeloe (2017, hal. 164).
Tak hanya asal-usul yang kompleks, jati diri nasi uduk hampir-hampir berseteru jika tidak dilerai sebelumnya. Memang, cara memasak beras dengan air, santan, dan rempah untuk menciptakan nasi bercitarasa gurih bukanlah monopoli orang Betawi, melainkan berasal dari tradisi Melayu, yang sangat mungkin terbawa dalam saling-silang perdagangan dan interaksi sejak abad ke-16.
Media publik Singapura, CNA, sampai-sampai memproduksi tayangan dokumenter berdurasi 23 menit untuk menelusuri asal-usul hidangan nasi bercitarasa gurih ini. Fokus tayangan tersebut sejatinya mempersoalkan apakah nasi lemak merupakan hidangan nasional Singapura ataukah Malaysia. Yang menarik, Indonesia turut campur dalam persoalan ini, dengan istilah menggelitik, “Nasi uduk adalah sepupu dekat nasi lemak.”
Pencarian bergulir lebih jauh, sampai menelusuri hubungan nasi uduk dan Sultan Agung di abad ke-17. Sang narator yang penasaran mengundang gastronom dan sejarawan pangan Malaysia, Ahmad Najib Ariffin, untuk ikut buka suara. Beruntung, sebelum cerita menjadi bola liar, sang pakar telah menyatakan dengan otoritatif, “Ada perbedaan antara nasi uduk dan nasi lemak, dan cara terbaik mengetahuinya adalah mencicipi!”
Menurut Najib, jejak santan dalam nasi uduk lebih ringan daripada nasi lemak. Komposisi lauk-pauknya pun berbeda. Pada nasi lemak, menurut Najib, ada komponen yang tidak boleh ditinggal saat penyajian: sambal bilis dan kacang tanah goreng. Hal ini tidak berlaku untuk nasi uduk, yang tidak memiliki kondimen wajib seperti halnya nasi lemak.
Simpulan Najib mengguyur sumbu polemik yang hampir menyala.
“Tidak salah satu berasal atau terinspirasi dari yang lain. Nasi uduk dan nasi lemak adalah dua hidangan berbeda.”
Ah, leganya. Seandainya simpulannya lain, tentu saja cerita dua nasi ini bisa menyulut pertempuran kecil lain, seperti halnya kisah perebutan rendang yang pernah sekali waktu mempersatukan, tetapi juga tak sekali turut memicu perseteruan.
Sulit bagi saya untuk menemukan penutup yang pas bagi sebuah kenangan pendek tentang nasi uduk yang citarasanya masih lekat di ujung lidah, walau saya sudah beberapa waktu tak mampir di kedai depan perumahan itu. Kisah nasi uduk kedai ini, selain personal, juga berbeda antara kenangan saya dan kenangan pelanggan lain.
Barangkali, satu-satunya yang masih lekat di ingatan sampai kini adalah suara sengau suami Bu Isah saat menghitung harga seporsi nasi uduk yang baru pindah ke perut,
“Jengkolnya, satu atau dua?” []
Editor: Nuran Wibisono