tirto.id - Pada 24 Mei 1991, tepat hari ini 29 tahun lalu, evakuasi besar-besaran orang-orang Yahudi Ethiopia dilakukan rezim Zionis Israel. Evakuasi itu dikenal dengan Operasi Solomon. Sebanyak 14.500 Yahudi Ethiopia yang berjuluk Beta Israel dipindahkan dari Ethiopia ke Israel.
Pemerintah Israel mengerahkan 35 pesawat komersial hingga militer dan dibantu pesawat pemerintah Ethiopia. Proses evakuasi ini termasuk yang tercepat karena hanya memakan waktu kurang dari 36 jam. Ketika tiba di Israel, mereka dibawa dengan ratusan bus ke lebih dari 40 tempat penginapan seperti hotel atau wisma.
Evakuasi ini tercatat dalam sejarah penerbangan karena dalam proses evakuasi, setiap kursi pesawat ditempati dua hingga tiga orang.
“Kami membuat sejarah. Ini pertama kalinya [pesawat] Boeing 747 atau pesawat jenis lainnya di dunia membawa 1087 orang. Saya pikir ini tak akan terjadi lagi,” kata salah seorang pilot.
Proses evakuasi ini dilakukan setelah penggulingan lewat kudeta terhadap Kaisar Heile Selassie yang berkuasa di Ethiopia sejak 1930. Pemimpin Ethiopia yang baru yakni Kolonel Mengistu Haile Mariam menerapkan rezim Marxis yang kemudian memicu gelombang kekerasan di seluruh negeri.
Bencana kelaparan menyelimuti Ethiopia dan diskriminasi terhadap kaum Yahudi terjadi di mana-mana dengan melarang praktik Yudaisme dan pengajaran Bahasa Ibrani. Kondisi ini membuat sebagian dari mereka menyelamatkan diri ke Sudan.
Hal ini memantik perhatian Israel. Lewat Menteri Dalam Negeri yang saat itu dijabat oleh Shlomo Hillel, Israel menandatangani pernyataan untuk menerima semua Yahudi Ethiopia yang dilandaskan pada hukum “Israeli Law of Return.” Hukum ini merupakan regulasi di Israel yang memberi hak semua orang Yahudi untuk tinggal di Israel dan mendapatkan kewarganegaraan Israel. Hal ini disambut baik oleh Yahudi Ethiopia.
Pada 1976, Yahudi Ethiopia yang sudah tinggal di Israel diperkirakan mencapai 250 orang. Di tahun-tahun selanjutnya, Israel mulai gencar melakukan mengevakuasi. Pada rentang waktu 1977 hingga 1984, jumlah Yahudi Ethiopia yang dievakuasi oleh Israel secara rahasia mencapai sekitar 8.000 orang.
Dari November 1984 hingga Januari 1985, Israel melancarkan Operasi Musa yang berhasil mengangkut 6.500 Yahudi dari kamp-kamp pengungsi di Sudan. Namun Israel menghentikan Operasi Musa ini lantaran tercium publik.
Tanggal 24 Mei 1991, setelah membayar 40 juta dolar AS kepada pemerintah setempat, Israel akhirnya mendapat izin penuh untuk mengevakuasi Yahudi Ethiopia. Meski demikian, masih terdapat beberapa Yahudi Ethiopia yang memilih menetap di negara tersebut. Mereka yakin bahwa hidup di Israel juga tidak menjamin akan terbebas dari ancaman diskriminasi.
Diskriminasi dan Rasisme
Selama tiga dekade Yahudi Ethiopia tinggal di Israel. Mereka mengaku mengalami diskriminasi dan perlakuan buruk dari warga Israel lainnya. Misalnya, darah yang disumbangkan Yahudi Ethiopia secara rutin dibuang oleh Israel karena khawatir terkontaminasi HIV.
Selain itu, Yahudi Ethiopia termasuk dalam orang-orang paling miskin di Israel. Mereka minim pendidikan formal. Ketika ingin bekerja, mereka selalu ditolak karena dianggap tidak berkompeten. Sebanyak 41 persen orang dewasa dari Yahudi Ehiopia yang datang ke Israel berstatus pengangguran.
“Beberapa orang [di Isreal] memiliki pendapat bahwa siapapun yang berasal dari negara yang berbeda--terutama negara berkembang--tidak berkompeten, terutama kita yang memiliki kulit berwarna gelap,” kata Fentahun Assefa-Dawit, Direktur Eksekutif Tebeka--sebuah lembaga bantuan hukum yang mendukung orang-orang Yahudi Ethiopia.
Tahun 2016, ratusan Yahudi Ethiopia berbaris di Yerusalem menyerukan bahwa pemerintah Israel melakukan diskriminasi karena membatalkan rencananya dalam mengizinkan kerabat mereka dari Afrika pindah ke Israel. Di sisi lain, pemerintah Israel terus mendorong orang-orang Yahudi dari Prancis, Amerika Serikat, dan Rusia untuk pindah ke Israel.
“Hentikan penderitaan, hentikan diskriminasi, hentikan rasisme,” teriak para demonstran sambil memegang foto kerabat mereka yang masih berada di Afrika.
Israel sesungguhnya adalah negara yang terbagi berdasarkan garis etnik dan sosial. Jika melihat ke belakang, tujuan utama didirikannya Israel adalah atas impian Zionis untuk memberikan semua orang Yahudi sebuah tanah air.
Namun yang terjadi adalah orang-orang Yahudi yang berasal dari Eropa selalu mendominasi segala hal di Israel. Proyek-proyek misalnya, selalu di pimpin oleh Yahudi Eropa dan setiap perdana menteri sejak negara itu berdiri selalu berasal dari Ashkenazi atau Yahudi dari keluarga Eropa Tengah atau Timur.
Banyak Yahudi Sephardic dan Yahudi Mizrhi yang berasal dari Spanyol dan Timur Tengah mengalami diskriminasi di Israel. Sedangkan Yahudi Ethiopia mengatakan mereka diperlakukan lebih buruk lagi dibandingkan Sephardic dan Mizrahi. Para Yahudi Ethiopia tentu tak ada pilihan selain menghadapi kenyataan pahit pasca mereka dipulangkan dari perantauan.
Kisah drama pemulangan ini dijadikan film dengan judul Red Sea Diving Resort (2019) yang dibintangi Chris Evans, sosok jagoan dalam film Captain America. Kisah pilu Yahudi dari Ethiopia memang menginspirasi sebuah karya seni, tapi yang paling penting ia juga bisa menggugah bahwa diskriminasi bisa terjadi di manapun.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 26 Mei 2017. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Suhendra & Irfan Teguh Pribadi